28 C
Jakarta

Akankah Masa Depan Perempuan Indonesia Seperti Perempuan Iran?

Artikel Trending

KhazanahTelaahAkankah Masa Depan Perempuan Indonesia Seperti Perempuan Iran?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Sahar Zand dalam sebuah video yang diunggah oleh TED, menceritakan pengalaman kelamnya menjadi perempuan Iran. Ia hidup di tengah kekerasan yang diciptakan oleh pemerintah Iran di bawah naungan Republik Islam. Sahar pindah ke Inggris dan menjalani kehidupan dengan normal. Ia mengaku bahwa perjalanan hidupnya di Inggris adalah babak baru menjadi manusia. Meskipun demikian, sikap empati yang dimiliki oleh Sahar sebetulnya masih melekat sebagai bangsa Iran.

Ia memiliki perhatian penuh terhadap penderitaan yang dialami oleh para perempuan Iran. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk menjalani kehidupannya sebagai perempuan. Seruan untuk menggunakan jilbab bukan lagi sebagai kewajiban pribadi yang harus dilakukan oleh perempuan Islam. Justru lebih jauh, pemerintah menerapkan polisi moral. Mereka bertindak kejam pada perempuan yang tidak menggunakan jilbab.

Pemerintah Iran menyiksa bahkan membunuh masyarakatnya yang tidak mematuhi aturannya. Puncak dari kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah Iran adalah terbunuh perempuan Iran, Kurdi Jina Mahsa Amini, 22 tahun, yang menggemarkan publik dan memicu adanya aksi/demonstrasi besar-besaran di seluruh dunia.

Pasca revolusi Iran, ia beralih menjadi Republik Islam yang menerapkan aturan Islam secara ketat bagi seluruh warga negaranya. Kebijakan yang seharusnya memberikan ruang aman dan kebaikan bagi masyarakatnya, nyatanya tidak memanusiakan orang lain. Anak-anak dan perempuanlah yang menjadi korban jadi otoritarianisme pemerintah. Kewajiban untuk menggunakan jilbab bagi perempuan Iran, tidak saja membuat para perempuan merasa terkekang karena tidak memiliki kebebasan atas tubuhnya dan hidupnya. Akan tetapi juga mendapatkan hukuman yang sangat berat bahkan penyiksaan karena melanggar aturan itu.

Maukah Indonesia seperti Iran?

Saya membayangkan bahwa kehidupan kelam yang dijalani oleh perempuan Iran sangat tragis. Sahar Zand menceritakannya sambil menangis lantaran mengingat kehidupan masa lalunya yang kelam. Ia memilih meninggalkan tempat kelahirannya dan menjadi manusia merdeka sepenuhnya dengan pilihan hidup yang sudah ia tetapkan.

Selain Sahar, ada pula Shirin Ebadi, perempuan kelahiran Hamedan Iran 21 Juni 1947 adalah sarjana Hukum dari Universitas Teheran 1969, meskipun awalnya menentang pemerintahan Iran dan mendukung Revolusi Islam, namun Shirin Ebadi mulai kecewa karena perempuan tidak bisa menjadi hakim. Dia mulai kehilangan posisinya sebagai ketua pengadilan dan turun menjadi sekretaris, sehinga selama beberapa tahun, membuatnya harus berjuang menuntut haknya dan bertentangan dengan pemerintah Islam Iran. Ia mendapatkan nobel perdamaian dan menjadi perempuan Muslim pertama yang mendapatkan penghargaan tersebut. Revolusi Iran membuat dia kehilangan pekerjaan lantaran dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang diterapkan oleh pemerintah Iran.

BACA JUGA  Anti Golput: Perlawanan Terhadap Pemerkosa Demokrasi

Tidak hanya itu, Mahsa Amini, yang beberapa waktu lalu viral di seluruh akun media sosial lantaran melepas jilbab dan melakukan aksi demonstrasi. Seruan terhadap Iran ramai di media sosial lantaran bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, bahkan pemerintah sama sekali tidak memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warga negaranya.

Penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Iran, setidaknya menewaskan 530 orang, termasuk 71 anak-anak, sebagaimana dilaporkan oleh Kantor Berita Aktivis HAM Iran dalam laporan Bbc.com. Kebijakan tentang peraturan Islam ini sama sekali tidak memanusiakan perempuan. Perilaku rezim yang mengatasnamakan Islam sebenarnya bertentangan dengan CEDAW (International Convention on Elimination of All Forms of Discrimantion Agains Women).

Dalam pasal 1 CEDAW menyatakan bahwa: “Diskriminasi terhadap perempuan, berarti segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara lelaki dan perempuan.

Masa Depan Perempuan Indonesia, Maukah Seperti Iran?

Propaganda yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di Indonesia, yang merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah, dan dianggap menyengsarakan rakyat merupakan upaya yang serupa seperti Iran. Jika kita lengah dan membiarkan Indonesia direbut oleh sekelompok orang yang menginginkan pemerintahan Islam, berarti kita membiarkan masa depan perempuan Indonesia seperti perempuan Iran, yang tidak memiliki kebebasan untuk berekspresi, berpendapat dan memilih jalan hidupnya sendiri.

Semestinya kita perlu belajar bahwa, propaganda yang dilakukan oleh aktivis khilafah saat ini, merupakan sebuah alibi dari kerakusan sekelompok orang dalam menjual ajaran Islam. Janji khilafah bukan memberikan kesejahteraan, akan tetapi sebaliknya. Kita perlu melihat Iran, yang justru menyiksa kaum perempuan atas nama Islam. Wallahu A’lam.

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru