Harakatuna.com. Jakarta – Pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta meminta aparat tak hanya fokus dalam penanganan COVID-19. Jika 100 persen aparat keamanan terlalu fokus ke penanganan corona, ini bisa jadi celah ancaman dan potensi terorisme meningkat.
“Saya pikir, aparat keamanan harus tetap waspada untuk mencermati potensi terorisme, kriminalitas, dan konflik sosial di tengah pandemi COVID-19 ini,” kata Stanislaus kepada wartawan, Jumat (22/5).
Karena bisa saja, kelompok terorisme ini akan memanfaatkan situasi untuk melancarkan aksinya. Dalam analisanya, aksi terorisme, kriminalitas, dan konflik massa berpotensi terjadi dengan memanfaatkan pandemi COVID-19.
“Kesibukan pemerintah dalam penanganan COVID-19 bisa menjadi celah bagi datangnya ancaman-ancaman, termasuk gangguan keamanan nasional,” katanya.
Terlebih, sebelumnya terjadi beberapa aksi penangkapan yang dilakukan Densus 88 Polri. Fakta ini menunjukkan kelompok teroris seperti dari kelompok Jemaah Anshar Daulah (JAD) dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) terus aktif dan jadi potensi ancaman dengan memanfaatkan situasi pandemi COVID-19.
Beberepa penangkapan yang dilakukan ini terjadi pada masa pandemi COVID-19 seperti kasus penangkapan empat orang jaringan JAD di Batang, Jawa Tengah pada 26 Maret 2020. Lalu penangkapan satu orang di Kemayoran Jakarta Pusat pada 10 April. Penangkapan dua orang jaringan JAD di Sidoarjo, Jawa Timur pada 11 April.
Apalagi tingkat kriminalitas pada masa pandemi COVID-19 mengalami kenaikan. Polri menyatakan tingkat kriminalitas meningkat sebesar 19,72 persen selama pandemi corona. “Potensi konflik massa juga mesti diwaspadai karena ada kelompok yang mencoba menggali di air keruh dengan melakukan provokasi,” terang Stanislaus.
Polri diminta hati-hati dan bijak dalam menangani pelaku kriminal yang didorong oleh keterdesakan akan kebutuhan hidup mereka, terutama kebutuhan pangan. Mesti ada kolaborasi antara aparat keamanan dan masyarakat agar pada masa pandemi ini potensi kriminalitas dan terorisme dapat dicegah.
“Nah untuk masalah pangan ini sangat sensitif dan jika tidak terpenuhi dampaknya bisa berbahaya. Makanya harus hati-hati dan bijak menanganinya,” kata Stanislaus.