26.5 C
Jakarta

Pemaduan Sikap Melawan Kaum Radikal di Era Disrupsi Informasi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPemaduan Sikap Melawan Kaum Radikal di Era Disrupsi Informasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kemunculan era baru menunjukkan adanya tantangan baru. Era kali ini, yaitu era revolusi industri 4.0, memiliki ciri khas menantang terhadap kehidupan manusia. Adanya disrupsi informasi yang berangkat dari revolusi industri teknologi membuat peluang bagi penguasa data untuk menjadi adikuasa.

Namun, di samping itu, mereka yang tak mau kalah dalam persaingan ini juga melakukan perlawanan dengan memanipulasi informasi untuk kemudian menjebak yang lain menjadi pengikutnya.

Inilah salah satu yang dilakukan kaum radikal dalam merealisasikan keabadian dirinya. Sementara itu, peradaban teknologi ini juga mengamini manusia untuk saling mencari pengikut dengan manipulasi informasi yang tanpa batas.

Adanya fenomena demikian membuat jejaring radikal berpotensi untuk berkembang. Penyelarasan paham keagamaan mulai terganggu lagi dengan hadirnya fenomena ini. Terlalu banyak oknum radikal untuk hal ini dibiarkan, selain juga adanya pelayanan teknologi terhadap siapu pun yang berkehendak menampilkan informasi sebebas mungkin.

Lebih dari itu, masyarakat milenial yang menjadi salah satu sasaran utama mereka juga memiliki ketergantungan terhadap sumber informasi, android.

Nostalgia Tantangan Kaum Muslim

Umat Islam pernah mengalami dilema serupa terkait suatu informasi yang datang dari Nabi—hadis. Dalam masa kodifikasi Al-Qur’an terdapat tantangan yang cukup menekan para sahabat waktu itu. Mereka bimbang soal adanya campur aduk antara ayat dengan hadis.

Sejak itu, Sayidina Abu Bakar enggan menerima riwayat hadis kecuali si perawi menyertakan saksi dan sumpah. Hal ini berlanjut sampai masa Sayidina Usman, dan terkenal dengan nama taqlil alriwayat (pembatasan riwayat). Alasan utama dalam kebijakan ini adalah menjaga orisinalitas masing-masing.

Peristiwa lebih serupa dengan fenomena disrupsi informasi adalah terjadi pada perjuangan muslimin pada masa selanjutnya dalam menjaga orisinalitas hadis. Ya, fenomena disrupsi informasi kali ini membuat saya teringat pada peristiwa konflik antara pendukung Ali dan Muawiyah.

Tatkala mereka saling berebut kekuasaan, dengan agama yang menjadi tunggangannya, banyak informasi tak benar yang dinisbahkan kepada Nabi (hadis palsu). Hal ini mereka lakukan untuk mendapatkan dukungan politik masing-masing.

Sejak saat itulah ulama membuat kebijakan baru soal periwayatan suatu hadis. Kebijakan tersebut sebenarnya adalah kebijakan masa sahabat, hanya saja diperketat dengan adanya penyebutan perawi dari gurunya sampai Rasulullah. Sebagaimana ungkapan ulama hadis ketika di hadapan suatu periwayatan:

سموا لنا رجالكم

Artinya: Sebutkan kepada kami para pembawa beritamu.

Ibnu Al-Mubarak berkata:

 الإسناد من الدِّين، لولا الإسنادُ لقَالَ من شاء ما شاء

Artinya: Sanad bagian dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh sembarang orang akan berkata apa yang dikehendaki.

Perjuangan Muslim dalam menjaga orisinalitas hadis tidak berhenti sampai di sini. Tantangan demi tantangan makin hari makin bertambah.

Terbukti setelah tantangan yang berangkat dari konflik kekuasaan politik antar pendukung Ali dan Muawiyah, kaum Muslim dijejali dengan dilema para perawi hadis yang memiliki daya hafal yang tidak kuat atau di antara beberapa perawi yang disebutkan tidak memiliki sifat adil. Di samping itu Muslim kala itu juga tak melepas soal kata yang dipilih perawi.

Pemaduan Sikap

Keduanya bertemu pada dua hal; pertama, unsur pokok masalah dan, kedua, motif yang mendorong munculnya pokok masalah.

BACA JUGA  Merawat Kesinambungan Spirit Kebaikan-kebaikan Ramadan

Era disrupsi melahirkan informasi tanpa batas baik valid atau tidak serta tidak luput dari beberapa kepentingan, sementara kemunculan ilmu hadis juga sebagai respons terhadap adanya informasi yang dinisbatkan pada Rasulullah namun dalam kenyataannya tidak demikian.

Problematika disrupsi informasi selalu membentuk antara dua hal; pertama, disintegrasi atau sekurang-kurangnya, kedua menghilangkan kesadaran kebangsaan. Adanya dua hal ini berangkat dari informasi yang tidak valid atau salah tafsir terhadap suatu informasi.

Adanya informasi yang salah juga bisa terjadi dengan dua hal; pertama, disengaja dengan kepentingan tertentu atau, kedua, sang penyampai informasi tidak memiliki daya ingat yang kuat hingga terjadi kesalahpahaman. Sementara salah tafsir terhadap informasi bisa berangkat dari kecerobohan seseorang dalam menyikapi suatu informasi.

Hal yang sama juga ditemukan dalam fakta kemunculan ilmu hadis; bahwa adanya kepentingan dalam meriwayatkan suatu hadis atau daya ingat yang tidak cukup kuat dalam menerima hadis selalu membayangi adanya kesalahan dalam suatu hadis. Dengan adanya ilmu hadis kita bisa mengidentifikasi sejauh mana hadis tersebut benar adanya sehingga bisa diterima.

Adapun terkait pemaduan sikap terhadap suatu informasi adalah bentuk respons terhadap informasi terkait hal yang ia tidak ketahui secara pasti. Melalui pemaduan sikap tersebut kaum bisa milenial bisa melakukan beberapa pertimbangan sebagaimana ketika suatu hadis dikoreksi.

Hal yang sangat urgen dalam mempertimbangkan suatu hadis adalah melihat bagaimana dampaknya. Sejauh ia dapat mendorong Muslim untuk lebih taat dan berada di jalan yang benar maka ia diterima, meskipun kenyataannya ia adalah hadis dla’if atau bahkan maudlu’. Begitu juga sebaliknya, bahwa tidak semua hadis yang sahih itu bisa disampaikan ke publik.

Hanya saja ketika suatu hadis itu sudah mendapatkan label dla’if maka bentuk penerimaannya sebagai dasar suatu tindakan harus memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat itulah yang ikut serta mempertimbangkan akibat yang akan terjadi nantinya.

Sementara hadis palsu boleh diriwayatkan dengan cara tidak menisbahkannya pada Nabi. Namun, jika dijadikan sebagai dasar suatu tindakan itu boleh selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat yang sudah lazim.

Salah satu syarat yang mungkin memiliki nilai relevansi adalah fenomena disrupsi informasi adalah bahwa ia harus bernaung di bawah kaidah yang sah.

Hal ini jika dialih-implementasikan ke informasi secara umum adalah bahwa suatu informasi yang secara sumber belum jelas atau terdapat beberapa sumber yang diduga secara kuat memiliki kepentingan bisa dijadikan dasar suatu tindakan jika memiliki pendukung yang valid, semisal informasi lain atau nalar logis.

Kembali pada pernyataan bahwa tidak semua hadis sahih bisa disampaikan kepada publik dengan alasan tertentu, semisal nalar mereka tidak dapat mencapai pemahaman hadis tersebut sehingga dapat menyesatkannya.

Hal ini jika kita implementasikan ke informasi secara umum adalah bahwa sebenar apa pun suatu informasi jika ia dapat merusak hubungan harmoni suatu bangsa maka tidak layak untuk disampaikan kepada publik.

Sebagai contoh, misalnya ujaran kebencian yang didasarkan bahwa mereka yang non-Muslim akan masuk neraka. Meskipun secara subjektif ajaran Islam itu benar adanya, namun berdasarkan adanya nilai provokatif dan intoleransi pada informasi tersebut maka tidak seharusnya disampaikan.

Ghufronullah
Ghufronullah
Mahasantri di Ma’had Aly Situbondo. Pemenang Juara I LKTI Nasional yang diselenggarakan BPIP, Juara Harapan Lomba Esai Jawi dan Esai Rumi yang diadakan oleh UTM Malaysia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru