Harakatuna.com – Perayaan Imlek, tidak lepas dari hiruk-pikuk perjalanan masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia. Pada masa Orde Baru, ketika mendapatkan pelarangan, termasuk diskriminasi, intoleransi, masyarakat Tionghoa tidak pernah gentar dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut. Hari ini, tidak ada lagi pelarangan perayaan Imlek. Setiap orang bersuka cita merayakan ataupun mengucapkan perayaan Imlek kepada teman, kerabat atau saudara jauh. Perlu diketahui pula bahwa, Imlek menjadi salah satu bagian dari kekayaan bangsa.
Kisah tentang para Muslim Tionghoa yang merayakan Imlek, banyak sekali untuk kita baca di media massa ataupun video singkat yang beredar di media sosial. Melinda, misalnya. Berdasarkan BBC Indonesia, ia menceritakan pengalamannya ketika ikut merayakan Imlek dan ikut ke kelenteng tapi menggunakan jilbab.
Awalnya, ia mendapatkan cibiran karena menggunakan jilbab ketika ke kelenteng. Pengalaman-pengalaman rasis yang didapatnya ketika ikut merayakan Imlek merupakan perjalanan hidup yang ia rasakan sebagai minoritas di keluarganya. Namun, Melinda meyakini bahwa, apa pun yang ia lakukan, termasuk ikut ke kelenteng adalah bagian dari menghargai tradisi leluhur dan mendoakannya berdasarkan keyakinan yang dianutnya sekarang.
Muslim Tionghoa yang ikut merayakan Imlek, kerapkali mendapatkan diskriminasi dari masyarakat Tionghoa lainnya, bahkan tidak jarang dari keluarganya sendiri. Padahal, umat Muslim-Tionghoa yang ikut merayakan Imlek tidak melakukan semua ritual. Dalam konteks kehidupan sosial, mereka ikut merayakan sebagai salah satu cara untuk menghargai keluarga ataupun leluhur sehingga menyeimbangkan dengan doktrin keagamaan yang dimiliki.
Muslim Tionghoa dan Kekayaan Budaya
Keberadaan Muslim Tionghoa menjadi salah satu kelompok Muslim yang besar di Indonesia. Peleburan antara Islam, Jawa dan Tiongkok, merupakan salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Islam di Indonesia. Sunan Ampel, yang merupakan keturunan Tionghoa, memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Jawa sehingga strategi dakwah yang dilakukan adalah memadukan budaya Jawa, Tiongkok dan Islam.
Strategi tersebut disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang pada saat itu beragama animisme Hindu dan Buddha. Peninggalan bangunan yang berupa masjid-masjid di Pulau Jawa terdapat arsitektur bangunan daratan Tiongkok yang menjadi bukti bahwa, budaya Tiongkok, memiliki andil besar dalam sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia.
Perlu diketahui bahwa, komunitas Tionghoa ada di Indonesia sejak abad ke-15. Banyak dari mereka yang sudah memeluk agama Islam. Tidak heran bahwa, terjadi akulturasi budaya Jawa-Islam dan Tionghoa dalam beberapa aspek seperti bangunan, pakaian, hingga makanan.
Proses akulturasi ini, tidak lepas dari berbagai cara, seperti perkawinan antara orang Tionghoa-Muslim dan Jawa. Mereka kemudian menjadi bagian penting dalam perjalanan budaya bangsa Indonesia. Tidak hanya perkawinan, akulturasi budaya juga terjadi melalui pengaruh agama. Banyak sekali masyarakat Tionghoa beragama Islam. Sekitar 4,65% orang Tionghoa beragama Islam dengan total penduduk 2.8333 juta jiwa yang berlatar belakang etnis Tionghoa.
Dengan kenyataan tersebut, kita dapat memaknai bahwa, akulturasi budaya Tionghoa-Muslim dan Jawa menjadi salah satu kekayaan besar yang dimiliki oleh Indonesia. Hal ini menjadi simbol harmonisasi yang kuat untuk meningkatkan sikap toleran terhadap sesama.
Oleh karena itu, penting untuk kita memahami bahwa dengan kondisi ini, kita perlu untuk menguatkan hubungan kedua komunitas lebih harmonis. Menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dalam hubungan kedua komunitas ini, merupakan tugas kita bersama. Di tengah keterbukaan dan kebebasan berekspresi, kita perlu untuk menguatkan sikap saling menghargai dan memaknai perbedaan sebagai bagian dari kekayaan. Wallahu A’lam.