27.7 C
Jakarta
spot_img

Meneroka Nasib Moderasi dan Deradikalisasi di Tengah Defisit Anggaran

Artikel Trending

Milenial IslamMeneroka Nasib Moderasi dan Deradikalisasi di Tengah Defisit Anggaran
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di tengah pro-kontra defisit anggaran dan pemotongan belanja negara, hari-hari ini, nasib program moderasi beragama dan deradikalisasi seolah terpinggirkan. Padahal, dua hal tersebut bukan sekadar proyek simbolis, melainkan upaya riil menjaga persatuan bangsa dari ancaman radikal-terorisme. Namun, ketika anggaran dipangkas dan prioritas kebijakan bergeser total ke makan bergizi gratis (MBG), pertanyaannya adalah, bagaimana nasib moderasi dan deradikalisasi itu?

Tentu, defisit anggaran bukanlah hal baru dalam konteks keuangan negara. Namun, dampaknya kerap dirasakan dalam program yang idealnya jadi prioritas, termasuk moderasi beragama dan deradikalisasi. Kedua program membutuhkan pendanaan yang tak sedikit, mulai dari pelatihan guru, penguatan kurikulum pendidikan, hingga kampanye publik yang masif. Sayangnya, di tengah tekanan defisit, alokasi dana untuk program tersebut jadi korban paling sengsara.

Contoh konkretnya dapat dilihat dari program penguatan moderasi melalui pendidikan. Idealnya, program tersebut butuh dukungan finansial yang besar untuk melatih tenaga pengajar, menyusun materi kurikulum, dan membangun infrastruktur pendukung. Namun, dengan anggaran yang super terbatas, atau bahkan defisit, implementasinya justru tersendat. Alih-alih jadi gerakan nasional, ia malah dijalankan lembaga non-profit secara sukarela. Jelas, efektivitasnya tak sama.

Moderasi beragama, penting dicatat, merupakan fondasi membangun toleransi dan menghalau radikal-terorisme. Namun, tanpa dukungan anggaran, ia sulit dicapai. Misalnya, upaya untuk mengintegrasikan moderasi ke dalam kurikulum pendidikan agama; terbentur pada minimnya sumber daya. Guru-guru agama yang mestinya menjadi ujung tombak program justru kekurangan pelatihan dan materi ajar. Nasib moderasi pun terkatung-katung.

Selain itu, kampanye publik tentang pentingnya moderasi beragama juga terhambat. Padahal, di era digital seperti sekarang, kampanye semacam itu meniscayakan kreativitas dan dukungan finansial yang besar untuk menjangkau generasi muda yang notabene digital native. Tanpa dukungan, para radikalis justru lebih mudah menyebar karena mereka lebih lihai memanfaatkan platform digital untuk tebarkan propaganda.

Deradikalisasi Akan Mati Suri?

Program deradikalisasi juga menghadapi tantangan serupa. Deradikalisasi bukan sekadar tentang menangkap kaum radikal atau pelaku teror, tetapi juga tentang membangun sistem pencegahan yang komprehensif. Mulai dari rehabilitasi eks-napiter, penguatan wawasan kebangsaan, hingga monitoring jejak digital untuk mencegah penyebaran paham radikal. Semua itu, sekali lagi, membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Eks-napiter itu kebanyakannya butuh didampingi.

Namun, realitanya, program deradikalisasi hari ini bak jalan di tempat. Mati suri, bahkan. Ketika program rehabilitasi eks-napiter yang mestinya jadi bagian penting dari deradikalisasi justru kekurangan dana dan tenaga ahli, maka akan banyak dari mereka yang berpotensi jadi residivis—kembali terpapar radikal-terorisme karena tak mendapatkan pendampingan yang memadai, sementara pada saat yang sama mereka butuh uang.

Artinya, tantangan terbesar program moderasi dan deradikalisasi di tengah defisit anggaran adalah menjaga konsistensi dan kualitas implementasi. Tanpa dukungan finansial yang cukup, keduanya berisiko jadi wacana belaka tanpa dampak nyata. Padahal, ancaman radikal-terorisme tak pernah berhenti. Para radikalis-teroris terus mencari celah untuk meracuni masyarakat, sementara upaya pemerintah justru terhambat oleh keterbatasan anggaran.

BACA JUGA  Menelisik Kemunculan HTI ke Ruang Publik, Benarkah NKRI Terancam?

Di sisi lain, defisit anggaran juga memunculkan pertanyaan tentang prioritas pemerintah. Apakah moderasi dan deradikalisasi masih dianggap penting, atau justru akan diabaikan demi program lain yang dianggap lebih mendesak: MBG? Jika pemerintah serius ingin menangani radikal-terorisme, maka alokasi anggaran untuk program tersebut niscaya diprioritaskan. Tanpa itu, upaya moderatisasi dan deradikalisasi akan mati suri, atau bahkan bisa mati selamanya.

Perlu digarisbawahi, radikal-terorisme hari ini belum hilang sepenuhnya dari tanah air. Diseminasi narasi mereka masih berlanjut, bahkan dengan cara yang semakin ‘meresahkan’. Mereka memanfaatkan setiap isu global, seperti konflik Palestina, untuk memperkuat narasi mereka tentang konspirasi Barat di satu sisi dan keharusan bangkitnya khilafah di sisi yang lain. Narasi HTI, misalnya, begitu menyesatkan, sekaligus berpotensi memecah-belah persatuan bangsa.

Terfragmentasi dan Nasibnya Tak Jelas

Setiap kebijakan perlu lahir dari pertimbangan matang dan dijalankan dengan konsisten—berkelanjutan. Namun, yang kerap terjadi justru sebaliknya. Kebijakan yang digulirkan kerap terkesan tidak terstruktur dan tidak memiliki follow-up yang jelas. Meski sempat digaungkan sebagai prioritas, implementasi deradikalisasi saat ini justru setengah hati. Begitu juga penguatan moderasi Islam melalui pendidikan: lebih banyak dijalankan lembaga swasta ketimbang negeri.

Tidak hanya itu, kebijakan yang idealnya jadi penopang deradikalisasi itu sendiri juga kerap terabaikan. Misalnya, program pemantauan jejak digital ASN untuk mencegah penyebaran paham radikal, atau penguatan kebangsaan lewat kurikulum pendidikan. Progresnya tak jelas, dan publik pun bertanya-tanya: sejauh mana kebijakan kontra radikal-terorisme benar-benar dijalankan ke depan ini? Jika harus mandek maka sayang sekali, karena moderasi dan deradikalisasi itu urgen.

Namun, baiklah, anggaran sudah diefisiensi dan tak seorang pun bisa menginterupsi. Berikutnya yang perlu berbenah adalah stakeholder moderasi dan deradikalisasi itu sendiri. Meski tantangan yang dihadapi tak kecil, bukan berarti ia mustahil. Justru, inilah saatnya untuk menguatkan komitmen dan konsistensi dalam menjalankan kebijakan yang telah dirancang. Keduanya perlu terus digaungkan lewat pendidikan dan dialog antarumat.

Namun, di sisi lain, kita juga harus realistis. Kebijakan pemerintah tidak lepas dari kepentingan politik. Tidak jarang, kebijakan yang seharusnya menjadi prioritas justru terbengkalai karena adanya kepentingan lain yang dianggap lebih mendesak. Itulah yang perlu diwaspadai. Jika deradikalisasi hanya dijadikan sebagai kebijakan simbolis, maka harapan untuk menciptakan Indonesia yang steril dari radikal-terorisme akan selamanya menjadi mimpi siang bolong belaka.

Faktanya, hari ini, ada kabar yang hanya bisa dimaklumi oleh orang yang tak waras: pemerintah pangkas anggaran, Deddy Corbuzier malah jadi Stafsus Menhan RI. Seorang pesulap seperti Deddy, yang tak jelas apa bidangnya yang relevan dalam politik, tak jelas apa kontribusinya untuk tanah air, akan digaji besar oleh negara, sementara hari ini banyak PHK akibat defisit anggaran kementerian/lembaga. Dan masyarakat diminta menerima kekonyolan tersebut? Naif.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru