Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Salam sejahtera bagi kita sekalian. Syalom. Salve. Om swastiastu. Namo buddhaya. Salam kebajikan.
Saya Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia, atas nama Pemerintah Republik Indonesia dan atas nama pribadi, mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek 2576 kepada saudara-saudara kita yang merayakannya. Semoga perayaan Imlek tahun ini membawa kebahagiaan, kesejahteraan, dan keberuntungan bagi seluruh masyarakat keturunan Tionghoa dan masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia.
Di momen penuh harapan ini, mari kita bersama-sama mempererat persaudaraan, menjaga kerukunan, dan merayakan keberagamaan sebagai kekuatan bangsa kita, bhinneka tunggal ika, berbeda tapi satu.
Saya juga mengucapkan selamat memasuki Tahun Ular Kayu. Semoga tahun ini menjadi tahun yang penuh keberkahan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kita semua.
Terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi kita sekalian. Syalom. Salve. Om santi santi santi om. Namo buddhaya. Salam kebajikan.
**
Harakatuna.com – Ucapan selamat Tahun Baru Imlek 2576 dari Presiden RI, Prabowo Subianto di atas, yang disampaikan pada Rabu (29/1) kemarin, jelas bukan sekadar seremonial tahunan. Dalam konteks sosial-politik Indonesia, ia merupakan simbol pemaknaan keberagaman bagi negara, ikhtiar merawat kebangsaan, dan meneguhkan posisi pluralisme dalam kehidupan bernegara.
Kalau dicermati kata perkata, pernyataan Prabowo mencerminkan inklusivitas. Pembukaannya diawali doa dalam berbagai tradisi agama di tanah air, sebuah pendekatan yang selama ini menjadi ciri khas pemimpin nasional dalam menyampaikan pesan resmi kepada masyarakat lintas agama dan etnis.
Kemudian, substansi utama berisi dua pokok utama. Pertama, ucapan selamat dan harapan bagi masyarakat Tionghoa. Kedua, ajakan untuk mempererat persaudaraan dan menjaga kerukunan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika di momentum Imlek.
Perayaan Imlek di negara ini, secara historis, memang pernah mengalami pasang surut penerimaan negara. Di masa Orde Baru, Imlek sempat dikaburkan dari ranah publik akibat kebijakan asimilasi ketat terhadap masyarakat Tionghoa. Baru di era Reformasi, oleh Presiden Gus Dur, Imlek diakui kembali sebagai identitas kebangsaan, hingga kemudian ditetapkan sebagai hari libur nasional pada era Presiden Megawati tahun 2003.
Menariknya, dalam lanskap politik kontemporer, pernyataan Prabowo mengandung makna penting. Ia sedang menata posisi pemerintahannya demi menjaga stabilitas sosial dan membangun citra inklusif. Pesannya secara eksplisit mengafirmasi masyarakat Tionghoa sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Itu jelas strategis, mengingat komunitas Tionghoa kerap jadi sasaran politisasi identitas, baik dalam narasi politik maupun ekonomi.
Imlek, dalam pengertian politik kebangsaan, kemudian menyimbolisasi lebih dari sekadar perayaan religio-kultural, melainkan juga simbol keterbukaan negara terhadap seluruh elemen bangsanya. Di tengah dinamika politik yang kerap memanfaatkan sentimen etnisitas, Prabowo menggarisbawahi: keberagaman merupakan kekuatan bersama, bukan kerentanan yang perlu dihadapi dengan tegang seperti di Timur Tengah.
Pernyataan Prabowo tidak saja menyebut Imlek secara umum, tetapi juga menyoroti bahwa 2025 adalah Tahun Ular Kayu dalam sistem kalender Tionghoa. Secara simbolik, ular dalam budaya Tionghoa melambangkan kebijaksanaan, ketangkasan, dan strategi. Sedangkan elemen kayu mencerminkan pertumbuhan dan adaptasi.
Jika dianalisis dalam konteks pemerintahan Prabowo, itu dapat diinterpretasikan sebagai refleksi politik yang ia bangun: strategi matang dalam menavigasi pemerintahan dan adaptasi terhadap berbagai tantangan ekonomi serta geopolitik global.
Prabowo yang selama ini dikenal sebagai sosok dengan gaya kepemimpinan tegas ala militer, kini tengah berupaya memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin yang merangkul seluruh elemen bangsa. Pernyataan Imlek kemarin menampilkan citra seorang pemimpin yang mengandalkan kekuatan, kebijaksanaan, dan inklusivitas secara simultan.
Penting digarisbawahai bahwa, sejarah panjang masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Dari diskriminasi struktural di era kolonial hingga kebijakan pembatasan budaya di masa Orde Baru, mereka kerap berada dalam posisi dilematis. Era Reformasi-lah yang membawa perubahan signifikan, dan masyarakat Tionghoa semakin berkontribusi dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi dan sosial-politik.
Pidato Presiden Prabowo di atas mempertegas posisi masyarakat Tionghoa hari ini dalam politik kebangsaan kita. Tentu hal tersebut krusial untuk membangun kesadaran kolektif bahwa Imlek bukanlah perayaan etnis tertentu, tetapi mozaik kebudayaan nasional—sebagaimana perayaan tahun baru pada umumnya. Bersamaan, negara hadir memberi perlindungan dan pengakuan terhadap seluruh elemen bangsa tanpa diskriminasi.
Pada intinya, ucapan selamat Imlek Presiden Prabowo Subianto memuat dimensi politik-sosial kebangsaan mendalam. Satu sisi, ia jadi menifestasi penghormatan terhadap komunitas Tionghoa: menegaskan komitmen negara terhadap pluralisme. Di sisi lain, ia menandakan bahwa pemerintah—di bawah kepemimpinan Prabowo—berupaya membangun narasi kebangsaan inklusif dengan spirit kebhinekaan.
Namun, bagaimana tantangan terbesar mainstreaming politik kebangsaan kita? Itu menjadi titik refleksi bersama. Apakah inklusivitas di momen Imlek akan diwujudkan dalam kebijakan yang lebih konkret, itu masih pertanyaan besar. Apakah peran masyarakat Tionghoa dalam politik-ekonomi akan semakin diakui tanpa prasangka, atau apakah semua itu politik simbolik belaka yang akan mandek, itu semua dapat diamati bersama ke depan.
Yang jelas, Imlek 2576 menjadi momentum penting bagi refleksi politik kebangsaan kita. Di tengah gejolak sosial-politik yang ada, Indonesia tetaplah rumah bagi semua, tanpa kecuali. Dan tugas pemerintah, sebagaimana ditegaskan Presiden Prabowo, adalah memastikan rumah tercinta ini tetap berdiri kokoh dalam keberagaman. Gong Xi Fa Cai!