27.9 C
Jakarta

Memberangus Radikalisme di Dunia Pendidikan

Artikel Trending

EditorialMemberangus Radikalisme di Dunia Pendidikan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Sudah sejak lama, radikalisme terendus di dunia pendidikan. Pendidikan diduga menjadi salah satu sumber yang turut serta bahkan dibilang menjadi penyebab utama datangnya bibit radikalisme.

Kabar demikian dicerna baik oleh Presiden Jokowi. Presiden ingin melakukan “lebih” untuk menghapus radikalisme di dunia pendidikan. Jokowi mewacanakan pemilihan rektor berada di bawah kebijakannya. Baginya, dengan cara demikian, akan mengikis habis bibit radikalisme di sumber-sumber strategisnya.

Banyak tahu, bahwa tempat-tempat strategis seperti rektor, dekan, dan kepala jurusan serta dosen punya peran dalam mempropagandakan ajaran-ajaran ekstrem. Diakui, di beberapa kampus seperti di UIN Syarif Jakarta, UGM, UI, IPB, dan UNDIP beberapa dosennya menjadi tokoh sentral dalam mengajarkan paham-paham radikal yang berlawanan arah dengan nafas perjuangan membela negara dan bangsa.

Menurut Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Jakarta 2018, ada 53,6% dosen memiliki pandangan yang intoleran dan radikal. Dapat terbayang betapa sulitnya menghadirkan pendidikan berkualitas ketika guru/dosennya sendiri memiliki pemahaman pincang dan menjebak. Maka tak terbayang jika suasana demikian terus berlanjut hingga sekarang.

Fenome terbaru, menurut Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, agen-agen individu dalam mencari dan memilih narasi ajaran agama di dunia pendidikan belum terwadahi. Pendidikan di lembaga formal kurang membersamai: belum sepenuhnya mampu memahami agensi, aspirasi, dan narasi keagamaan individual anak didik.

Maka yang terjadi adalah proses pendidikan yang masih mencari arah meski di dalam lorong kesesatan. Utamanya, generasi baru yang memandang agama haruslah dibayar kontan. Mereka memandang Islam harus kaffah.

Jalannya, mereka mewacanakan hijrah bersama. Halaqah-halaqah mereka buat di berbagai kota. Maka jangan heran jika dalam dasawarna ini banyak anak muda baik di pelosok dan kota yang lebih gampang mengucapkan bahasa hijrah daripada bahasa pokok lainnya tentang agama.

Heroisme hijrah di beberapa tempat masih berkobar berjalan. Artis-artsis keren dan mualaf serta anak muda sukses ditarik untuk ngobrol tentang agama dan nahi mungkar. Agar peserta yang hadir percaya bahwa dengan berhijrah mereka akan sama dengan mereka: pembicara.

Bahasa jihad juga tidak habis untuk mereka wacanakan. Ketika bahasa hijrah muncul, mereka mengaitkan dengan persoalan-persoalan keumatan dan kenegaraan. Yang sering muncul adalah rasa pesimistis bahwa muslim di dunia hari ini mengalami ketertindasan. Dan pemerintah-pemerintah yang berkuasa dalam mayoritas muslim juga tidak berdaya. Kendati, mereka mengajak hijrah dan jihad demi keemasan peradaban Islam.

BACA JUGA  Fitnah Keji Aktivis Khilafah Terhadap Toleransi di Indonesia

Bahasa itu juga hadir di tempat pendidikan. Bahkan lebih ngeri dan menjadi doktrin mahasiswa. Mereka menegasikan keyakinan orang lain atau kesaksian orang lain dengan sudut pandang sempit. Namun demikian, kiranya, harus ada program yang mendorong adanya transformasi pendidikan.

Menurut Robert Bala, perlu mengembalikan proses dialogis dalam pendidikan. Di sana pendidikan (apalagi pengajaran) tidak sekadar proses penjejalan aneka materi pengetahuan yang dilakukan secara monologis. Peserta didik pun tidak bisa diperlakukan bagai bank, tempat semua informasi pengetahuan ditabung.

Pendidikan perlu bersifat dialogis. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa di era digital seperti sekarang ini, pengetahuan dengan mudah diakses. Dalam banyak hal, bahkan oleh kelincahan menggunakan perangkat teknologi dan internet, siswa lebih mengetahui apa yang dibahas. Dalam konteks ini, guru mestinya memantaskan diri menjadi fasilitator dan mediator dalam memungkinkan dialog dalam pembelajaran.

Tidak hanya itu. Oleh upaya tanpa henti mempertajam kemampuan berpikir dan mengasah kemampuan analitis kritis, guru sanggup menganalisis, mengevaluasi, dan pada gilirannya memberikan arahan yang tepat. Ia sanggup menghalau keraguan dengan memberikan orientasi yang benar.

Transformasi konseptual mestinya tidak berhenti begitu saja. Ia perlu melangkah kepada transformasi kehidupan. Itu berarti, model pendidikan dan pengajaran yang terbuka dan dialogis diharapkan bermuara kepada upaya memajukan manusia dalam praksis kehidupan. Itu berarti, kebenaran yang disangka telah dicapai itu akan terbukti dalam pengejawantahan berupa terwujudnya kebaikan.

Lebih dari itu juga, kita tetap menunggu keseriusan Jokowi dalam memberangus radikalisme di dunia pendidikan. Jangan sampai rektor hanya menjadi alat politik saja, sedang jalan buruknya tidak ditangani sebagaimana mestinya. Pendidikan hari ini masih menunggu transparansi dan keseriusan Jokowi untuk lebih baik lagi dalam membidik program yang lebih berefek. Bukan sekadar isu-isu atau gombalan pendidikan merdeka, padahal masih sangat terjajah: di pusaran radikalisme dan politik.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru