30.9 C
Jakarta

Poso dan Kenangan Kelam Para Teroris

Artikel Trending

KhazanahTelaahPoso dan Kenangan Kelam Para Teroris
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Mendengar nama Poso, pasti yang terlintas dalam benak adalah memori kerusuhan di masa silam. Kenangan pahit itu terus tertanam di dalam benak sepanjang kehidupan. Peristiwa itu menjadi saksi sejarah yang terjadi di masa silam dan tidak bisa kita hilangkan begitu saja. Sebab konflik yang terjadi di Poso, adalah akibat dari gesekan perbedaan yang terjadi di Poso. Mengapa perbedaan kerap kali menjadi ladang masalah, sedangkan manusia diciptakan berbeda?

Kerusuhan di Poso dikenal juga konflik komunal Poso. Sebutan ini disematkan untuk menggambarkan serangkaian kerusuhan yang bermula dari bentrokan kecil antara kelompok pemuda, sebelum menjadi kerusuhan yang bernuansa agama. Konflik yang terjadi dalam kerusuhan ini, dikarenakan juga adanya persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas beragama Kristen dengan para pendatang ataupun transmigran yang memeluk agama Islam.

Ketidakstabilan sosial menciptakan ketegangan yang cukup tinggi. Persaingan tidak seimbang, situasi yang tidak stabil, ditambah dengan kebijakan hukum yang lemah, menjadi faktor terjadinya kekerasan dan konflik yang cukup parah. Kerusuhan yang terjadi di Poso, tidak langsung terjadi begitu saja dalam satu kurun waktu yang sama. Setidaknya ada beberapa tahap dari kerusuhan yang ada, dimulai dari bulan Desember 1998, berlanjut pada bulan April 2020.

Pada tahapan pertama dan kedua, terjadi serangkaian bentrokan antara kelompok pemuda Islam dan Kristen. Berlanjut pada bulan mei 2000, disebut dengan tahap ketiga yang menyebabkan kekerasan cukup para dengan jumlah korban yang banyak. Pada tahap ini juga ditambah dengan serangkaian peristiwa pembantaian terhadap umat Islam. ratusan orang menjadi korban, yang mayoritas adalah umat Islam.

Poso merupakan salah satu kota yang cukup dikenal sebagai tempat kerusuhan dan konflik beragama terjadi. Di samping konflik tersebut, ada satu hal yang terkenal dari Poso, yakni sebagai tempat persembunyian teroris. Terjadinya serangkaian kerusuhan yang ada di Poso, kemudian ada deklarasi damai, peran kelompok pemuda untuk menyongsong kehidupan Poso di masa depan menjadi upaya penting untuk dilakukan.

Salah satu upaya untuk melakukan resolusi konflik yakni berbasis budaya di Poso. Mengapa resolusi konflik berbasis budaya sangat penting untuk diutamakan? Salah satu fungsi budaya dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai perlindungan. Artinya, ketika melakukan sebuah kegiatan yang berkaitan dengan budaya, seseorang yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat akan merasa aman, kebersamaan dan diterima oleh masyarakat setempat.

BACA JUGA  Paradoks Toleransi: Kita Tidak Boleh Toleran Terhadap HTI, Perusak NKRI

Budaya yang Berkembang pada Masyarakat Poso

Sebab budaya menjadi satu hal penting yang dimiliki oleh masyarakat, dan karenanya apabila resolusi konflik berbasis budaya dilakukan, masyarakat akan menerima dengan sepenuh hati. Apabila ada kendala ataupun ancaman, masyarakat akan bersama-sama mendukung untuk melawan. Di Poso, upaya yang dilakukan untuk resolusi konflik berbasis budaya salah satunya melalui komunitas Rumah Katu.

Komunitas ini pada mulanya digagas oleh Arifudin Loko, seorang mantan Napiter yang pernah ditahan selama lebih dari 8 tahun. Setelah menjalani kehidupan pasca penahanan, ia kemudian mengkoordinir teman-temannya, khususnya para bawahannnya yang dulu pernah jadi teroris untuk membentuk komunitas Rumah Katu pada tahun 2015 silam. Anggota Rumah Katu adalah mantan Napiter yang melakukan gerakan di bidang sosial budaya, perdamaian dan deradikalisasi.

Komunitas Rumah Katu ini semacam menjadi ruang yang sangat ciamik bagi mantan Napiter yang sudah mengalami asam garam kehidupan dari berbagai sisi. Mereka mengalami transformasi yang cukup pelik hingga akhirnya memilih untuk menjadi teroris. Kemudian dipenjara, dikucilkan oleh masyarakat, dan harus beradaptasi dengan kehidupan yang baru. Dalam kondisi seperti itu, mereka membutuhkan support supaya tetap istiqomah dalam menjalani kehidupan pasca menjadi teroris.

Komunitas Rumah Katu menjadi salah satu ruang bagi mereka untuk berekspresi, berkarya dan hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Kegiatan di Komunitas Rumah Katu cukup memfasilitasi hal tersebut, di antaranya: Pertama, temu budaya antara dua komunitas muslim dan Nasrani. Kedua, festival budaya dua komunitas Muslim dan Nasrani. Ketiga, pembuatan film pendek yang memuat pesan perdamaian, resolusi konflik dan deradikalisasi. Keempat, pembinaan generasi muda (SMP dan SMA) dalam menciptakan keharmonisan antara dua komunitas Muslim dan Nasrani.

Kegiatan ini menjadi sebuah tebusan bagi para mantan Napiter, yang sudah menciptakan konflik di Poso dan membuat masyarakat Poso mengalami konflik berkepanjangan. Dalam komunitas ini terkumpul 50 anggota yang berasal dari mantan Napiter dan mantan kombatan yang dikumpulkan oleh Arifuddin Loko. Cerita ini juga menjadi kunci bahwa, komunitas menjadi ruang bagi para mantan napiter untuk tumbuh dan hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Sebab kesalahan sebesar apapun, selalu memiliki ruang untuk memperoleh pemaafan. Upaya ini bisa menjadi potret yang bisa ditiru untuk memberikan ruang bagi para mantan Napiter untuk memperbaiki kehidupan dan memulai kehidupan baru. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru