Harakatuna.com- Perayaan Imlek tahun 2025 bisa jadi momentum sangat mengasyikkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia karena tanggal merah cukup panjang karena bertepatan dengan libur weekend dan libur perayaan Isra’ Mi’raj. Euforia perayaan Imlek menjadi salah satu kebahagiaan tersendiri bagi semua masyarakat Indonesia. Di Kota Bandung, misalnya, toko-toko yang ada di Jalan Cibadak dan Jalan Sudirman, dihias dengan ornament-ornamen warna merah seperti lampion yang identik dengan Imlek.
Berbagai ucapan atau baliho yang terpampang di pinggir jalan, semakin menguatkan nuansa Imlek. Masjid-masjid Tionghoa yang ada di Jakarta seperti: Masjid Lautze, Babah Alun, Al-Imtizaj, hingga Masjid Ramlie Mustofa dan Cheng Ho, tidak ketinggalan. Berbagai macam ornament Imlek turut menyertai perayaan Imlek tahun 2025 ini.
Di media sosial juga ramai konten tentang perayaan Imlek. Perayaan Imlek tidak hanya dirasakan oleh umat Konghucu, akan tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Banyak sekali konten yang diproduksi oleh netizen, mulai dari keseruan mendapatkan angpao hingga barongsai. Media sosial menjadi sumber informasi utama bagi seluruh masyarakat Indonesia, sehingga kita bisa mengetahui tradisi yang terdapat dalam perayaan Imlek. Indahnya keberagaman tersebut, menjadi salah satu kebahagiaan bagi masyarakat Indonesia karena terdapat banyak sekali kekayaan budaya, tradisi dan perayaan yang dilakukan oleh masing-masing kelompok agama.
Peran Gus Dur di Balik Perayaan Imlek
Di balik keseruan perayaan Imlek, kebebasan berekspresi dan beragama yang ditampilkan melalui media sosial dan kehidupan yang beragama hari ini, kita tidak boleh lupa bahwa ada peran Gus Dur dalam perayaan Imlek. Gus Dur mencabut larangan bagi warga Tionghoa merayakan Imlek lewat Keputusan Presiden (Kepperes) Nomor 6 Tahun 2006. Keppres yang dibuat Gus Dur mematahkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang dikeluarkan Presiden Soeharti di masa Orde Baru memimpin Indonesia.
Di peraturan lama, warga Tionghoa di Indonesia tidak diperkenankan melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara mencolok dan hanya diperbolehkan di lingkungan keluarga. Aturan tersebut sudah berlaku 32 tahun di era kepemimpinan Soeharto. Kebebasan beragama yang dimiliki masyarakat Tionghoa hari ini, tidak boleh menegasikan peran Gus Dur. Ketika menjadi Presiden keempat RI, melalui kebijakannya, ia mampu mengubah kondisi keberagamaan yang ada di Indonesia. Atas dasar tersebut, Gus Dur dijuluki sebagai bapak Tionghoa.
Gus Dur tidak hanya memberikan ruang yang sangat besar bagi kebebasan beragama masyarakat Indonesia. Ia selalu menjadi sosok yang selalu dirindukan sampai hari ini, utamanya ketika masih banyak sekali terjadi konflik, perdebatan ataupun perseteruan yang dilatarbelakangi oleh perbedaan keyakinan/agama. Sebagai seorang negarawan, Gus Dur menjadi sosok yang mengimplementasikan kesetaraan bagi seluruh warganya untuk menjalankan ibadah keagamaan. Artinya, tidak ada pembeda yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, baik dari suku, agama, ras, ataupun kelompok. Sebab bagi Gus Dur, kita semua adalah bangsa Indonesia.
Upaya merangkul semua golongan, tanpa mengklaim benar atau salah, merupakan hal yang diwariskan oleh Gus Dur untuk kita lanjutkan. Sebagai umat Muslim, kelompok yang besar di Indonesia, kita selalu diingatkan oleh Gus Dur untuk tidak diskriminatif terhadap kelompok yang berbeda. Sebab kita adalah satu, yakni hidup sebagai bangsa Indonesia. Wallahu A’lam.