Harakatuna.com – Sejak kemunculannya pada era 1990-an, wacana soal feminisme Islam telah banyak menarik atensi kaum intelektual, terlebih bagi mereka yang hendak memperjuangkan agenda emansipasi.
“Setara di Hadapan Allah”, sebuah kuliah umum yang diberikan Riffat Hassan saat berkunjung ke Indonesia telah memantik agenda mewacanakan feminisme Islam lebih lanjut. Kunjungan yang, bagi sejumlah sarjana seperti Robinson dan Agustina, dianggap sebagai momen kelahiran Islam. Berbarengan dengan terbitnya buku-buku tokoh feminis Amina Wadud, Fatima Mernissi, dan Asma Barlas.
Kesungguhan dalam mengupayakan kajian feminisme Islam secara serius dibuktikan oleh Etin Anwar dalam Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia. Sebuah buku yang digarap tak kurang dari 10 tahun.
Berupaya mempertanyakan tentang esensi menjadi kaum perempuan Muslim Indonesia dalam konteks kolonialisme dan postkolonialisme, secara spesifik dalam rentang era kolinialisme 1900-an hingga awal 1990-an.
Tetek bengek perjuangan perempuan dalam gerakan emansipasi dalam jalur-jalur perjumpaan mengenai kesetaraan gender antara yang lokal dan global, penakanan agama tentang aturan gender, serta argumen feminisme dan Islam mengenai kesetaraan.
Pendekatan geneaologis digunakan sebagai upaya menemukan kembali sebuah konsep yang telah ditundukkan oleh sistem gender hierarkis, atau apa yang disebut egalitarianisme dalam tradisi Islam.
Selain itu, secara deskriptif buku ini hendak mengurai konvergensi perempuan Muslim dengan Islam dan feminisme ke dalam lima zaman: emansipasi, asosiasi, pembangunan, integrasi, serta penyebaran. Etin Anwar membagi zaman itu ke dalam lima bab yang saling berhubungan.
Pertama, zaman emansipasi. Di Indonesia, embrio gerakan emansipasi perempuan berpangkal pada ikhtiar Raden Ajeng Kartini (1879-1905), yang kala itu tampil ke permukaan untuk memperjuangkan pendidikan kaum perempuan.
Tak hanya Kartini, nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Rahmah El-Joenesijjah, juga dicatut sebagai upaya mempromosikan kemajuan perempuan dan emansipasi manusia. Mereka dipilih karena getol mewujudkan kemajuan dan emansipasi di Indonesia. Terutama saat ketika periode kolonialisme berlangsung.
Zaman emansipasi dalam buku ini secara holistis menunjukkan bagaimana upaya perempuan dan laki-laki memiliki pandangan yang distingtif terkait kemajuan perempuan, serta bagaimana upaya keduanya mempromosikan emansipasi perempuan dalam rentang lima zaman; kolonialisme Belanda, reformasi Islam, budaya asli, nasionalisme, hingga gerakan transnasional.
Kesemua upaya itu, pada gilirannya memunculkan suatu konklusi ihwal keterlibatan perempuan dalam gerakan kemajuan.
Pelibatan perempuan dalam gerakan kemajuan di Indonesia itulah yang menandai lahirnya zaman asosiasi. Suatu zaman di mana organisasi-organisasi perempuan Islam mulai mengemuka.
Penulis berupaya menarasikan bagaiamana organisasi macam Aisyiyah (1917), Persistri (1936) milik Persis, dan Muslimat (1946) terbentuk, yang kemudian mulai bersinggungan dengan berbagai organisasi nasionalis dan feminis lain. Melalui persinggungan inilah lahir suatu dialektika ihwal kesetujuan dan ketidaksetujuan terhadap isu-isu perempuan yang muncul di kemudian hari.
Adanya organisasi di atas tentu kian memudahkan peran perempuan dalam menanamkan gagasan tentang kesetaraan bagi semua perempuan di segala ranah praksis pergerakan kebangasaan. Termasuk dalam penggunaan hijab di ruang publik.
Penulis melihat inti wacana pemakaian hijab yang demikian sebagai upaya penyetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang secara biologis peran tersebut disesuaikan menurut kodrat masing-masing.
Zaman asosiasi setidaknya meninggalkan jejak bagi adanya pelibatan perempuan bagi pencapaian kemajuan dan emansipasi dalam konteks mendukung modernisasi negara pasca kemerdekaan.
Di titik inilah, di Zaman Pembangunan misalnya, untuk merealisasikan kebijakan negara tentang nilai keibuan, organisasi-organisasi perempuan di atas telah menyediakan jaringan kerja yang sudah ada bagi rezim Orde Baru.
Zaman Orde Baru dengan program pembangunannya menjadi semacam arena yang potensial yang mendukung tenaga kerja perempuan untuk terlibat di dalamnya. Peran utama mereka dalam konteks ini hanya sebatas mendukung suami mereka.
Tentu realitas demikian kian meneguhkan sifat paradigma Gender dalam Pembangunan (Gender in Development) yang berorientasi patriarkis demi memenuhi kebutuhan laki-laki.
Di titik yang demikian, tedapat semacam penolakan terhadap institusionalisasi negara akan nilai keibuan, dari yang semula hanya jadi pelengkap organisasi induknya yang didominasi laki-laki, organisasi perempuan yang disponsori negara, berubah menjadi organisasi independen berbasis kesetaraan yang digerakkan oleh kalangan feminis.
Gerakan-gerakan feminis pun beragama, baik yang berorientasi Islam maupun sekuler. Di samping itu, penulis juga menunjukkan pandangan feminisme sekuler yang memandang Islam sebagai salah satu penghalang kemajuan serta mengidentifikasi berbagai keberatan terhadap pandangan Islam mengenai perempuan.
Meski demikian, kesetaraan berbagi pandangan antara laki-laki dan perempuan sebagai agen etika telah menandai lahirnya zaman integrasi yang membuka tahap persiapan bagi konvergensi antara Islam dan feminisme.
Zaman integrasi, pada titik ini, merupakan suatu fase adanya penerimaan sikap dari gerakan perempuan Muslim terhadap pelembagaan nilai keibuan yang dilakukan oleh negara yang paternalistis serta respons terhadap peran baru perempuan dalam pembangunan.
Dalam konteks yang demikian, organisasi Islam perempuan seperti di atas menerima model paternalistis negara baik mengenai nilai keibuan negara maupun dukungan Islam terhadap nilai tersebut dalam organisasi induknya.
Akhirnya, setelah feminisme dan Islam mengalami pola hubungan konvergen, barulah pada awal 1990-an terjadi masa penyebaran. Sebuah zaman di mana kesarjanaan Islam pada akhir 1980-an dan awal 1990-an di Indonesia menawarkan tiga pendekatan sistematis dalam mendefinisikan feminisme Islam. Pendekatan pertama mengenai pentingnya penggunaan ijtihad yang non-yudisial.
Kedua, mengenai kontekstualisasikan Al-Qur’an untuk mendukung upaya feminis Islam agar supaya menemukan kembali etika gender egalitarianisme sebagai sumber otoritas dan pemberdayaan perempuan, dan yang terakhir adalah upaya untuk menemukan kembali Islam yang transformatif melalui kesetaraan spiritual.
Itulah dinamika feminisme Islam dalam lima zaman dalam buku ini. Membaca tanda lima zaman feminisme Islam akan memantik kesadaran kita akan perjuangan gerakan perempuan dalam segala aspek. Tidak hanya memuat dimensi genealogis, buku ini juga syarat wacana feminisme yang bertaut dengan Islam dan negara.
Etin Anwar, di akhir buku tersebut, menegaskan soal kegelisahannya jika feminisme Islam hanya dijadikan alat kepentingan agama dan negara. Meski demikian, ia tetap optimis bahwa konvergensi antara feminisme dan Islam dapat secara kolektif akan mendukung tercapainya keadilan bagi kaum perempuan.