34.8 C
Jakarta

Jihad Optimis Menanggulangi Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamJihad Optimis Menanggulangi Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pasca masyarakat dunia dibuat takut oleh teror virus corona, kini masyarakat kembali ditakut-takuti oleh pelbagai aksi teror yang terjadi sistemik di setiap daerah hingga negara. Tampaknya, motif balas dendam kelompok terorisme berpotensi muncul seiring persiapan penerapan era new normal.

Dalam satu bulan terakhir ini, aksi terorisme kerapkali muncul. Di antaranya, aksi teror terjadi di Kota Reading Inggris, aksi teroris yang menyerang Wakapolres Karanganyar, Kompol Busroni, Karyono Widodo yang diduga mantan napi kasus pengeboman di Thamrin, Jakarta, penangkapan terduga teroris di Ambon, dan militan ISIS yang membantai 20 orang di wilayah Nigeria, serta militan ISIS yang menciptakan status teror di Facebook.(06/2020)

Setelah aksi teror masif, fakta tersebut menunjukkan data baru bahwa teroris semakin meningkatkan jaringan dengan kelompok-kelompok jihadis lainnya. Sementara lain, internet memudahkan komunikasi teroris untuk melakukan pergerakan, dan membangun jejaring kekhilafahan di sejumlah negara.

Awal mula pertumbuhan terorisme diakibatkan negara investasi paham radikalisme melalui agenda ekonomi, sosial kemanusiaan, budaya, politik, dan hukum. Di mana sistem-sistem ini sangat mudah merekrut generasi radikalis-teroris dengan dalih berdakwah, dan upaya indoktrinasi jihad.

Secara pelan-pelan, aksi teror berkedok jihad agama telah banyak memakan korban. Dan tindakannya dapat kita kategorikan sebagai kekerasan terhadap fisik, serta kejahatan kemanusiaan, meski tafsir jihad mereka pahami adalah garis perjuangan Islam. Tetapi, hal itu melanggar regulasi syariat.

Kita mengajukan pertanyaan soal darurat terorisme ini, kenapa aksi teror semakin marak? Dan di manakah peran aparat penegak hukum? Pertanyaan seperti demikian memperjelas ideologi terorisme telah berkembang bersamaan dengan kelompok radikalisme yang merajalela di Indonesia.

Menurut Cahyo Pamungkas (2018) Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR) LIPI, mengatakan. Bahwa, berkembangnya ideologi terorisme di masyarakat luas karena gerakan gagasan atau ide radikalisme seringkali terjadi melalui keluarga teroris. Kalau penyelesaiannya hanya pendekatan keamanan saja, tentu tidak akan mampu memutus mata rantai terorisme yang telah menyebar luas ke berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Faktor Politik, dan Problematika Terorisme

Terorisme akan semakin memuncak selama tidak ada dorongan dan komitmen partai politik untuk memberantas ideologi transnasional, khususnya yang terkait dakwah ekstrem. Utamanya, dorongan dari partai yang berbasis Islam. Seperti halnya, PKB, PPP, PAN, PKS, dan partai Islam lainnya.

Politik selalu dijadikan instrumen lahirnya gelombang radikalisme-terorisme. Di Indonesia, sangat jelas kekerasan demi kekerasan selalu datang bertube kontinue disebabkan tekanan politik yang ingin memberontak kepada kekuasaan. Dan praktiknnya, membenturkan agama dan negara.

Salah satu acuannya, adalah peneliti terorisme mengutip pandangan Departemen Luar Negeri AS (1988). “Kekerasan yang direncanakan, bermotivasi politik, ditujukan terhadap target-target yang tidak bersenjata oleh kelompok-kelompok sempala atau agen-agen bawah tanah, biasanya bertujuan untuk mempengaruhi khalayak.”

BACA JUGA  Kemajuan Bangsa-Negara Tidak Lahir dari Sistem Khilafah

Artinya, kekerasan atau aksi teror lahir dari timpangnya keadilan, tekanan gelombang politik besar yang dapat memicu api balas dendam. Tentu, motif terorisme yang berkedok agama, dan tidak menyasar elit politik. Adalah jihad-politis yang murni tidak datang dari literatur simbolik (Islam).

Kebenaran argumen tersebut didasarkan atas apa yang dikatakan Chalmers Johnson dan Martha Crenshaw (2010), faktor permisif yang membahayakan strategi teroris sehingga menarik bagi para sempalan-politik, dan mengarahkan kepada faktor-faktor situasional. Faktor situasional inilah yang menjadi kesempatan teroris dalam mewujudkan misi ekstremisme kekerasannya.

Motivasi di balik keputusan seseorang bergabung dengan kelompok kekerasan. Yaitu, ambisi politik yang memanfaatkan jihad, dan dalil-dalil Islam demi tercapainya agenda radikalisme-teroristik. Ideologi kelompok transnasional tersebut telah menunjukkan adanya penistaan terhadap hadis-al-Qur’an.

Dengan teroris menggunakan teks-teks Islam, kita akan mudah percaya. Bahkan, bisa saja membenarkan tindakan terorisme sebagai bagian dari agama. Padahal, terorisme melanggar hukum positif negara, dan syariat-syariat Allah. Yang menganjurkan jihad itu untuk kedamaian, dan kemanusiaan.

Jihad Polri

Polri adalah lembaga yang kita sebut aparatur negara atau aparat penegak hukum, institusi ini memiliki peran penting, dan tanggung jawab besar. Dua fungsi struktur demikian, memerlukan jihad fi sabilillah menanggulangi praktik kekerasan, dan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok ekstrem.

Terorisme adalah ancaman terhadap sistem keamanan, sedangkan negara bisa jadi aman apabila tugas pokok lembaga kepolisian berjalan secara optimal. Secara obligatif, peran mereka adalah jihad yang untuk mewujudkan keamanan. Sehingga, dapat menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat luas.

Ketika jihad disalahgunakan ke dalam praktik kekerasan, maka dapat menyebabkan hilangnya kebenaran. Sebab itu, agama apapun mengajarkan jihad untuk kebenaran, dan kedamaian. Sebagaimana pandangan Yusuf al-Qardawi (2010), kebenaran menjadi hilang oleh golongan yang bersikap berlebihan (al-ghuluw/al-ifrath) dan mengurangi (al-jafa/al-tafrith), atau antara al-thughyan dan al-ikhsar. Dasar hukumnya diungkap dalam al-Qur’an. “Dan Allah telah meninggikan langit serta meletakkan neraka (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraka itu. Dan tegakkanlah timbangan dengan adil serta janganlah kamu mengurangi neraka itu.(ar-Rahman [55]: 7-9)”

Dalam konteks ini, apa yang tersirat dalam ayat al-Qur’an tersebut dapat dijadikan sumber hukum dalam menanggulangi terorisme. Jihad penanggulangan demikian, maka Polri akan menemukan keyakinan baru bahwa jihad mampu mencegah kerentanan seseorang tidak mudah terpapar paham teroristik.

Jadi, sistem keamanan oleh Polri perlu diperketat baik dari sisi digital, virtual, dll. Penutupan komunikasi ini dalam rangka mempersempit ruang gerak aksi terorisme. Agar tidak mudah terjadi aksi maupun penyebaran paham kekerasan yang berbau agama. Paling tidak, keberadaan Tim Cyber Polri mampu meretas ruang gerak jaringan kelompok terorisme dewasa ini.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru