27.5 C
Jakarta

Pancasila Harus Dijadikan sebagai Gaya Hidup Berbangsa

Artikel Trending

AkhbarDaerahPancasila Harus Dijadikan sebagai Gaya Hidup Berbangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Surabaya-Merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74, dinilai berbagai pihak sebagai momen yang tepat untuk meningkatkan pengahayatan Pancasila sebagai filsafat dan gaya hidup berbangsa.

Terlebih, nilai-nilai yang melekat pada lima sila berjalan harmonis dan tidak berlawanan dengan ajaran agama-agama yang dianut oleh warga negara Indonesia.

Hal itu diungkapkan oleh pemerhati sosial, Dhimas Anugrah. “Sejak awal disahkannya, Pancasila bukanlah ideologi yang bertentangan dengan agama. Pancasila justru diakarkan pada nilai-nilai religius yang pada akhirnya membuat dasar negara kita menempatkan nilai-nilai ketuhanan sebagai salah satu fundamen etis bagi kehidupan berbangsa,” kata Dhimas.

Menurut Dhimas hal tersebut yang mendorong Bung Karno menempatkan ketuhanan sebagai akar dari semua sila kenegaraan. “Walau waktu itu letaknya sebagai sila kelima, tetapi itu justru menjadikan ketuhanan sebagai dasar bagi semua sila di atasnya, yaitu kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Pancasila Memiliki Dimensi Politik dan Dimensi Etis

“Mengutip Driyarkara, seorang filsuf Indonesia di era Soekarno, Dhimas mengatakan bahwa Pancasila memiliki dua dimensi, yaitu dimensi politik dan dimensi etis. Dimensi politik adalah peranan langsung negara dalam ranah publik, penghormatan hak asasi, persatuan bangsa, sistem demokrasi, dan perwujudan sosial. Sementara dimensi etis adalah area normatif atau nilai yang mendasari semua tindak politik itu sendiri. Dimensi etis ini dinaungi keyakinan akan Tuhan sebagai cerminan kultur bangsa yang berwarna religius,” imbuh pria yang juga politisi PSI ini.

BACA JUGA  Tujuh Puluh Dua Narapidana Terorisme Ucapkan Ikrar Setia NKRI

Dhimas menyimpulkan, Pancasila selaras dan tidak bertentangan dengan agama-agama di Indonesia. Dua dimensi tersebut membuat negara otonom terhadap agama. Artinya, pengaturan agama dan Tuhan bukanlah urusan langsung dari negara, tetapi proses bernegara dijalankan dengan rasa hormat dan takjub pada Tuhan Yang Maha Esa.

“Pola seperti ini diusulkan oleh Alfred Stephan sebagai hubungan toleransi kembar atau “twin tolerations” antara agama dan negara. Sehingga di Indonesia, menjadi umat beragama sekaligus menjadi warga negara yang menghayatinya adalah sebuah keniscayaan,” pungkas intelektual muda Oxford Inggris.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru