30.8 C
Jakarta
Array

Klasifikasi Posisi Nabi dalam Hadis Menurut ibn ‘Āsyūr

Artikel Trending

Klasifikasi Posisi Nabi dalam Hadis Menurut ibn ‘Āsyūr
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ibn ‘Āshūr membagi peran Nabi Saw. dalam Hadisnya. Hasilnya, beliau menyimpulkan bahwa ada duabelas peran Nabi Saw. yang tergambar dalam Hadisnya.

  1. Peran Nabi Saw. sebagai penyampai syariat (al-tashrī’). Peran ini adalah yang paling banyak dijumpai dalam hadis-hadis Nabi Saw. karena Nabi Saw. diutus Allah Swt. Untuk menyampaikan syariat. Contohnya adalah hadis tentang manasik haji ketika khutbah Haji Wada’. Nabi Saw. bersabda yang kurang lebih artinya adalah “ambilah contoh ibadah haji kalian dariKu.” Dan disusul dengan perkataan “Hendaklah orang yang hadir saat ini menyampaikan pada yang yang tidak hadir.” Dalam hadis tersebut Nabi Saw. berbicara atas nama tashrī’ untuk kemudian diamalkan untuk seluruh umat Islam.
  2. Peran Nabi Saw. sebagai pemberi fatwa (al-iftā). Seperti yang terdapat dalam hadis yang menceritakan Nabi Saw. sedang wukuf pada saat Haji Wada’. Kemudian ada sahabat yang datang dan mengadukan permasalahan bahwa dia sudah menyembelih akan tetapi belum melakukan lempar jumrah (nahartu qabl an armiya). Lalu Nabi Saw. mengatakan “armi wa lā haraj” (lempar jumrah lah dan tidak ada dosa ). Lalu datang sahabat yang lainnya yang mengadukan permasalahan yang lain. Sahabat ini mengadu bahwa dia melakukan tawaf ifādah sebelum melakukan lempar jumrah. Lalu Nabi Saw. bersabda: “armi wa lā haraj” (lempar jumrah lah dan tidak ada dosa). Dari hadis ini, ketika ditanya tentang sesuatu yang didahulukan atau diakhirkan karena lupa atau tidak tahu, Nabi Saw. berkata: “if’al wa lā haraj” (lakukanlah dan tidak dosa).
  3. Sebagai pemutus hukum (al-qadā’). Hal ini bisa dilihat ketika Nabi Saw. melerai persengketaan diantara dua orang yang berlawanan seperti hadis yang menceritakan tentang pengaduan Hubaybah binti Sahl al-Ansāri kepada Nabi Saw. yang tidak suka pada suaminya yang bernama Thābit bin Qays. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan kepada Thābit untuk mengambil kebun yang sudah diberikan kepada Hubaybah dan menceraikannya.

Ketiga posisi Nabi Saw. di atas merupakan dalil syari’at.

  1. Posisi Nabi Saw. sebagai pemimpin Kebijakan-kebijakannya mayoritas adalah penegakkan syariat, sama seperti ketiga posisi Nabi Saw. di atas. Contohnya adalah sabda Nabi Saw. yang isinya “Barangsiapa yang berhasil membunuh musuh (dalam peperangan), maka dia berhak atas harta rampasan yang menempel pada orang yang dibunuhnya.” Menurut Imam Malik, hadis tersebut menggambarkan kebijakan seorang pemimpin (tasarruf bi al-imārah). Oleh karenanya tidak boleh menyerahkan atau memberikan harta rampasan itu kecuali dengan seizin imam.
  2. Posisis Nabi sebagai petunjuk (al-hady wa al-irshād). Posisi ini adalah yang paling banyak dalam melahirkan hukum-hukum syariat, seperti wajib dan haram, karena Nabi Saw. terkadang memerintah dan melarang. Akan tetapi yang dimaksud adalah bukan hukumnya, tetapi petunjuknya pada kebaikan. Contohnya adalah hadis tentang perintah Nabi Saw. untuk memberikan makan dan sandang pada seorang budak, sama dengan makanan dan pakaian tuannya, serta melarang memperkerjakannya dengan pekerjaan yang diluar kemampuannya.
  3. Posisi Nabi Saw. sebagai juru damai orang-orang yang bertikai. Posisi ini berbeda dengan posisi Nabi Saw. sebagai mufti (iftā’). Contohnya adalah ketika Ka’ab bin Mīlik meminta barang miliknya yang ada pada Abdullah bin Abi Hadrad didalam masjid, pertikaian keduanya terdengar oleh Nabi Saw. lalu Nabi Saw. keluar dan memanggil Ka’ab sambil memberikan isyarah untuk membagi harta tersebut dengan Abdullah.
  4. Posisi Nabi Saw. sebagai pemberi isyarat pada orang yang memintanya (al-ishārah ‘alā al-mustashīr). Contohnya adalah ketika sahabat Umar memberikan kuda perang pada seorang laki-laki. Lalu laki-laki tersebut hendak menjualnya dan Umar pun mau membelinya karena menyangka bahwa dia mau menjual dengan harga murah. Kemudian Umar menanyakan hal tersebut pada Nabi Saw. dan Nabi Saw. pun melarang Umar membelinya. Nabi Saw. menyamakan orang yang mengambil kembali harta yang sudah diberikan kepada orang lain dengan anjing yang menjilat muntahannya sendiri.
  5. Posisi Nabi Saw. sebagai pemberi nasihat (al- nasīhah). Contohnya ketika Bashir bin Sa’d memberkahi seorang budak pada anaknya yang bernama al-Nu’mān. Sedangkan anak yang lainnya tidak diberi oleh Bashī Kemudian istri Bashir yang bernama ‘Imrah binti Rawāhah tidak rida atas perlakuan Bashir tersebut dan meminta pada Bashīr untuk mempersaksikannya pada Nabi Saw. kemudian Bashir menghadap Nabi Saw. dan membertahu Nabi Saw.tentang apa yang dilakukannya. Nabi Saw. pun tidak mau bersaksi atas apa yang telah dilakukan oleh Bashīr.
  6. Posisi Nabi Saw. sebagai motivator untuk melakukan kesempurnaan (talab haml al-nufūs ‘alā al-akmāl min al-ahwāl). Hal ini banyak sekali terdapat dalam perintah dan larangan Nabi Saw. yang semuanya demi kesempurnaan para pelakunya. Contohnya adalah hadis Nabi Saw. yang memerintahkan untuk melakukan tujuh hal, yakni perintah menjenguk orang sakit, mengiring jenazah, mendoakan yang bersin, bersumpah yang baik, menolong orang yang teraniaya, menyebarkan salam, memenuhi undangan, serta melarang memakai cincin emas, memakai wadah perak, menggunakan alas di atasnya khimar, dan memakai pakaian dari bahan sutra (al-qassiyah, al-istabraq, al-dībāj, al-harīr). Larangan-larangan tersebut bertujuan menjauhkan para sahabat Nabi Saw. dari bermewah-mewahan dan bermega-megahan dalam perhiasan dan hiburan.
  7. Nabi Saw. mengajarkan atau memberitahukan tentang hakikat-hakikat keluhuran (ta’lim al-haqā’iq al-‘āliyyah). Ini adalah maqam-nya Nabi Saw., apalagi terhadap para sahabatnya. Contohnya adalah riwayat Abu Dharr yang mengisahkan bahwa Nabi Saw. jika memiliki emas sebesar gunung uhud maka akan menginfaqkan seluruhnya kecuali tiga dinar.
  8. Posisi Nabi Saw. sebagai pendidik etika (al-ta’dib). Hadis-hadis yang bermuatan semacam ini harus diperhatikan, karena terkadang disampaikan dalam bentuk melebih-lebihkan (mubālaghah) dengan tujuan menakut-nakuti. Oleh karenanya, seorang faqīh harus bisa menyesuaikan dan memilah mana yang tujuannya itu memang murni tasyrī’ atau yang tujuannya hanya menyindir dan mengancam, akan tetapi pasa dasarnya adalah tasyrī’, yakni mengajarkan etika. Contohnya adalah riwayat tentang ancaman Nabi Saw. kepada yang tidak salat isya berjamaah bahwa beliau akan membakar rumah mereka. Jikalau mereka tahu bahwa ada keutamaan lebih dalam salat isya berjamaah, niscaya mereka akan salat berjamaah. Maksud dari riwayat tersebut adalah bukannya Nabi Saw. akan membakar rumah orang yang tidak salat isya berjamaah, akan tetapi kalimat yang disusun seperti itu bertujuan untuk memudahkan mengajarkan kedisiplinan. Atau bisa juga Allah Swt. Memperlihatkan pada Nabi Saw. bahwa mereka adalah orang-orang munafik dan Nabi Saw. diizinkan untuk membunuh mereka jika Nabi Saw. berkehendak demikian. Contoh lain dari riwayat yang mengatakan “ Wa Allāhi, Lā yu’min, Wa Allāhi Lā yu’min” pada orang yang tidak memberikan rasa aman dan nyaman pada tetangganya, meskipun yang dikehendaki dari iman tersebut adalah iman yang senpurna.
  9. Posisi Nabi Saw. yang tidak memberikan petunjuk/tidak ada unsur petunjuk (mujarrad ‘an al-irshād). Hal ini berlaku pada hadis-hadis yang tidak berkaitan dengan persyari’atan, keberagamaan, pembersihan diri dan keteraturan kelompok atau jamaah. Hal ini seperti halnya riwayat tentang perilaku Nabi Saw. dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan sifat bawaannya (jibiliyya), seperti cara makan Nabi Saw., cara berjalan , berpakaian, tidur, dan sebagainya. Hal semacam ini bukanlah objek yang harus menuntut untuk ditiru oleh umatnya sebagaimana apa yang telah dilakukan Nabi Saw. Contohnya adalah riwayat yang menceritakan tidur miring (idtijā’) pada sisi kanan setelah salat sunah fajar. Atau riwayat yang menceritakan saran Nabi Saw. pada para petani kurma yang hendak mengawinkankan buah kurma untuk tidak mengawinkannya dan membiarkannya berbuah sendiri.

Itulah klasifikasi Nabi Saw. yang dilakukan Ibn ‘Āshūr untuk memahami sebuah hadis. Hal ini menurut Ibn ‘Āshūr sangat penting untuk mengetahui maqāsid yang tertuang dalam hadis-hadis Nabi Saw. oleh karenanya, harus dilakukan penelitian untuk mengetahui ciri-ciri posisi Nabi Saw

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru