27.3 C
Jakarta

Perbedaan Peta Kebijakan Arab Saudi dalam Perang Suriah dan Yaman

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahPerbedaan Peta Kebijakan Arab Saudi dalam Perang Suriah dan Yaman
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Arab Saudi sebagai salah satu negara penghasil minyak mentah terbesar, dengan menempati urutan kedua di dunia (Jessica Claudia Mawikere, 2016: 10). Hal ini lantas menjadikan Arab Saudi menjalin hubungan dengan negara-negara industri, baik di daratan Eropa maupun Amerika Serikat. Sementara itu, secara georafis Yaman memiliki letak yang cukup setrategis sebagai jalur perdagangan. Hal itu mengingat di Semenanjung Arab terdapat dua jalur perdagangan laut yang sangat penting.

Di selatan terdapat Selat Hormuz, yang saat ini di bawah kendali Iran. Sedangkan di sebelah utara terdapat Selat Mandab (Babu al-Mandab), yang terletak di antara Yaman dan negara Tanduk Afrika (Somalia, Djibouti, dan Eritrea).

Selat Mandab merupakan penghubung antara Samudra Hindia dan Laut Mediterania. Selain itu Selat Mandab ialah penghubung bagi kapal-kapal minyak dari Negara Teluk untuk bisa memasuki daratan Eropa dengan jangka waktu yang lebih singkat.

Lebih daripada itu, Selat Mandab dianggap menjadi jalur ekspor-impor yang sangatlah penting bagi negara-negara yang memiliki kepentingan di kawasan tersebut. Selat yang memiliki lebar 18 mil ini, menurut Departemen Energi Amerika dianggap sebagai jalur minyak tersibuk ke-empat di dunia dan dianggap sebagai chake point transit minyak dunia (Puji Taliasih, 2016).

Sementara itu, keadaan Yaman yang tidak setabil dan di sisi lain pengaruh al-Houthi yang terus menguat di Yaman. Itu semua lantas menjadi ancaman bagi Arab Saudi dan negara-negara lain yang memiliki kepentingan di jalur perdagangan tersebut (Bab al-Mandab). Hal itu disebabkan karena kedekatan hubungan antara al-Houthi dan Republik Islam Iran (RII).

Iran yang secara mantap mengendalikan Selat Hormuz, dianggap sebagai sebuah ancaman apabila al-Houthi menguasai sepenuhnya pemerintahan di Yaman. Maka secara tidak langsung Selat Mandab pun akan jatuh di bawah kontrol Iran. Hal ini tentunya menyebabkan Arab Saudi dan negara-negara yang bersebrangan dengan Iran mengambil langkah pasti untuk menyempitkan ruang gerak al-Houthi yang dianggap berada di bawah pengawasan Iran.

Al-Houthi dan Iran yang juga memiliki ideologi yang sama secara akidah, yaitu akidah Syi’ah. Perbedaan akidah juga sebagai salah satu sentimen bagi Arab Saudi yang mayoritas menganut Salafi-Wahabi. Salafi-Wahabi dengan beberapa ulamanya yang secara tegas sering mengeluarkan fatwa tentang sesatnya kaum Syi’ah.

Hal tersebut juga menjadi salah satu dalih yang digunakan Arab Saudi untuk memperoleh dukungan dari masyarakatnya. Juga pastinya untuk mendulang dukungan negara-negara Sunni untuk menghalalkan serangan militer terhadap kelompok al-Houthi di Yaman.

Tepat pada tanggal 29 April 2015 M. Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, Muhammad bin Nayef memberikan pernyataan resminya untuk melakukan serangan militer terhadap al-Houthi di Yaman. Serangan pertama diarahkan ke wilayah perbatasan Jizan yang mengakibatkan satu orang tentara perbatasan dan dua orang warga sipil Yaman meninggal dunia (Ahmad Fuadi, 2017: 01). Serangan koalisi Arab Saudi ini telah memakan nyawa ratusan ribu dari warga sipil Yaman. Termasuk yang menjadi mayoritas korban adalah golongan perempuan dan anak-anak.

Andrew Coburn, seorang wartawan senior majalah Harper’s yang terbit di Amerika mengatakan:

“Pemerintah Arab Saudi yang beraliran Sunni merasa ketakutan menyaksikan kekuatan kelompok bersenjata al-Houthi yang beraliran Syi’ah, yang mendapatkan sokongan dari Iran, dan sekaligus merupakan musuh besar Arab Saudi. Arab Saudi memiliki ketakutan bahwa Iran akan membangun pangkalan militernya di perbatasan bagian selatannya. Tapi hal ini sebenarnya hanyalah sebuah ketakutan yang tidak beralasan, alias paranoia, karena Iran sendiri tidak memiliki maksud seperti itu. Iran memang memilki hubungan yang sangat erat dengan kelompok al-Houthi yang merupakan kelompok yang berpaham Syi’ah yang mendominasi Yaman bagian utara (VOAIndonesia, 2019: 12).”

Apabila Yaman jatuh ke tangan al-Houthi yang berada di bawah kendali Iran. Maka, Arab Saudi dan mayoritas negara kawasan Teluk akan merasa terhimpit baik secara politik dan ekonomi. Selain itu juga akan mengurangi pengaruh serta peran penting Saudi Arabia untuk bisa mengendalikan pemerintahan Yaman.

Sikap Arab Saudi Terhadap Perang di Suriah

Intervensi Arab Saudi dalam konflik Suriah, merupakan salah satu kepentingan nasional Arab Saudi yang harus diwujudkan. Arab Saudi dan Suriah merupakan dua negara Arab yang bersaing amat ketat dalam memperebutkan kursi kepemimpinan di Liga Arab. Juga ditambah dengan meningkatnya pengaruh Iran yang amat kuat di kawasan Timur Tengah adalah suatu ancaman yang nyata bagi Arab Saudi.

Maka dari itu, dengan mengintervensi konflik yang terjadi di suriah serta melengserkan Bassar Al-Assad diharapkan bisa menjawab kepentingan Arab Saudi, serta menyingkirkan daftar negara pendukung setia Iran di Timur Tengah (Oktana Karbesi, 2016).

Selain hal tersebut, Arab Saudi memiliki ambisi yang begitu besar untuk menancapkan taringnya di Suriah. Terutama dalam aspek perekonomian. Akan tetapi, Arab Saudi memperoleh kegagalan untuk menjadikan Suriah sebagai mitra ekonominya.

Keinginan utama Arab Saudi ialah untuk menjadikan Suriah sebagai jalur penting perdagangan minyak. Hal itu, dengan jalan memasang pipa untuk memudahkan distribusi minyak ke beberapa negara yang menjadi konsumen Arab Saudi. Akan tetapi, keinginan Arab Saudi tersebut harus kandas karena penolakan kuat yang ditunjukkan oleh Presiden Suriah Bashar al-Asad (Mustahyun, 2017: 12).

Dalam konflik Suriah, jika diamati secara sepintas. Maka, akan nampak pemicu kuatnya adalah karena keinginan yang kuat dari masyarakat Suriah untuk melakukan perubahan sistem pemerintahan yang selama ini dianggap otoritarianisme. Hal ini, bisa dilihat dari simbol yang diperlihatkan dalam proses bergulirnya Arab Spring, yaitu keinginan masyarakat-negara untuk menerapkan sistem demokrasi.

Akan tetapi, jika ditelisik lebih dalam, maka akan nampak sesuatu yang berbeda. Suriah pada dasarnya ialah salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang memiliki kekuatan militer dan intelejen yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Selain itu Suriah di bawah kepemimpinan Bashar Al-Asad, selalu menampakkan sikap perlawanannya terhadap Israel yang notabenenya adalah sekutu kuat Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah.

Keadaan Suriah yang seperti demikian menjadikan negara-negara seperti Israel, NATO, Amerika Serikat, Saudi Arabia, Turki, dan Qatar melakukan langkah dengan mendukung oposisi (A. Muchaddam Fahham dan A.M. Kartatmaja, 2014: 06). Padahal dalam kenyataan yang terjadi. Haluan politik oposisi yang mendapatkan dukungan dari negara-negara tersebut sangat bertentangan dengan simbol yang diangkat dalam proses bergulirnya Arab Spring. Karena Arab Spring merupakan momentum untuk diterapkannya sistem pemerintahan baru yang dikenal dengan sistem demokrasi.

Adapun kelompok-kelompok yang disokong oleh Arab Saudi dan yang lainnya ialah kelompok-kelompok seperti Jabhah Nushroh, al-Qaida, dan beberapa kelompok lainnya. Kelompok-kelompok tersebut bisa terbilang ekstrim dan bahkan kelompok teroris yang sangat jauh dari kata demokrasi.

Dari paparan di atas memperlihatkan bahwa sikap negara-negara yang sering ikut campur dalam pergulatan konflik di Timur Tengah menampakkan sikap ketidak konsistenannya. Jika di Yaman, Arab Saudi dan yang lainnya mendukung pemerintahan yang digulingkan oleh kelompok al-Houthi dengan dalih menyelamatkan pemerintahan yang terpilih secara konstitusional. Akan tetapi, dalam kasus Suriah negara-negara tersebut malah memposisikan diri mereka pada posisi yang berbanding terbalik dari apa yang menjadi dalih mereka dalam mengintervensi Yaman.

Ahmad Masyhur, alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga konsentrasi Kajian Timur Tengah

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru