30 C
Jakarta
Array

Perempuan dalam Lingkaran Setan Radikalisme

Artikel Trending

Perempuan dalam Lingkaran Setan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pembicaraan dan kajian terorisme dan radikalisme kebanyakan mengarah pada kaum laki-laki. Sementara perempuan cenderung kurang diperhatikan. Sebagian kalangan berpendapat bahwa peran perempuan dalam gerakan radikalisme dan terorisme sangat lemah dan terbatas karena radikalisme dan terorisme adalah ranah yang berat dan penuh tantangan sehingga perempuan diasumsikan tidak akan bisa menjalankan tugas yang maha berat itu.

Kalangan lain juga menegaskan bahwa perempuan hanya sebagai korban dari radikalisme saja. Artinya, mereka belum sampai menyentuh pada pelaku atau subjek radikalisme itu sendiri. Akibatnya, keterlibatan perempuan dalam kelompok agenda kelompok ekstremis masih dianggap remeh. Padahal, berdasarkan beberapa kejadian faktual dan studi terkini menyebutkan bahwa, peran dan posisi perempuan dalam gerakan radikalisme dan terorisme sangat signifikan dan strategis serta dapat menjadi ancaman serius bagi bangsa ini ke depannya.

Sebagaimana yang telah mafhum di kalangan masyarakat luas, bahwa perempuan adalah pendidik bagi anak-anaknya. Bayangkan jika pendidik itu terpapar paham radikal, niscaya ia sama saja sedang menciptakan generasi muda militan yang radikal. Dalam beberapa kasus radikalisme dan terorisme, perempuan, sebagai seorang ibu, akan mengambil peran sebagai pelindung yang menyembunyikan, menyelamatkan dan memberi tempat yang aman bagi pelaku aksi teror.

Dalam tataran tertentu, perempuan, dalam kaitannya peran dan kontribusi dalam radikalisme dan terorisme, lebih ganas nan bahaya daripada kaum laki-laki. Hal ini terkonfirmasi oleh beberapa studi yang intinya menyebutkan bahwa perempuan itu memiliki peran strategis dalam gerakan radikalisme; sebagai penggalang dana, fasilitator transaksi, maupun pelaku pengeboman. Peran-peran inilah yang selama ini terjadi.

Dengan kata lain, posisi perempuan dalam gerakan radikalisme dan terorisme bisa memainkan dua peran sekaligus; menjadi subjek sekaligus objek. Sebagai subjek, perempuan bisa berperan sebagai pendidik, agen perubahan, propagandis, pengumpul  dana,  perekrut,  penyedia  logistik,   pengantin   atau pelaku bom bunuh diri, kurir, agen radikal, motivator, simpatisan, pendukung, pengikut, dan pendamping setia.

Para perempuan, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Umi Sumbulah dalam Orasi Ilmiahnya, yang disampaikan pada pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Studi Islam UIN Malang dalam beberapa waktu lalu, juga dapat berperan memberikan dukungan keuangan dan logistik; pembukuan; menghubungkan jaringan ekstremis melalui pernikahan; peran domestik berupa melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak-anak; dakwah dan propaganda; menjalankan media online dan media sosial; menyembunyikan teroris di rumah mereka; menjadi sukarelawan pembuat bom, pelaku bom bunuh diri, dan menjadi kombatan.

Perempuan sebagai Subjek dan Objek Gerakan Radikalisme

Keterlibatan perempuan dalam gerakan radikalisme dan terorisme menarik untuk dikaji secara mendalam. Terlebih saat ini ada tren baru, yakni rekrutmen perempuan sebagai martir dan pelaku “pengantin” bom bunuh diri. Evolusi partisipasi perempuan inilah, sekali lagi, yang harus benar-benar menjadi perhatian bersama.

Menyikapi fenomena perempuan terpapar dan menjadi aktor gerakan radikalisme dan terorisme ini, muncul sebuah pertanyaan mendasar; apa yang menyebabkan perempuan ikut terlibat dalam aksi-aksi dan radikalisme ini?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita sedikit flash-back ke beberapa kejadian yang telah lalu, yakni siapa saja perempuan yang terlibat aksi terorisme dan radikalisme di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat memotret secara utuh fenomena perempuan dalam jeratan paham radikalis-teroris.

Sebagaimana data yang telah dihimpun dari berbagai sumber, baik internet, kajian ilmiah dan lainnya, berikut di antara perempuan-perempuan yang terpapar ideologi radikal dan melakukan aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia adalah: 1) Munfiatun (2006) Istri Noordin M. Top yang terlibat kasus menyembunyikan pelaku kekerasan ekstrem yang dilakukan suaminya; 2) Siti Rahmah (2008), istri kedua Noordin M. Top dan terlibat kasus menyembunyikan suaminya; 3) Putri Munawaroh, Istri Adib Susilo yang menyembunyikan pelaku terorisme; 4) Nurul Azmi Tibyani, Istri Cahya Fitriyanta yang membantu suami dalam pendanaan  pelatihan  militer  Poso tahun 2008;

5) Ummu  Delima  (2014),  istri  Santoso  yang  mendukung  suaminya  dalam  gerakan  terorisme  Poso; 6) Arinda Putri Maharani, istri pertama Muhammad Nur  Solihin, tersangka otak pelaku bom panci yang disiapkan untuk diledakkan istri keduanya di istana negara; 7) Dian Yulia Novi (2016), isteri kedua Nur Solihin sebagai pelaku bom  panci  yang gagal meledak di istana negara; dan 8) Ika Puspita Sari (2016), pelaku bom bunuh diri dan keduanya mantan buruh migran;

9)Tutin Sugiarti, penjual obat-obatan herbal dan terapis pengobatan Islam yang memfasilitasi perkenalan Dian dengan pimpinan sel ISIS; 10) Puji Kiswati, pelaku peledakan bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya bersama suami dan ketiga anaknya;11) Tri Ernawati, pelaku peledakan bom di polrestabes Surabaya bersama suami dan anak-anaknya, dan 12) Puspita Sari, istri pelaku pembuat bom yang meledak di rusunawa Wonocol (Sambulah, 2019).

Data di atas belum termasuk keterlibatan perempuan dalam lingkaran setan kelompok radikal internasional seperti ISIS. Hingga tahun 2017, setidaknya 671 WNI yang terdiri dari 524 laki-laki dan 147 perempuan terlibat kelompok ISIS di Irak dan Suriah.

Dari data tersebut, lalu Polisi merincinya sebagai berikut; laki-laki dan perempuan yang masih hidup dan pernah terlibat dengan Daesh di Irak dan Suriah sebanyak 343 orang, dan  99  anak-anak.  Sementara, FTF (foreign terrorist fighters ) dari Indonesia yang tewas di Irak dan Suriah sebanyak 97 orang, 132 orang belum diketahui identitasnya, termasuk dua    di antaranya anak-anak.

Sumber lain, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, bahwa hingga awal 2018 lalu, setidaknya ada 800 jihadis asal Asia Tenggara yang ikut bergabung ISIS di Suriah, 700 adalah warga negara Indonesia.

Faktor Penyebab

Jika ditelisik lebih dalam dan berdasarkan hasil kajian ilmiah oleh beberapa peneliti, maka dapat ditemukan beberapa faktor mengapa perempuan bisa terlibat dalam gerakan radikalisme, seperti gabung dengan ISIS dan kelompok radikal lainnya.

Pertama, faktor pribadi; tidak memiliki kemampuan literasi yang baik. Perempuan itu, seringkali menampakkan dirinya sebagai kelompok yang tidak memiliki literasi yang baik sehingga menjadi kelompok yang sangat rentan terpapar paham radikalis-teroris. Kemampuan literasi yang kurang baik akan menjadikan seseorang mudah terpengaruh oleh propaganda kelompok radikal yang dibungkus rapi dalam konten yang tersebar di media sosial.

Akses media sosial yang mudah  ditambah massifnya narasi dan propaganda yang diproduksi oleh kelompok radikal secara sistematis dan komprehensif, membuat perempuan-perempuan dengan kemampuan literasi keagamaan rendah gampang terpengaruh konten radikal.

Kedua, faktor suami. Pada umumnya, perempuan memiliki loyalitas penuh kepada suami. Hampir bisa dipastikan bahwa jika suaminya terpapar radikalisme, maka istri akan turut terpapar juga. Aksi bom bunuh diri berpasangan sebagaimana diungkap pada uraian sebelumnya adalah bukti yang sulit dibantah. Aksi konyol ini atas adasar loyalitas penuh terhadap suami.

Lebih jaul lagi, Umi Sumbulah dalam Perempuan dan Keluarga: Radikalisasi dan Kontra Radikalisme di Indonesia (2019) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang menjadi daya penarik bagi perempuan terlibat radikalisme. Pertama, faktor  religius  berupa kuatnya doktrin bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban bagi setiap Muslim.

Kedua, faktor ideologis  berupa doktrin hijrah, jihad, syahid, Islam kaffah yang  dimaknai  dalam dimensi politis sebagai kewajiban untuk mewujudkan piranti dan institusi politik. ” Islam adalah agama yang kaffah dan mengatur semua kehidupan di dunia ini. Maka, tegakkanlah khilafah agar ber-Islam-mu menjadi kaffah.” Orang yang memiliki kemampuan literasi keagamaan lemah dicekoki argumentasi seperti ini, pasti orang ini akan goyah dan menganggap bahwa Pancasila tidak Islami.

Ketiga, faktor politis berupa munculnya radikalisme sebagai respon terhadap narasi ketidakadilan yang dipertontonkan negara. Keempat, faktor pribadi berupa provokasi dan propaganda melalui internet yang dapat mempengaruhi para perempuan muda untuk meninggalkan zona nyaman mereka untuk bergabung dengan kelompok radikal. Terkait poin keempat ini, sudah banyak contoh atau korbannya.

Perempuan yang masuk dalam lingkaran setan radikalisme dan terorisme adalah persoalan yang serius karena perempuan, selain bisa menjadi aktor gerakan radikalisasi dan aksi teroris, juga bisa mencetak kader radikal yang super militan.

Oleh sebab itu, tren pelibatan perempuan dalam gerakan radikalisme yang semakin meningkat ini harus disikapi secara serius dan terencana serta berkelanjutan. Tak lupa, semua elemen masyarakat juga harus turut berpartisipasi dalam mengeluarkan para perempuan dari lingkaran setan radikalisme ini.

Organisasi perempuan, Fatayat NU dan Aisiyah misalnya, harus mulau gencar mengkampanyekan anti radikalisme (melakukan kontra radikalisme) kepada kader-kadernya dan masyarakat sekitar.

Pemerintah, dalam hal ini yang mempunyai otoritas penuh, juga tak boleh memandang fenomena perempuan terlibat aktif dalam gerakan terorisme ini sebagai persoalan yang remeh. Pemerintah harus mulai menyentuh pada perempuan, bahkan libatkan perempuan yang mempunyai pengalaman uniknya itu dalam kebijakan kontra radikalisme.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru