Harakatuna.com – Sepekan lagi Pilkada serentak akan digelar. Debat kandidat sudah pada kelar, dan masyarakat tampaknya sudah memiliki pilihannya sendiri untuk memeriahkan Pilkada serentak sebagai momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk politik yang memanas, ada tantangan besar yang laik dihadapi bersama: harmoni nilai Islam sebagai agama mayoritas dengan nilai kebangsaan sebagai identitas kolektif.
Untuk itu, penting bagi kita merefleksikan kembali bagaimana dapat memadukan keduanya demi membangun bangsa yang damai, toleran, dan berkeadaban. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Beberapa waktu lalu, Pilkada telah memakan korban di Ketapang, Sampang, Madura, yakni pengeroyokan yang berakhir meregang nyawa. Mereka, para pembunuh, semuanya berpeci—islami sekali. Sepertinya ada yang problematis dengan keberislaman mereka.
Salah satu ancaman besar yang muncul dalam setiap kontestasi politik adalah politisasi agama. Islam, yang semestinya menjadi inspirasi norma universal seperti keadilan, kejujuran, dan kasih sayang, malah disalahgunakan sebagai alat untuk memecah-belah antarpendukung dalam Pilkada dan sejenisnya. Isu agama kerap menjadi senjata elite meraih kekuasaan dengan cara mengadu domba masyarakat awam.
Kita jelas belum lupa berbagai dinamika yang terjadi pada Pilkada sebelumnya, ketika isu-isu agama diangkat untuk menjatuhkan rival politik. Padahal, strategi seperti itu tidak sekadar merusak tatanan demokrasi, tetapi juga mencederai semangat kebangsaan masyarakat. Jika dibiarkan, polarisasi akan membengkak; menjalar ke akar rumput, memperkuat sekat-sekat sosial, dan melemahkan persatuan yang telah dianggit para founding father.
Padahal, sejatinya, Islam dan kebangsaan tidak pernah berada dalam posisi biner atau ambivalen. Islam mengajarkan cinta tanah air (hubb al-wathan) sebagai bagian dari iman. Hal tersebut dapat dirujuk secara historis kepada Nabi Saw. yang begitu mencintai Makkah sebagai tanah kelahirannya, meskipun akhirnya hijrah ke Madinah dan wafat di sana. Di Makkah-Madinah, Nabi menunjukkan sikap nasionalis-religius sejati.
Dalam konteks Indonesia, Islam hadir sebagai rahmatan lil alamin, menguatkan nilai-nilai Pancasila yang menjunjung demokrasi, keadilan sosial, kemanusiaan, dan persatuan. Di sisi lain, kebangsaan kita berdiri di atas prinsip kebhinekaan, merangkul perbedaan agama, suku, dan budaya sebagai kekayaan yang mesti dijaga. Karena itu, harmonisasi Islam-kebangsaan merupakan tanggung jawab bersama, terutama dalam momentum Pilkada seperti hari ini.
Pada saat yang sama, sebagai umat mayoritas, Muslim Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga perdamaian dan stabilitas sosial selama Pilkada serentak 2024 ini. Sebagai proyeksi bersama, beberapa strategi perlu dilakukan. Pertama, umat Islam harus kritis melihat upaya politisasi Islam yang memecah-belah. Pilihlah pemimpin berdasarkan track record, kapasitas, dan integritas—bukan sentimen agama yang manipulatif.
Kedua, mengarusutamakan toleransi sebagai fundamental Pilkada. Ini berarti menghormati perbedaan pilihan politik dan menjaga hubungan baik dengan sesama tanpa memandang afiliasi politiknya. Apa yang terjadi di Sampang kemarin terjadi karena tiadanya toleransi dan surplus fanatisme. Akhirnya, pemilih dan pendukung paslon tidak legowo dalam berkontestasi, lalu menjadikan ‘carok’ sebagai pelampiasan intoleransi tersebut. Naif.
Ketiga, umat Islam mesti berperan sebagai perekat sosial yang mencegah terjadinya konflik horizontal, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Sebab, Pilkada adalah ajang memilih pemimpin, bukan medan pertempuran. Persatuan jauh lebih penting daripada kekuasaan; tidak ada faedahnya berkonflik dengan tetangga karena beda pilihan. Keretakan sosial akibat Pilkada adalah sesuatu yang irasional sekaligus ironis.
Keempat, menjadikan moderasi beragama sebagai solusi menjaga keseimbangan Islam-kebangsaan. Segala anasir sikap ekstrem mesti dijauhi, baik yang mengatasnamakan agama maupun ideologi politik tertentu. Dengan sikap moderat, umat dapat menjadi penengah di tengah perbedaan, bukan justru menjadi pemicu konflik. Prinsipnya satu, yaitu bahwa siapa pun yang menang kontestasi Pilkada, kita mesti terima dengan senang rasa.
Jelas, selain keempat strategi tersebut, masih banyak strategi lain yang boleh jadi relevan untuk merekatkan nilai Islam-kebangsaan menuju helatan Pilkada ini. Kita harus ingat, Pilkada hanyalah salah satu tahapan demokrasi, sementara kepentingan bangsa jauh lebih besar dan abadi. Pilihan politik boleh berbeda, tetapi komitmen untuk menjaga keutuhan NKRI adalah tanggung jawab kita bersama.
Dengan demikian, Pilkada serentak merupakan momentum menghadirkan spirit Islam dalam praktik kedewasaan berpolitik, bukan justru memecah-belah. Dalam memilih pemimpin, mari kita prioritaskan nilai-nilai yang diajarkan Islam: kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap rakyat. Jangan biarkan agama diperalat untuk kepentingan sempit yang justru merusak keharmonisan bangsa.
Saatnya kita menjadikan Pilkada serentak sebagai ajang untuk merekatkan kembali nilai Islam-kebangsaan yang selama ini kerap ditabrak-tabrakkan demi kepentingan partisan tertentu. Dengan menempatkan agama sebagai sumber nilai moral dan kebangsaan sebagai fondasi persatuan, kita dapat melewati proses demokrasi ini dengan damai, bermartabat, dan penuh keberkahan. Semoga Pilkada lancar dan menghasilkan pemimpin terbaik.