27.3 C
Jakarta

Islam Arogan dan Islam Radikal, Samakah?

Artikel Trending

Milenial IslamIslam Arogan dan Islam Radikal, Samakah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Seorang intelektual muda yang bergelut dalam diskursus Pancasila, yang notabene Nahdliyin, yang tidak perlu saya sebutkan namanya, membuat status di Facebook, menanggapi polemik ‘Islam arogan’ oleh Permadi Arya alias Abu Janda. Tidak lama, status tersebut dihapus. Saya bisa menebak alasannya. Kasus Abu Janda memang memantik tanggapan banyak tokoh, termasuk Alissa Wahid—putri Gus Dur. Nahasnya, di Twitter, justru Alissa dihujat rame-rame. Iya. Seberpengaruh itulah Abu Janda.

Saya setuju dengan orang yang bilang, polemik Abu Janda tidak perlu dibesar-besarkan. Ia sudah meminta maaf. Sudah klarifikasi. Bahkan, influencer tersebut sudah datang ke Mabes Polri, membawa ransel berisi pakaian, siap ditahan, meski ternyata dilepas. Di Twitter, yang awalnya menghujat, berubah membela. Katanya, Abu Janda gentlemen, lalu dibanding-bandingkan dengan Rizieq Shihab yang suka mengelak dan kabur. Tetapi, tetap, bagi saya, polemik ini perlu diangkat ke pembahasan lanjutan.

Pada tulisan ini, berbeda dari yang lalu-lalu, saya tidak membidik Abu Janda. Saya akan fokus pada pemicu polemiknya, yaitu ihwal Islam arogan. Bahwa sematan tersebut, sebagaimana dalam klarifikasi Abu Janda, terikat dengan konteks perang cuit dengan Tengku Zul, itu benar. Tetapi konteks itu sendiri masih menyisakan satu fakta: menganggap Islam radikal sebagai Islam arogan. Frontal pada budaya pribumi dan tidak kompromistis dengan kearifan lokal dituduh sebagai arogansi Islam.

Dengan kata lain, ada konteks yang mesti dipahami bersama, bahwa Islam arogan yang kontroversial adalah Islamnya salafi, HTI, FPI, dkk, yang anti kebhinnekaan. Apakah mereka memang laik dikata arogan? Atau itu sekadar alibi sang pembuat polemik? Milenial harus tahu semua ini. Saya lebih sepakat untuk mengkajinya daripada larut dalam perang hashtag. Alih-alih menyelesaikan persoalan, justru hal itu menjerumuskan diri pada fanatisme: fanatik pada Abu Janda, atau, pada rivalnya.

Islam Arogan dalam Konteks

Salafi tidak menerima kearifan lokal dan mendoktrin jemaahnya corak keberislaman yang rigid, kaku, dan mengarah pada makar (bughat). Pelaku terorisme kebanyakan dari golongan mereka, karena indoktrinasi mereka sangat kuat dan tidak butuh waktu lama untuk menjadikan jemaahnya sebagai teroris. Mereka concern di ranah aksi. NKRI mereka anggap thaghut, kendati mereka berbicara bebas justru lantaran kebebasan berekspresi. Padahal, pada HAM, mereka membenci. Sangat naif.

Sementara HTI bergerak dalam narasi belaka. Mereka men-thaghut-kan NKRI karena kebutuhan pragmatis: ingin menancapkan khilafah ala Hizbut Tahrir. Tidak bisa berkompromi dengan pemerintah tetapi tidak sampai pada taraf menebarkan bom teror. Mereka sekadar merecoki keadaan negara, menikmati chaos, dan berutopia bisa mengganti sistem pemerintahan. Jika ormas salafi banyak, HTI hanya punya satu, yaitu HTI sendiri. Secara ideologi, ia seradikal salafi dan seoportunis FPI.

FPI baru saja menjadi ormas terlarang. Gagasan NKRI Bersyariah yang dibawa, berdasarkan pengakuan laskarnya, tidak lantas ingin mengganti sistem pemerintahan, tidak anti-Pancasila, tidak anti-NKRI. Mereka hanya ingin Islam ada dan mendominasi agama-agama yang lain, dan melandaskan semua aturan sesuai syariat Islam. Meski pada AD/ART mereka termuat khilafah Islamiyah, tetapi mereka tetap beramaliah seperti NU: tahlil, halal bi halal, istighatsah, dan lainnya.

BACA JUGA  Menakar Jebakan Isu Pemilu Curang dari Kelompok Ekstrem-Radikal

Namun, belakangan narasinya semakin berani melakukan konfrontasi terhadap pemerintah. Boleh jadi karena terjangkit polarisasi dengan organisasi terlarang sebelumnya, menjadikan FPI sarat berbau ekstremisme. Felix Siauw, misalnya, yang notabene orang HTI, menjadi seolah sebaris dengan Rizieq Shihab. Apakah mereka semua tergolong Islam radikal? Jelas, jika tolok ukurnya adalah sejauh mana mengancam kedaulatan dan integrasi Negara. Tetapi apakah mereka Islam arogan?

Di situlah konteksnya harus jelas. Resistansi salafi dengan budaya lokal melalui anggapan bid’ah pada sedekah laut, misalnya, sebagaimana dicontohkan Abu Janda, merupakan tuntutan ideologis. Maka ketika jika harus disebut sebagai arogansi, itu adalah arogansi ideologis. Artinya, salafi atau pun HTI dan FPI tergolong Islam arogan secara ideologi. Arogansi tersebut harus ditentang karena kontradiktif dengan penetration pacifique Islam dengan local wisdom di NKRI. Kendati demikian, caranya harus tepat. Islam arogan tidak bisa dilawan dengan narasi yang arogan pula.

Tawasuth dan I’tidal

Generasi milenial, terutama, penting memahami duduk perkara polemik Islam arogan agar terhindar dari arogansi itu sendiri. Melawan narasi radikal-ekstrem yang Abu Janda sebut arogan mesti dilakukan dengan mengedepankan sikap moderat (tawasuth) dan narasi imbang (i’tidal). Jika tidak, saya yakin yang terjadi justru polemik seperti yang terjadi pada Abu Janda. Selama dirinya melawan intoleransi dan radikalisme, sejauh itu  ia benar. Yang kurang baik, seringkali, adalah caranya.

Itu yang banyak dilupakan, termasuk oleh sementara Nahdliyin yang santer ikut menanggapi polemik tersebut. Islam yang berimej tawasuth dan i’tidal merupakan lawan Islam berimej arogan, sehingga menjadi cara yang efektif untuk melakukan kontra-narasi. Arogansi ideologis Islam ala salafi bukan merupakan arogansi bagi pengikutnya. Karenanya, ketika kata-kata tersebut mencuat ke permukaan, respons terhadapnya cukup pedas. Andai kata ‘Islam radikal’ yang dipakai, tidak akan serunyam itu.

Tetapi sekali lagi, diksi ‘arogan’ dipilih agar sama dengan lawan, yaitu masalah minoritas-mayoritas di NKRI. Kaum radikal yang anti budaya lokal itu tidak arogan secara personal, melainkan arogan secara ideologis. Bukan keberislaman mereka yang arogan, melainkan ideologinya. Seharusnya, narasi dari orang-orang seperti mereka disikapi secara moderat. Meluruskan, bukan membuat tandingan yang sama-sama bernuansa arogan.

Semoga setelah ini, polemik tersebut reda. Tengku Zul dan Abu Janda berada dalam pertentangan ideologis. Satu dianggap arogan, maka niscaya bagi satunya menampilkan kemoderatan. Kalangan milenial harus menjadi pionir kedamaian sosial, bukan penglarut polemik. Islam radikal jelas menampilkan arogansi. Tetapi untuk menyikapinya, tidak baik jika mesti terjerumus kedalam arogansi juga—melupakan narasi tawasuth dan i’tidal. Atau, kita menjadi tiada bedanya dengan mereka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru