Harakatuna.com – Kasak-kusuk bangkitnya HTI menyita perhatian para stakeholder kontra-terorisme di tanah air. Sebagian analis menyebut, HTI akan kembali masif seperti dekade pertama tahun 2000. Analis lainnya fokus untuk meneroka narasi yang HTI bawa kali ini; khilafah, Islam kaffah, one ummah, dan Islam transnasional secara umum. Yang jelas, mereka sepakat, bahwa dalam konteks indoktrinasi, perempuan dan generasi mudalah yang mesti waspada.
Penting dikatakan di muka, bahwa dalam diskursus politik-keagamaan di Indonesia, istilah Islam transnasional telah menjadi topik yang memantik perdebatan hangat. Wacana tersebut berkait erat dengan HTI, sebagai personifikasi transnasionalisme dengan visi khilafah islamiah. Mereka bergerilya melampaui batas-batas nasionalisme, dan memantik kekhawatiran terhadap persatuan bangsa.
Berbeda dengan NU dan Muhammadiyah yang telah berakar pada lokalitas Indonesia, HTI secara tegas menonjolkan dimensi globalnya. Jika NU dan Muhammadiyah melakukan apa yang Bung Hatta sebut ‘politik garam’, yakni menciptakan harmoni antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal, HTI justru mengusung ‘politik gincu’, di mana doktrin agama-politik dipertahankan dalam wujud anti-lokalitas dengan dalih syariat Islam.
Pendekatan tersebut tidak sekadar mempertegas distingsi ideologis antara HTI dan ormas lokal, tetapi juga menciptakan tantangan baru menyelamatkan Indonesia dari jeratan doktrin mereka. Mengapa? Sebab, HTI selalu memosisikan diri sebagai oposisi terhadap NKRI yang dianggap kontra-khilafah. Ada antagonisme yang tajam di situ: NKRI mesti disikapi dengan nasionalisme, sementara HTI menjejali umat dengan transnasionalisme.
Indoktrinasi Transnasionalisme, Ancaman untuk NKRI
Islam transnasional yang dipersonifikasi HTI tak lahir dari pergumulan keislaman lokal yang autentik. Justru, ia merupakan hasil dari proses ‘transmutasi’ ideologis, ketika doktrin-doktrin keagamaan tertentu dipindahkan secara verbatim dari sumber asalnya ke Indonesia tanpa upaya kontekstualisasi. Proses semacam itu tidak saja terjadi pada aspek teologis-doktrinal seperti khilafah, tetapi juga aspek artifisial seperti mode busana dan lainnya.
HTI menjadi unik, dalam konteks tersebut, karena transmutasi yang mereka lakukan cenderung rigid, mengedepankan klaim atas keaslian teologis tanpa mempertimbangkan dinamika lokalitas. Lahirlah kemudian benturan ideologis dengan ormas lokal dan negara-bangsa secara paradoksal. Lihat saja, misalnya, HTI mengklaim anti-kapitalisme dan sekularisme, namun markas dan sistem moneter mereka menerapkannya.
Lantas, seberapa bahaya transnasionalisme untuk NKRI? Salah satu aspek yang membuat HTI jadi sorotan adalah visinya yang sentrifugal, berupaya menyatukan umat Islam global satu otoritas politik, one ummah, di bawah khilafah. Visi tersebut secara diametral bertentangan dengan konsep nation-state NKRI yang dibangun di atas prinsip pluralisme dan kebhinekaan. Tidak sekadar antitesis demokrasi, ia adalah buldoser persatuan dan kesatuan.
Fakta bahwa HTI mendompleng demokrasi untuk memperjuangkan agenda politiknya semakin memperkuat persepsi bahwa gerakan tersebut memiliki potensi disintegratif. Ia bukan gerakan ideologis belaka, tapi juga entitas politik yang mengancam tatanan sosial-politik Indonesia. Karena itulah, ketika kebangkitan kembali HTI mencuat ke permukaan, upaya konter atas mereka datang dari segala penjuru. Jelas, sebab, NKRI ancamannya.
Perempuan-Pemuda On Target
HTI punya strategi yang sangat terstruktur menyebarkan transnasionalisme. Dalam konteks itu, perempuan dan generasi muda menjadi dua kelompok paling diincar. Para aktivis HTI paham, perempuan memiliki peran strategis membentuk nilai-nilai di lingkungan keluarga dan masyarakat, sedangkan generasi muda adalah motor perubahan yang akan menentukan wajah masa depan HTI itu sendiri.
Perempuan dijadikan target melalui narasi yang memanfaatkan isu-isu seputar peran mereka dalam syariat. Perempuan, oleh aktivis HTI, didoktrin untuk menjadi ‘pendidik generasi pembangun khilafah’, sehingga peran domestik dan sosial mereka diarahkan untuk mendukung doktrin transnasionalisme itu sendiri. Kajian Islam eksklusif, komunitas hijrah, atau seminar bertema keluarga islami adalah strategi mereka.
Dalam semua sesi halakah bersama para ideolog HTI, perempuan diperkenalkan dengan gagasan khilafah sebagai sistem ideal pemerintahan. Pendekatannya ialah dengan memanfaatkan keresahan sosial, seperti degradasi moral, ketidakadilan gender, atau bahkan narasi ketimpangan ekonomi, sehingga gagasan khilafah terlihat seperti solusi universal yang paling relevan. Lihatlah muslimahnews.net, saksikan betapa frontalnya narasi mereka.
Adapun para pemuda, mereka menjadi target utama HTI karena sedang mencari jati diri dan cenderung memiliki idealisme tinggi. HTI kerap menyusup ke lingkungan mahasiswa melalui forum diskusi, organisasi kemahasiswaan, atau aktivitas dakwah kampus. Itu dulu. Hari ini, propaganda mereka masif melalui medsos yang menyajikan konten-konten menarik, seperti meme, video singkat, dan kultum yang narasinya tentang Islam kaffah atau one ummah.
Ketika perempuan dan generasi muda sudah on target HTI, maka potensi mereka untuk menjadi agen penyebaran transnasionalisme di masa depan sangat besar. Karena itu, penting bagi kedua kelompok untuk dibekali literasi ideologi kebangsaan yang kuat dan pemahaman keagamaan yang moderat, hingga mampu memfiltrasi diri dari HTI dan indoktrinasi transnasionalismenya yang tengah menyasar perempuan dan generasi muda.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…