30.1 C
Jakarta

Al-Qur’an dan Dialektika Bahasa

Artikel Trending

Al-Qur'an dan Dialektika Bahasa
image_pdfDownload PDF

Al-Qur’an dan Dialektika Bahasa

Oleh: Mohammad Khoiron*

Harus diakui bahwa dinamika tafsir pasca para sahabat dan tabiin didominasi oleh diskursus tafsir Timur Tengah. Hal ini bisa dilihat dari eksistensi karya yang telah ditelurkan oleh para ulama Timur Tengah dengan ragam argumentasi dan corak tafsir yang melatarbelakangi keilmuan para mufassir yang bersangkutan.

Salah satu faktor yang mendominasi kajian mereka di samping karena kesamaan corak budaya dan geografis dengan tempat di mana Islam itu lahir, faktor bahasa pun juga sangat menentukan dalam melahirkan diskursus tafsir sebagaimana penulis kemukakan.

Dalam hal ini, agaknya kemampuan berbahasa Arab menjadi sebuah regulasi pakem di mana seseorang bisa mempunyai legitimasi dalam menafsirkan al-Qur’an. Alasan ini didasarkan pada fakta historis bahwa Islam lahir di jazirah Arab, kemudian mengepakkan sayapnya dengan membawa pesan yang bersifat nomadis, sehingga bahasa Arab mau tidak mau harus dipelajari oleh para generasi yang ingin memperdalam agama Islam, terlebih kaitannya dalam menjabarkan ayat demi ayat di dalamnya dalam bentuk tafsir.

Al-Qur’an Dan Bahasa Arab

Soal bagaimana bahasa Arab menjadi salah satu syarat dalam mengulas kandungan al-Qur’an, agaknya pendapat yang dilontarkan oleh Ahmad Fuadi Efendi cukup argumentatif. Ia memaparkan bahwa bahasa Arab merupakan bagian dari bahasa Semit. Menurutnya, bahasa Semit cukup banyak yaitu bahasa Semit Timur, bahasa Semit Barat, bahasa Semit Selatan, dan bahasa Semit Tengah. Akan tetapi tiga dari empat bahasa sebagaimana  penulis paparkan di muka, pada hakikatnya sudah punah, termasuk bahasa Akkadian yang menurut sejarawan sangat populer dalam kurun waktu 2500-600 SM.

Bahasa Arab sendiri dalam hal ini merupakan turunan dari bahasa Semit Selatan. Hal itu dibuktikan dengan penemuan yang dilakukan oleh Ahmad Fuadi yang juga mengutip pendapat Verrsteg bahwa ada kesamaan semiotik antara bahasa Semit Selatan dengan Bahasa Arab. Argumentasi ini, penulis rasa ditopang dengan fakta historis di mana Islam bukanlah seperangkat ajaran yang berdiri sendiri. Historisitas Islam sebagai agama normatif, merupakan ajaran yang bersifat hybrida. Artinya ia punya keterkaitan yang saling berkelindan dengan agama-agama sebelumnya.

Pendapat di atas juga didasarkan pada temuan Dr. Sa’dullah Afandi, MA, tentang teori nasikh dan mansukh pada ayat-ayat al-Qur’an. Di mana pada titik kesimpulannya ia menyatakan bahwa Islam tidak melakukan abrogasi atas agama-agama sebelumnya. Argumentasi lain soal Islam sebagai agama samawi, penyempurna dan bukan pencabut agama-agama sebelumnya juga dipaparkan oleh Dr. Zakky Mubarak, MA. Ia menegaskan bahwa Islam diturukan kepada Nabi Muhammad sebagai kelanjutan dari misi Nabi-nabi sebelumnya yang bertujuan untuk mengemukakan kembali (rekonfirmasi) ajaran tauhid (monotisme).

Dengan demikian, jika merujuk pada beberapa alasan yang dikemukakan para sarjana Muslim tersebut, maka tidak sedikit kita temukan di dalam al-Qur’an beberapa kalimat yang bukan berasal dari bahasa Arab. Kalimat tersebut berasal dari bahasa Ibrani yang menurut Ahmad Fuadi bagian dari bahasa Semit. Mungkin karena latar belakang inilah kajian tafsir dewasa ini begitu menggeliat dengan corak dan pendekatan yang bermacam-macam.

Al-Qur’an Dari Verbatim ke Teks

Muncul persoalan krusial yang sepertinya membutuhkan diskusi panjang soal bagaimana sebuah wahyu yang dalam hal penyampaiannya melalui pesan oral menjadi sebuah teks. Kegelisahan ini tampaknya mempengaruhi penulis untuk memasukkan proses ihwal terjadinya transformasi dari tradisi lisan ke tradisi tulisan. Islam yang lahir dan tumbuh di tanah Arab yang kala itu masih belum menjadikan tradisi tulisan sebagai standar pakem dalam menyampaikan pesan-pesan agama, menjadikan titik pijak dari kegelisahan ini.

Karena di lain pihak, para teolog telah bersepakat bahwa bahasa lisan menjadi bahasa primer dalam ritual keagamaan. Senada dengan ini Dr. Komaruddin Hidayat memberikan argumentasi yang cukup kuat bahwa tradisi lisan juga menjadi cara yang dipakai oleh Malaikat Jibril tatkala menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Dugaan ini  seolah memberikan pemahaman, bahwa al-Qur’an pada awalnya bukanlah satu buah bundel mushaf (buku) sebagaimana kita lihat sekarang. Namun ia berupa bisikan atau pesan yang datang dan turun kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara gradual. Mengingat tidak ada satu ayat pun yang dikemukakan, kecuali setelah melalui proses kausal atau sebaba musabab dari sebuah hukum yang melatarbelakanginya.

Ihwal tersebut sebagaimana dipaparkan di atas  tidak hanya menimpa Rasulullah s.a.w. sendiri, tetapi juga menimpa orang lain. Inilah yang kemudian menurut para ahli tafsir dinamakan Asbab al-Nuzul atau sebab-sebab turunnya suatu ayat tertentu. Lalu pertanyaannya adalah, sejak kapan tradisi lisan dalam konteks pewahyuan itu menjadi tradisi tulisan tanpa meninggalkan atau melupakan satupun dari bisikan wahyu tersebut?

Setidaknya ada dua jawaban yang menurut penulis bisa dijadikan pijakan argumentasi logis, sekaligus mampu mengakomodir pertanyaan di atas. Pertama adalah jawaban yang bersifat teologis, di mana dalam hal ini Allah sebagai pemberi pesan (wahyu) Maha Kuasa untuk menjaganya dari segala bentuk usaha distorsi maupun tahrif. Pengertian distorsi dan tahrif ini tak hanya mengubah kalimat maupun ayat di dalam al-Qur’an secara khusus. Namun pengertiannya sangat universal, baik Tahrifal-Ma’na, Tahrif al-Bayan, maupun Tahrif al-Qashd.

Selanjutnya yang kedua adalah jawaban filosofis, di mana dalam hal ini al-Qur’an sebagai sebuah wahyu yang verbatim (immateri) tak mungkin dipelajari secara serius apabila tidak menjadi sebuah teks (materi). Mengingat al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi penuntun atau Hudan bagi manusia dari generasi ke genarasi.

Oleh karena itu, mustahil sekali jika pesan-pesan tersebut mampu sampai kepada generasi jauh pasca-sahabat jika tidak dikodifikasi dalam bentuk mushaf. Proses transformasi wahyu dari lisan (verbal) ke tulisan sebenarnya dilakuan sejak masa Rasulullah s.a.w., namun  usaha ini semakin mengggeliat pasca pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Sehingga atas dasar inilah dan juga sebagai bentuk penghormatan kepada beliau, hingga kini al-Qur’an yang sampai kepada kita dinamakan Mushaf atau Rasm Utsmani.

Meskipun ada jarak yang menyekat dalam kurun waktu meninggalnya Rasulullah s.a.w. sampai pada pemerintahan khalifah Utsman bin Affan, para ulama atau bahkan kritikus sejarah sekalipun bersepakat bahwa transmisi al-Qur’an dari sejak Nabi sampai pada masa kodifikasisnya, kemudian muncul pada masa kita saat ini tidak mengalami perubahan sedikitpun. Artinya, jika mengutip pendapat Komaruddin Hidayat, al-Qur’an yang ada sekarang ini sama persis dengan al-Qur’an di masa para sahabat dan Rasulullah s.a.w. sendiri.

Berbeda dengan argumen yang dibangun oleh Komaruddin Hidayat, penulis sendiri memahami bahwa persamaan antara al-Qur’an pada masa Rasulullah dengan al-Qur’an saat ini bukan dalam persamaan secara umum, namun lebih kepada persamaan secara khusus.

Sebagai alinea terakhir sekaligus closing opinion dari catatan ini, maksud penulis sebenarnya lebih kepada corak dan bentuk huruf yang berbeda dengan apa yang mungkin ada pada masa Rasulullah s.a.w dan sahabat, yaitu soal penempatan titik, harakat, tanda baca waqaf, dan lain sebagainya. Di mana historisitas pemberian tanda titik, harakat, dan tanda baca waqaf tersebut dilakukan pada masa Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Seorang ulama peletak dasar Ilmu Balaghah, Qawafi, Arudl, dan Qardu al-Syi’ir. Wallahu A’lam.

*Penulis adalah pengamat Sosial-Keagamaan, tinggal di Jakarta)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru