30.8 C
Jakarta
Array

Kisah Teladan Menjaga Perasaan Perempuan

Artikel Trending

Kisah Teladan Menjaga Perasaan Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam kitab al-Kawâkib al-Durriyyah fî Tarajim al-Sâdah al-Shûfiyyah yang ditulis oleh Abdurrauf al-Munawi, disebutkan seorang sufi kenamaan yang dijuluki sebagai Abu Bakar al-Shidiq-nya abad ke-3 Hijriah. Ia bernama Abu Abdurrahman Hatim bin Alwan (w. 237 H). Belakangan ia dikenal dengan nama Hatim al-Ashamm (Hatim si ‘tuli’). Tambahan nama belakang al-Ashamm (si ‘tuli’) yang didapatkannya bukan karena ia seorang tuna rungu. Melainkan berasal dari sebuah kisah yang sangat mengena bagi semua orang. Sehingga ia digelari dengan ‘si tuli’. Lalu bagaimana asal mulanya ia dikenal dengan Hatim ‘si tuli’.

Suatu ketika saat Hatim sedang mengajar di majelis taklimnya, Hatim didatangi oleh seorang wanita yang sengaja datang untuk meminta fatwa. Di penghujung pengajian, setelah Hatim menerangkan materi pengajian hari itu, perempuan tersebut sudah siap untuk mengajukan sejumlah pertanyaan. Naasnya di tengah-tengah asyiknya mengajukan pertanyaan kepada Hatim, terdengarlah suara kentut yang cukup keras. Ternyata perempuan tersebut tidak sengaja buang angin di hadapan Hatim. Seketika itu wajah si perempuan langsung memerah, malu lantaran ia kentut di hadapan seorang Syaikh di tengah-tengah majelisnya.

Tahu si perempuan penanya sedang salah tingkah di hadapannya, si Hatim meresponnya dengan cerdas. Demi menjaga perasaan wanita yang merasa bersalah tidak sopan karena kentut sembarangan, Hatim pura-pura kurang mendengar pertanyaan yang sedang diajukan kepadanya. Hatim mengatakan, “Apa? Keraskan suaramu. Aku tidak dapat mendengar pertanyaanmu! Tolong nada suaramu ditinggikan lagi”. Sebenarnya Hatim mendengar pertanyaan perempuan itu dengan jelas. Namun ia sengaja ‘menulikan’ diri, pura-pura memiliki gangguan pendengaran karena demi menjaga perasaan tidak enak si perempuan itu.

Melihat respon Hatim yang kurang mendengar, hilanglah kegundahan si perempuan. Ia menangkap bahwa jika Hatim kurang mendengar pertanyaan yang diucapkannya, tentu suara kentutnya juga tidak terdengar oleh Hatim. Seketika itu ia merasa tenang kembali. Lalu ia menyampaikan pertanyaan-pertanyaannya dengan suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Semenjak kejadian itulah Hatim dikenal dengan nama Hatim al-Ashamm (‘si tuli’). Hatim bukanlah tuli dalam arti sebenarnya. Namun Hatim tuli dari aib dan keburukan orang lain. Hatim tidak mau mendengar keburukan orang lain meskipun sebenarnya ia sudah mendengarnya. Pelajaran yang sangat penting juga adalah menjaga perasaan orang lain (jalb al-khâthir) agar orang lain tidak tersinggung, tidak merasa bersalah, dan merasa nyaman dengan tindak-tanduk kita.

Semoga kita semua bisa meneladani Hatim al-Ashamm sehingga di zaman hoax ini kita bisa pura-pura tuli mendengar berita keburukan orang lain. Bukan malah menyebarkan aib orang lain sehingga menyakiti perasaan yang bersangkutan. []

 

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru