Judul Buku: Dasar-Dasar Akidah Ahlussunah wal Jamaah untuk Tingkat Pemula: Analisis dan Syarah Kitab Ummul Barahin, Penulis: Muhammad Nuruddin, Penerbit: Keira, Cetakan: Pertama, Mei 2024, Tebal: 230 halaman, ISBN: 978-623-470-057-2, Peresensi: Muhammad Muzadi Rizki.
Harakatuna.com – Jalan panjang Ahlussunah Waljamaah (Aswaja) menemui titik signifikansinya pada abad ke-3 H. Adalah Abul Hasan al-Asy’ari, sosok yang berperan dalam kemunculan Aswaja. Abul Hasan al-Asy’ari melihat kala itu ajaran Islam, khususnya akidah, tidak lagi senapas dengan ruh Rasulullah. Ada yang memahami terlalu kanan dan ada juga yang terlalu kiri. Dari situlah, pemuka teolog Islam itu merumuskan prinsip-prinsip ajaran yang tidak hanya berakar pada Al-Qur’an dan hadis, tetapi juga membuka ruang bagi penggunaan akal secara proporsional. Gagasan ini dikenal ajaran moderasi.
Aswaja adalah bentuk revitalisasi berislam ala Rasulullah. Aswaja bukanlah paham baru. Sebab, prinsip-prinsip ajarannya sudah ada sejak zaman sahabat, tabiin, hingga tabi’ut tabi’in. Kelahiran Aswaja, atau lebih tepatnya terminologi Aswaja merupakan respons atas eksistensi kelompok-kelompok ekstrem yang menggurita. Kelompok ekstrem itu tampil dengan pemahaman, sikap, dan tindakan yang tidak sesuai dengan esensi ajaran agama. Kecenderungan kelompok ekstrem bersandar pada metodologi nafsu; teks atau rasio dijadikan sebagai pembenaran dalil argumen.
Di era sekarang, kelompok-kelompok ekstrem terus bermunculan. Ekstrem kanan dan ekstrem kiri sama-sama menimbulkan citra buruk bagi Islam itu sendiri. Dari ekstrem kanan, menghasilkan pandangan yang menggambarkan Tuhan itu bengis dan represif karena kerigidan—inhumanitas firman–Nya. Sebaliknya, ekstrem kiri, menghasilkan pemahaman bahwa Tuhan tidak ada, karena tidak bisa dibuktikan secara rasional. Inilah pendorong sebagian individu menjauh dari nilai-nilai spiritual dan meninggalkan keyakinan kepada Allah Swt.
Buku berjudul Dasar-Dasar Akidah Ahlussunah Waljamaah untuk Tingkat Pemula: Analisis dan Syarah Kitab Ummul Barahin yang ditulis Muhammad Nuruddin, hadir berusaha menjawab kerisauan hari-hari ini tentang penyimpangan pemahaman terhadap Tuhan. Buku tersebut menekankan pentingnya mempelajari dasar-dasar akidah yang tepat. Fondasi yang salah akan menjerumuskan ke dalam pemikiran-pemikiran yang sesat dan ekstrem.
Di bab awal, sosok dan tugas pokok mukalaf menjadi konsen penulis. Seorang mukalaf, menurutnya, memiliki kewajiban utama untuk menggunakan akal secara komprehensif—berpikir; belajar; menganalisis. Bilamana seorang mukalaf beriman dengan cara bertaklid sepenuhnya tanpa berlandaskan pada pengetahuan, maka ia dinilai telah berdosa karena mendisfungsikan akal yang Tuhan kasih. Bahkan, sebagian ulama ada yang mempertanyakan keabsahannya imannya itu! (hlm. 24).
Dalam Islam, iman itu harus berlandaskan pada bukti yang sahih. Bukan hanya sahih, tetapi kebenarannya juga harus bersifat pasti. Artinya, jika Tuhan itu ada, maka harus tahu bukti-bukti apa yang melandasi keberadaan Tuhan. Begitu pula dalam memahami ayat-ayat–Nya yang bernuansa “kekerasan”, seperti hakimiyah, jihad, hingga qital, perlu dianalisis apakah harus diterapkan sepanjang masa tanpa mempertimbangkan konteks. Mayoritas ulama menentang apabila iman berlandaskan pada penerimaan subjektif. Ilmu pengetahuan menjadi unsur wajib yang tidak bisa ditawar.
Rasional: Anti-Radikal dan Anti-Liberal
Dalam buku ini, penulis menawarkan tips dan trik mengonter paham-paham ekstrem: radikal-liberal. Penulis merumuskan sebuah metodologi pembuktian rasional yang bersandar pada hukum-hukum akal (hlm. 80). Penalaran logis menjadi alternatif efektif ketika rujukan kepada Kitab Suci tidak membuahkan hasil. Interpretasi akal yang sehat pasti dapat diterima oleh setiap Muslim yang menggunakan nalar secara objektif.
Pertama, membuktikan keberadaan Allah Swt. Penulis memulainya dengan memberi analogi pulpen. Ia mengajukan pertanyaan sederhana, pulpen yang biasa dipakai buat menulis apakah ada sebelum dia dibuat? Jawabannya jelas, bahwa sebelum dibuat oleh pembuat, pulpen itu tidak ada wujudnya. Lalu, mungkinkah pulpen itu mengadakan dirinya sendiri? Akal sehat pasti bersepakat bahwa itu tidak mungkin dilakukan.
Serupa. Sebenarnya bukan hanya pulpen, tetapi makhluk dan kejadian apapun di alam semesta ini, kalau dia tidak ada sebelumnya, kemudian dia ada, maka akal kita akan menuntut adanya sebab. Sesuatu yang tadinya tidak ada, kemudian ada, tidak mungkin mengadakan dirinya sendiri.
Pertanyaan berikutnya, siapa yang mengadakan alam semesta ini? Dalam menjawabnya penulis mengemas dalam konsep kemustahilan tasalsul. Istilah tasalsul diartikan keberurutan wujud sebab-akibat yang tidak memiliki ujung/akhir (hlm. 95).
Sebagai contoh, ada seorang komandan berkata kepada salah seorang prajuritnya, “tidak boleh ada yang menembakkan peluru, kecuali setelah dia mendapatkan persetujuan dari orang yang ada di belakangnya. Kemudian yang di belakang pun tidak boleh memberikan persetujuan, kecuali setelah mendapatkan persetujuan dari orang yang di belakangnya, dan begitu seterusnya. Sampai tidak memiliki akhir.” Katakanlah orang yang memegang peluru berdiri di bagian depan.
Pertanyaannya, kalau rentetan kebergantungan itu tidak memiliki akhir, mungkinkah prajurit terdepan itu bisa menembakkan pelurunya? Tanpa harus repot-repot memeras kepala, akal sehat kita berkata tidak mungkin. Lain cerita kalau di bagian paling ujung, misalnya, ada satu orang yang berhak untuk memutuskan boleh tidaknya penembakkan peluru. Maka, peluru pun pada akhirnya bisa ditembakkan.
Begitu juga perihal alam semesta. Kalau seandainya silsilah sebab-akibat yang melibatkan alam semesta ini tidak memiliki akhir, maka konsekuensinya alam semesta itu sendiri tidak akan pernah berwujud. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa alam semesta ini nyata dan berwujud, sehingga menegaskan bahwa keberadaannya tidak mungkin terjadi tanpa sebab awal. Fakta keberadaan alam semesta dari ketiadaan menjadi bukti kuat bahwa ada satu entitas yang menjadi sebab utama dan mengadakan segalanya.
Entitas tersebut tentunya yang mampu menopang keberadaan alam semesta itu sendiri. Dan pastinya tidak bergantung kepada yang lain—Dia ada dengan diri-Nya sendiri, demi menghindari terjadi tasalsul, yang dipandang mustahil oleh akal sehat kita. Dan itulah, dalam bahasa Agama disebut sebagai wajibul wujud, yakni Tuhan: Allah.
Kedua, apakah benar Tuhan itu bengis dan represif. Meruntuhkan anggapan tersebut bisa dimulai dengan mengajak untuk menelaah tujual awal diturunkannya Al-Qur’an, yaitu sebagai pedoman hidup. Berangkat dari situ, secara logis, sebuah pedoman hidup pasti memuat nilai-nilai kebaikan yang dapat mengantarkan pada keselamatan dan kebahagiaan, bukan malah menimbulkan kontraproduktif. Oleh karenanya, tidak terbukti sahih Allah sebagai dalang kekerasan akibat Firman-Nya.
Bukti lainnya terlihat dari sifat-sifat yang melekat pada-Nya, semuanya indah dan baik (asmaul husna). Bagaimana mungkin dari ke-husna-an yang sempurna kemudian terdapat sifat represif? Hal ini jelas tidak logis. Bahkan dalam kenyataan, sekalipun manusia ingkar terhadap-Nya, Allah tetap menghujani kebaikan. Mereka dikasih rezeki dan napas kehidupan yang sama seperti orang beriman.
Buku ini semakin menerangi tatkala menguraikan kebebasan manusia turut mengupayakan terlahirnya perbuatan dengan kemampuan dan kehendaknya—bisa berbuat baik atau jahat (hlm. 43). Dari sini terbukti, Allah tidak bisa disalahkan sebagai dalang kekerasan akibat bersumber firman-Nya. Jika ayat dipahami sebagai pemicu kekerasan, maka permasalahan terletak pada manusia itu sendiri. Manusia yang salah dalam memahami ayat-ayat–Nya, misalnya tanpa mendialogkan secara kontekstual dan realitas sosial. Kesalahan dalam cara berpikir inilah yang sebenarnya menjadi akar dari berbagai tindakan kekerasan, bukan firman Allah itu sendiri.
Ateisme—radikalisme dan rasionalitas adalah dua sisi yang tidak akan pernah berjumpa. Memilih jadi kelompok ekstrem berarti memilih untuk mengorbankan nalar yang sehat. Sementara memegang teguh rasionalitas sudah pasti akan mengantarkan pada keteguhan iman. Agama tidak datang dengan ajaran yang bertentangan dengan hukum akal. Justru lebih menguatkan, bahkan mengurangi kebingungan-kebingungan yang selama ini menghantui pikiran manusia.
Buku terbitan Keira ini secara keseluruhan menuntun untuk beragama dengan akal sehat. Keistimewaan buku ini dikemas dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Buku ini sangat penting sebagai pegangan menghadapi kehidupan di era kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, yang mana beragam pemikiran menyimpang dapat diakses dengan mudah.