Harakatuna.com – Istilah “hijrah” digunakan untuk menunjukkan fenomena kelas menengah atas dan figur publik (artis, bankir, jenderal, pejabat, selebritis) yang meninggalkan profesi lamanya menuju kehidupan baru sebagai muslim yang shalih. Sebagai taubaters (orang-orang yang bertaubat).
Pasca hijrah mereka tetap menjadi pusat perhatian. Punya banyak followers dan subcribers. Update status mereka dinanti-nanti. Makin dikepoin.
Pada dasarnya kelas menengah atas dan figur publik adalah orang-orang dengan tingkat intelektual tinggi. Mereka berpikir rasional, pragmatis, terbiasa mengakses informasi, bersikap terbuka dan mandiri.
Namun demikian meskipun telah hijrah, naluri selebriti mereka masih melekat. Masih ingin eksis. Masih butuh saluran-saluran untuk mengaktualisasikan diri.
Lalu mereka membuat komunitas-komunitas hijrah sebagai wadah silaturahmi, saling menguatkan diri dan belajar ilmu-ilmu islami. Diikuti oleh fans mereka dari kalangan awam. Di sana berbaur artis pujaan dengan para penggemarnya.
Komunitas-komunitas hijrah membutuhkan guru seorang ustadz yang mau dan mampu membimbing mereka ke jalan yang lurus. Siapa sosok guru tersebut akan menentukan apakah hijrah mereka sampai ke tujuan atau salah jalan?
Kata Syaikh Ibnu ‘Athaillah:”Barang siapa yang permulaannya bersama Allah, maka ujung perjalanannya pun bersama-Nya.” Cari guru yang bisa menghantarkan kepada Allah swt. Guru yang akan mengajarkan, membimbing dan membina ruhani dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat menuju tujuan.
“Sesungguhnya ilmu yang bermanfaat adalah yang cahayanya menyebar dalam dada dan menyingkap penutup hati. Ilmu yang terbaik adalah yang menumbuhkan rasa takut (kepada Allah). Ilmu yang disertai rasa takut kepada Allah, itulah ilmu yang menguntungkan. Jika tidak ilmu itu membahayakan”, kata Syaikh Ibnu ‘Athaillah.
Bagaimana kriteria guru tersebut? Syaikh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan dalam kitab Lathaiful Minan: “Tentu saja guru yang dimaksud adalah ulama pewaris Nabi yang takut kepada Allah swt karena pengetahuan hati mereka telah sampai kepada Allah swt. Dibuktikan dengan ketaatan kepada Allah swt. Karena ilmu para ulama yang tidak membuat takut kepada Allah swt, bukanlah ilmu.”
“Adapun ilmu yang membuat pemiliknya semakin mencintai dunia, semakin munafik, yang membuatnya sombong, berbangga diri, panjang angan-angan serta melupakan akhirat, ia tidak bisa disebut pewaris Nabi. Warisan tidak berpindah kepada pewaris kecuali dengan sifat seperti ketika ia berada di tangan pemberi warisan.”
Secara psikis ketika baru insaf dan bertaubat jiwa-jiwa kelas menengah atas dan figur publik masih labil. Butuh pendampingan dan penguatan.
Oleh karena itu perlu ada inisiatif jemput bola dari para guru sejati ahli waris para Nabi untuk mendekati mereka. Sebab, apabila dibiarkan dikhawatirkan komunitas-komunitas hijrah akan salah dalam memilih guru.