25.6 C
Jakarta
Array

Koreksi Total Petinggi HTI Tentang Khilafah

Artikel Trending

Koreksi Total Petinggi HTI Tentang Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Koreksi Total Petinggi HTI Tengtang Khilafah

Oleh: Makmun Rasyid, S.Ud

Bulan Puasa Ramadhan, di mana bulan yang penuh berkah ini, seharusnya catut mencatut dan mencari legitimasi namun untuk kepentingan kelompoknya dihindari. Tetapi berbeda dengan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia, ini pencatutan yang kedua kalinya selama bulan puasa ramadhan. Pertama Sdr. Rifqi dengan judul “MELETAKKAN GARIS LURUS TERHADAP PANDANGAN HADRATUSY SYEH KH.HASYIM ASY’ARI”. Adapun yang kedua dari petinggi HTI, Hafidz Abdurrahman, MA dengan judul “NGAJI TENTANG KHILAFAH KEPADA MBAH nDHOL SENORI”.

  Kiriman tulisan dari teman, Sdr. Asep Muttaqin

Saya pun tertarik untuk meluruskan pandangan ini. Sebagai anak muda NU, tentu ini penafsiran yang fatal dan penterjemahan yang sesat, yang dilakukan oleh Hafidz Abdurrahman, MA. Sekaliber beliau, masih sama dengan kelas kadernya yang memanipulasi data-data yang menjadi khas di pondok pesantren Nahdlatul Ulama. Kutipan pertama Hafidz Abdurrahman:

Syekh Abul Fadhol, Senori, Tuban, atau yg lebih terkenal dg sebutan Mbah nDhol Senori, adalah salah seorang ulama yg lurus dan disegani oleh kalangan Nahdhiyyin. Beliau adalah murid kehormatan KH. HAsyim Asy’ari. Syekh Abul Fadhol adalah ulama yg sangat alim dan produktif. Banyak karya lahir dari tangan beliau. Dianyaranya: Kasyfut Tabarikh ‘an Shalat at-Tarawih, al Fara’idul Bahiyyah fi al- Ishthilatil al Fiqhiyah, al Kawakib al Lamma’ah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlis Sunnah wa al Jama’ah, Tashil al Masalik fi Syarh Alfiyah Ibn Malik, al Jauharah as Saniyyah fi ‘Ilm as Shorf, Kifayah at Thullab fi an Nahwi, dan yang paling besar, hingga mencapai 500 halaman lebih adalah kitab beliau dg judul Ad Durr al Farid. Kitab yg satu ini adalah syarah dari kitab Jauharah at Tauhid karya Imam Burhanuddin al Laqqani yg cukup terkenal di kalangan santri dan ulama.

Ketika ia mengatakan bahwa “Syekh Abul Fadhol, Senori, Tuban, atau yg lebih terkenal dg sebutan Mbah nDhol Senori, adalah salah seorang ulama yg lurus dan disegani oleh kalangan Nahdhiyyin. Beliau adalah murid kehormatan KH. HAsyim Asy’ari”, maka ada ulama yang tidak lurus. Ulama dalam perspektif Imam Ghazali terbagi menjadi dua, ada “ulama akhirat” dan “ulama su”. Namun di dalam Islam, khususnya di Sunni, tidak ada otoritas religius tunggal resmi yang memutuskan status seseorang itu ulama atau bukan. Di sinilah letak perbedaan sebutan yang lahir dari kampus (seperti: doktor dan profesor) dan budaya (seperti: kiai dan ajengan) dengan sebutan langsung dari Allah, yakni: ulama. Ulama sebagai pewaris para nabi dan ulama yang dimaksudkan Al-Qur’an adalah “yang memiliki khasyatullah”.

Jadi ulama akhirat adalah ulama yang tidak mudah menggumbar fatwa dan memiliki rasa takut mendalam kepada Allah SWT. Bagaimana dengan ulama su (buruk)? setidaknya ada tiga aspek yang pelu dilihat. Pertama, seorang ulama yang menjadikan keulamaannya sebagai komoditas duniawi. Kedua, ulama yang merapat ke ruang lingkup penguasa lalim atau dzalim. Ketiga, ulama yang mudah mengeluarkan fatwa demi kepentingan kelompok atau politik yang menempelinya. Kemudian posisi Hafidz Abdurrahman, MA berada di mana? apakah ulama akhirat ataukah ulama su yang meligitimasi gerakan politiknya dengan mencatut ulama NU?.

Mbah Abul Fadhol Al-Senory Al-Tubany memang ulama andalan Nahdlatul Ulama dan sangat disegani. Senori, sebagai salah satu kota di Kabupaten Tuban Jawa Timur menjadi harum dan terkenal. Di usianya 9 tahun sudah hafal Qur’an. Beliau dalam catatan sejarah, mengajinya hanya kepada abahnya, KH Abdusy Syakur dan kepada  KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang. Ulama NU yang wafat pada tahun 2017, KH. Achmad Hasyim Muzadi termasuk salah satu murid Mbah Ddlol. Ulama semasanya juga seperti Kiai Faqih Langitan dan lain sebagainya (Lihat: MAJALAH KAKILANGIT, Edisi 8 Tahun 2004).

Kitab yang di maksud Hafidz Abdurrahman dan dijadikannya legitimasi adalah sebagai berikut:

Kutipan Hafidz Abdurrahman berikutnya tentang “Khilafah” yang mengutip pernyataan Syaikh Burhanuddin.

KHILAFAH

Nah, yg menarik, spt kitab2 tauhid /ilmu kalam yg lain, di dalam kitab Jauharah ini dijelaskan pula tentang kewajiban menegakkah Khilafah. Syekh Burhanuddin mengatakan:

وواجب نصب إمام عدل # بالشرع فاعلم لا بحكم العقل

Dan wajib hukumnya mengangkat seorang imam/khalifah yg ‘adil berdasarkan hukum syara’, bukan hukum akal.

Dalil yang digunakan oleh Hafidz Abdurrahman dengan menyandarkannya pada pernyataan Syaikh Burhanuddin yang lahir pada tahun 1646 M di Ulakan, Padang Pariaman, Minangkabau dan wafat di sana pada tahun 1704 M, bukan berkenaan dengan Khilafah, tetapi imam atau khalifah. Tentu Syaikh Burhanuddin yang kitabnya dikaji di pondok-pondok NU dan dijadikan pegangan itu selaras dengan pendapat Imam Ghazali:

في بيان وجوب نصب الإمام. ولا ينبغي أن تظن أن وجوب ذلك مأخوذ من العقل ، فإنا بينا أن الوجوب يؤخذ من الشرع

“Penjelasan tentang wajibnya mengangkat seorang imam. Jangan sampai anda mengira bahwa kewajiban tersebut berdasarkan akal, sesungguhnya kami telah menjelaskan bahwa kewajiban tersebut diambil dari (nash) syara’.”

Kelompok Ahlu Sunnah wal Jamaah memahami bahwa mengangkat imam, hukumnya wajib. Tidak ada perselisihan dalam hal ini. Di dalam NU dan Muhammadiyah pun demikian, tetapi sistem Khilafah sifatnya tidak wajib. Ringkasnya, Syaikh Burhanuddin di dalam kitabnya tidak mewajibkan Khilafah, melainkan khalifah yang tidak ada perselisihan di internal Muslim. Tetapi dasar pemahaman yang salah, yang coba dibangun oleh Hafidz Abdurrahman semakin melebar tatkala menambah catutannya ke Syaikh Abu Al-Fadhl Al-Senori. Berikut kutipannya:

Di dalam syarahnya, Syekh Abul Fadhal mengatakan:

والإمام ذو الإمامة. وهي رئاسة عامة في الدين والدنيا خلافة عن النبي صلى الله عليه وسلم.

Imam adalah seorang yg memiliki kepemimpinan. Dan kepemimpinan (di sini definisikan sebagai) kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi saw. Syekh Abul Fadhol juga mengatakan:

فاعلم ان نصب الإمام العدل واجب على المسلمين لإجماع الصحابة بعد وفاة النبي صلى الله عليه وسلم على نصبه حتى جعلوه أهم الواجبات وقدموه على دفنه

Maka ketahuilah bahwa mengangkat seorang imam/khalifah yg adil adalah wajib atas kaum Muslim, berdasarkan ijma’ shahabat pasca wafatnya Nabi saw. Bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yg paling penting dan mendahulukannya atas pemakaman jenazah Nabi saw.

Sebenarnya yang di maksud dalam bait kalimat “Imam adalah seorang yg memiliki kepemimpinan” adalah pemimpin dalam sebuah negara atau sistem yang mengikat pemimpin tersebut untuk amanah dan menegakkan keadilan. Hal ini bisa dibaca pada kalimat berikutnya: “Dan kepemimpinan (di sini definisikan sebagai) kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi saw”. Pemahaman ini sejalan dengan argumentasi Imam Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf Al-Nawawi Al-Syafi’i dalam Dalam kitab Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin (Maktabah Islami, Vol. 10, h. 42), di mana ia mengatakan:

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين، وينصر السنة، وينتصف للمظلومين، ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت: تولي الإمامة فرض كفاية، فإن لم يكن من يصلح إلا واحدا، تعين عليه ولزمه طلبها إن لم يبتدئوه. والله أعلم

“Sebuah keharusan bagi umat, adanya Imam yang akan menegakkan agama, menolong Sunnah, memberikan keadilan bagi orang yang terzhalimi, serta menunaikan berbagai hak dan menempatkannya sesuai tempatnya. Menurutku, mewujudkan Imamah tersebut merupakan fardhu kifayah. Dan jika tidak ada yang mampu melakukannya kecuali satu orang, maka wajib ‘ain atasnya dan merupakan keharusan baginya untuk mendapatkannya, jika belum ada yang mendahului. Wallahu a’lam.”

Di Indonesia, kriteria demikian yang di maksud sudah tepat adanya. Bahkan dalam perspektif Sunni, jika sudah ada pemimpin, maka tidak boleh ada niat untuk mengangkat pemimpin lagi, selama pemimpin tersebut masih diamini masyarakat luas dan memberikan leluasa kepada penganut agama dalam menjalankan syariatnya. Tepat apa yang dikatakan oleh Syaikh Mushthafa ibn Sa’d as-Suyuthi Al-Rahibani dalam kitab Mathalib Uli Al-Nuha fi Syarh Ghayah Al-Muntaha Al-Hanbali (lupa halamannya). Ia berkata:

ونصب الإمام فرض كفاية؛ لأن بالناس حاجة لذلك لحماية البيضة، والذب عن الحوزة، وإقامة الحدود، وابتغاء الحقوق، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر

“Dan mengangkat seorang Imam merupakan fardhu kifayah. Hal ini karena manusia membutuhkannya untuk menjaga kemurnian (agama), mempertahankannya dari pencemaran, menegakkan hudud, menunaikan hak-hak, serta untuk amar ma’ruf dan nahi munkar.”

Justru pendapat ini akan bertentangan dengan pendapat resmi HTI yang berkeinginan mengangkat khalifah, di mana setiap negara di dunia sudah memiliki pemimpinnya masing-masing. Pemahaman ini sejatinya sejalan dengan kesimpulan mini Hafidz Abdurrahman.

Beliau bahkan menegaskan akan wajibnya khilafah tunggal di seluruh dunia.

وأجمع المسلمون على أنه لا يصح أن يكون لهم في عصر واحد خليفتان…

Dan (ulama) kaum Muslim telah sepakat bahwa tdk sah adanya dua orang khalifah bagi kaum Mualim dalam satu masa.

Namun kesimpulan mini Hafidz Abdurrahman di atas, bersebrangan dengan pernyataannya berikut.

Beliau juga menjelaskan bahwa imamah disebut pula KHILAFAH, dan IMAM disebut pula KHALIFAH seolah menjelaskan kepada mereka yg katrok, termasuk para santri yg tdk lagi istiqomah ikut ulama’, yg pura2 tdk tahu atau tdk mau tahu, bahkan istilah Khilafah dan Imamah adalah sama. Jadi jika dikatakan di dalam kitab para fuqaha’ dg istilah imamah maka yg dimaksud adalah khilafah. Dan jika disebut imam, maka sama saja maksudnya KHALIFAH.

Jadi, seolah beliau ingin membantah sebagian kalangan yg mebgatakan: Kalau mengangkat imam, itu jlas wajib. Kalau khalifah nanti dulu. Kalau imamah itu jelas, tp kalau khilafah, mana dalilnya??!!

Dalam hal ini syekh Abul Fadhol Mengatakan:

فاعلم ان الإمامة قد تسمى خلافة. والإمام قد تسمى خليفة

Ketahuilah bahwa imamah disebut pula khilafah. Dan Imam diaebut pula Khalifah.

Nah… inilah pandangan ulama asli nusantara ttg khilafah dan khalifah.

Siapa yg ngaku pengikut ulama nusantara seharusnya ikut beliau. Bukan ikut ulama yg jual(an) NUsa dan bangsa.

Menarik kesimpulan yang tidak baik ini bentuk penggiringan opini. Syaikh Abu Al-Fadhl Al-Senori itu tidak memutlakkan Khilafah pasti sama dengan Imamah, sama halnya juga tidak pastinya antara Khalifah dengan imam. Penterjemahan yang dilakukan oleh Hafidz Abdurrahman dengan redaksi “Ketahuilah bahwa imamah disebut pula khilafah. Dan Imam diaebut pula Khalifah” adalah menyalahi aturan Bahasa Arab.

Di dalam Bahasa Arab, kata “qod” itu termasuk ke dalam ciri-ciri fi’il. Karenanya statusnya dia fiil, maka umumnya kata setelah “qod” akan fiil. Tetapi, “qod” yang setelah fiil madhi dengan fiil mudhari memiliki konsekuensi makna yang berbeda. Dalam pelajaran tingkat dasar semasa di pesantren, saya diberikan penjelasan bahwa jika “qod” bertemu fiil madhi maka diterjemahkan “sungguh atau pasti”. Misalnya: “قد ذهب زيد إلى المطبخ”, maka artinya adalah “sungguh zaid telah pergi ke dapur”. Namun, jika “qod” bertemu fiil mudhari’, seperti “قد يذهب زيد إلى المطبخ” maka maknya adalah “kadang-kadang zaid pergi ke dapur”.

Maka terjemahan Hafidz Abdurrahman yang disebut sebagai master agama ketika mengartikan redaksi “Ketahuilah bahwa imamah disebut pula khilafah. Dan Imam diaebut pula Khalifah” salah. Sebenarnya, arti yang baik dalam menerjemahkan pernyataan Syaikh Abu Al-Fadhl Al-Senori sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa imamah kadangkala disebut Khilafah. Dan imam (juga) kadangkala disebut khalifah”. Sebenarnya, saat Hafidz Abdurrahman menarik kesimpulan dan menterjemahakan demikian, karena memang dalam perspektif HTI, imamah dan khilafah sama, juga imam dan khalifah sama. Namun, aneh jika perspektif HTI itu disamakan dengan perspektif ulama NU.

Masyarakat memang harus jeli dalam membaca tulisan-tulisan HTI. Karena mereka selalu pandai memainkan logika dan pandai beretorika. Jadi, ketika masyarakat mendapat tulisan dari kelompok HTI, maka segera klarifikasi ke ulama-ulama NU dan Muhammadiyah. Jangan sampai “mengimani” langsung tanpa mengkritisinya. Masyarakat Indonesia harus mengetahui bahwa hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tentang Islam Nusantara sepakat pada pernyataan Ibnu Khaldun dalam karyanya, Muqaddimah sebagai berikut:

“Sungguh keadaan dunia, bangsa-bangsa, adat-istiadat dan keyakinan mereka tidak selalu mengikuti satu model dan sistem yang tetap, melainkan selalu berbeda-beda (berubah) seiring perjalanan hari dan masa, berpindah dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Sebagaimana hal itu terjadi pada manusia, waktu, dan kota, di berbagai kawasan, zaman, dan negeri juga terjadi/berlangsung sunnah Allah (sunnatullah) yang telah terjadi pada hamba-hambaNya.” (Lihat: Hasil Bahstul Masail PWNU Jawa Timur Tentang Islam Nusantara)

Sebenarnya, Khilafah itu tidak perlu adanya di Negara Indonesia. Dan sebenarnya juga, slogan “Khilafah itu Wajib” yang digaungkan HTI hanya untuk melawan Amerika. Karena bagi HTI, Amerika itu biang kerok dunia, dan HTI tidak bisa melawannya sendiri. Kemudian kelompok HTI mengajak orang-orang namun dalam balutan menegakkan Khilafah. Tujuannya bukan itu sebenarnya, melainkan untuk menghentikan kedigdayaan Amerika dan sekutunya. []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru