31.1 C
Jakarta

Toleransi Gender: Perempuan “Ksatria” dari Aceh

Artikel Trending

KhazanahPerempuanToleransi Gender: Perempuan “Ksatria” dari Aceh
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Belakangan ini perempuan menjadi salah satu topik yang sedang hangat diperbincangkan di setiap lini. Pasalnya, perempuan selalu menjadi perhatian dalam segala aktivitasnya. Bahkan, perempuan kerap diberikan labelling sebagai kaum lemah dan tidak pantas untuk bergerak di ruang publik.

Perempuan dianggap terlahir dengan kodrat hanya mengurus pekerjaan domestik, seperti rumah, kasur, anak dan dapur. Hal ini menjadi perhatian bagi seluruh perempuan di penjuru dunia sedari dulu dan tentunya sudah melahirkan banyak upaya untuk membangun gerakan-gerakan peduli perempuan.

Isu perempuan tidak hanya terjadi di berbagai belahan dunia. Di Aceh, perhatian khusus juga perlu diberikan kepada perempuan. Pada umumnya perempuan di Aceh banyak merasakan tidak bebas menggunakan ruang publik.  Bahkan, masih ada yang merasakan aturan syari’at Islam di Aceh sangat mengekang perempuan. Tentunya, pendapat seperti banyak menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.

Beberapa penulis pernah mengkaji isu perempuan di Aceh, misalnya seperti Edriana Noerdin, Ismiati, dan Eka Sri Mulyani. Edriana Noerdin menjelaskan bahwa kehidupan perempuan di Aceh tidak terlepas dari penerapan legitimasi hukum syariat Islam.  Menurutnya, perempuan di Aceh selalu disandarkan pada wacana gender, nasionalisme dan praktik keislaman. Padahal, perempuan Aceh juga memiliki hak untuk memperjuangkan hak asasinya sebagai manusia.

Selanjutnya, Ismiati menjelaskan bahwa perempuan di Aceh sering menunjukkan gerakan yang merujuk pada bentuk perlawanan. Bentuk perlawanan ini dilakukan sebagai upaya untuk menyampaikan kebebasan berpendapat di ruang publik, serta menarik diri dari cerita kelam di masa konflik di Aceh.

Tidak berhenti sampai di situ, Eka Srimulyani juga menyampaikan bahwa perempuan di Aceh sudah mulai terlihat dan tampil secara aktif di ruang publik. Hal ini ia sampaikan berdasarkan dengan hadirnya teungku inong sebagai otoritas pemuka agama Islam di Aceh. Teungku inong dinisbatkan kepada tokoh agama Islam dari kalangan perempuan.

Bahkan, setiap aktivitasnya dilibatkan dalam sejumlah organisasi di Aceh, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan Majelis Ulama Naggroe Aceh (MUNA).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kehidupan perempuan di Aceh mengalami ritme yang beragam. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk mengkaji dan menjelaskan tentang kehidupan perempuan di Aceh. Penulis akan menjelaskan perjalanan perempuan “ksatria” di Aceh dengan merujuk pada masa konflik dan pasca konflik di Aceh.

Kisah Perempuan di Masa Konflik

Kritina Grossman menyebutkan, setidak perkembangan mobilitas dan kehidupan perempuan di Aceh dapat dilihat dari tiga masa, yaitu pada masa pemberlakuan syariat Islam pada tahun 1999, pasca Tsunami tahun 2004, dan masa perdamaian Aceh tahun 2005.  Masa konflik di Aceh telah memberikan dampak mendalam bagi setiap penduduknya, khususnya bagi perempuan di Aceh.

Pada masa konflik setidaknya perempuan Aceh telah mengalami penindasan dari kalangan militer dan GAM. Pada masa itu, perempuan diberikan kebebasan untuk menguatkan identitas mereka sebagai perempuan bersyariat Islam. Bahkan, perempuan diminta untuk menjaga kehormatannya sebaik mungkin.

Tetapi, kenyataannya perempuan mengalami kekerasan secara fisik, biologis dan mental. Pada masa itu, perempuan kerap mengalami kekerasan. Tidak sedikit perempuan mengalami pemerkosaan oleh pihak aparat militer. Kehidupan ini menyisakan kenangan mendalam bagi perempuan yang hidup di masa konflik Aceh.

Masa konflik telah mengubah kehidupan perempuan. Tidak sedikit dari kalangan perempuan yang hidup sebagai janda. Mereka terpaksa menjadi tulang punggung keluarga dan menghidupi kebutuhan keluarga. Kebanyakan kepala keluarga (suami) meninggal dunia saat ikut terjun dalam konflik.

Peristiwa ini menjadikan setiap perempuan yang hidup di masa konflik perlahan mulai menata diri untuk bangkit dari keterpurukan. Mereka mulai bergerak memberikan pendidikan kepada perempuan lainnya akan kembali bangkit dan berdaya. Mereka kerap melakukan pendampingan kepada sesama perempuan agar perempuan di Aceh tidak lagi merasa tertindas.

BACA JUGA  Membantah Stereotipe: Perempuan, Gender, dan Terorisme di Indonesia dan Pakistan

Proses pendampingan yang dilakukan para perempuan saat itu ditujukan untuk membangkitkan semangat perempuan. Selain itu, juga bertujuan memulihkan penderitaan perempuan. Secara bergilir, mereka melaksanakan kegiatan pendampingan di rumah-rumah kediaman mereka dan pergerakan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Setelah lama bergerak dan memberdayakan perempuan secara sembunyi-sembunyi, pada tahun 2000 untuk pertama kalinya perempuan Aceh didukung oleh para aktivis perempuan menyuarakan damai di Aceh.

Aksi ini banyak menarik simpati dari kalangan perempuan, bahkan kuantitas perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Aceh tidak hanya berdiam diri saat konflik terjadi. Bentuk partisipasi ini juga dapat dilihat bahwa perempuan Aceh juga dapat bergerak secara aktif di ruang publik untuk turut memberikan kontribusi.

Di samping itu, sebelum runtuhnya rezim Orde Baru, banyak ditemukan berdirinya organisasi perempuan di Aceh. Misalnya, tahun 1980an Yayasan Flower Aceh berdiri dengan tujuan untuk mengajak perempuan Aceh semakin terberdaya dan ikut mengembangkan potensi diri.

Perempuan Aceh kembali Bangkit

Masa konflik Aceh dan Indonesia telah menyisakan kenangan terpuruk bagi setiap kalangan di Aceh, terutama kaum perempuan. Masa konflik memberikan perlakuan kekerasan pada perempuan di setiap bidang. Sehingga, menjadi sebuah kewajaran ketika perempuan di Aceh turut ikut menyuarakan perdamaian di Aceh.

Setelah masa otonomi khusus diberlakukan di Aceh, diharapkan perubahan kebaikan akan terjadi pada perempuan Aceh. Sri Lestari Wahyuningroem menjelasakan bahwa terdapat tiga alasan penting terkait harapan terberdayanya perempuan Aceh pasca otonomi khusus, yaitu, pentingnya memproduksi dan mencetak generasi, mayoritas penduduk Aceh adalah perempuan dan banyak perempuan Aceh tercatat sebagai pejuang sumber.

Setelah pemberlakuan otonomi khusus, penulis melihat bahwa pergerakan perempuan di ruang publik semakin berkembang setiap saatnya. Keterlibatan perempuan di ruang publik dapat dilihat dari keaktifan mereka di berbagai bidang, seperti ikut bergerak di bidang politik, di bidang birokrasi pemerintah, melanjutkan jenjang pendidikan hingga tingkat doktor. Penulis berargumen, perkembangan ini akan memberikan dampak positif bagi kalangan perempuan, khususnya di Aceh.

Tidak hanya itu, keaktifan perempuan Aceh pasca pemberlakuan otonomi khusus juga terlihat dari hadirnya teungku inong (ulama perempuan Islam) di Aceh Eka Srimulyani menjelaskan kedudukan teungku inong di ruang publik telah membangun otoritasnya sebagai bagian dari pemuka agama. Kegiatan yang dilakukan juga adanya keterlibatan dengan beberapa pihak, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA).

Tetapi, kehadiran teungku inong ini di Aceh juga masih berada dalam keterbatasan, seperti hanya boleh terlihat dan bergerak pada kalangan perempuan saja. Meskipun tetap dalam keterbatasan, mereka tetap semangat dalam menyampaikan ajaran Islam secara luas.

Setelah pemberlakuan otonomi khusus di Aceh, perempuan terlihat semakin berkembang dan bebas mengemukakan pendapat di ruang publik. Kristina Grossman menjelaskan bahwa kehidupan perempuan di Aceh terjadi dapat dilihat melalui tiga fase, yaitu masa pengenalan syariat Islam pada tahun 1999, pasca Tsunami tahun 2004, dan masa perdamaian Aceh tahun 2005. Fase konflik dikenal sebagai fase kehidupan yang mencengkam kehidupan perempuan.

Perempuan menerima perlakuan kasar dan tidak wajar. Bahkan, perempuan kerap dijadikan sebagai korban kekerasan. Pada tahun 1999 sebagai fase peralihan. Fase ini perempuan mulai turun melakukan perlawanan dan berupaya menyuarakan pendapat di ruang publik. Hal ini dilakukan oleh aktivis perempuan di Aceh.

Selanjutnya, pada tahun 2005 pasca tsunami, perempuan di Aceh semakin bebas bergerak bersuara di ruang publik. Hal ini dikarenakan akibat banyaknya pihak-pihak yang ikut membantu memulihkan keadaan perempuan di Aceh, terutama pemulihan pada mental dan pola pikir mereka. Misalnya, Gender Working Group (GWG) berupaya mengoordinasikan perempuan Aceh ikut memberikan perhatian pada diri sendiri dan pihak sekitarnya.

Fathayatul Husna
Fathayatul Husna
Pemudi yang telah mengenyam pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia lulus tingkat Magister pada jurusan Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Kajian Komunikasi dan Masyarakat Islam, dan tingkat Sarjana di jurusan Ilmu Komunikasi. Selama pendidikan, ia telah mengikuti kegiatan pengembangan diri seperti, aktif dalam kegiatan bakti sosial, berorganisasi (baik daerah dan kampus), menulis beberapa artikel ilmiah dan menjadi asisten penelitian. Penulis juga tertarik dengan tema-tema media, sosial, budaya, dan anak muda.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru