27.8 C
Jakarta

Imaduddin, Fuad Plered, Bahar Smith, dan Sifat Kekanak-kanakannya

Artikel Trending

Milenial IslamImaduddin, Fuad Plered, Bahar Smith, dan Sifat Kekanak-kanakannya
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Miris. Itu satu kata yang menurut saya sangat pantas diucapkan untuk fenomena hari-hari ini. Saya termasuk orang yang ikut menyimak perseteruan di media sosial antara Imaduddin Utsman, Fuad Plered, dan Bahar bin Smith. Dan jujur, yang ada di pikiran saya hanya satu: serendah itukah SDM Indonesia? Setidakberkualitas itukah debat harian bangsa? Tiga tokoh tadi benar-benar mencerminkan kepandiran, kekanak-kanakan, dan matinya nasionalisme.

Siapa yang memantik kebencian-kebencian horizontal ini? Apa kepentingan di baliknya? Apakah benar ada “the invisible hand” yang memancing di air keruh? Apa pun itu, debat kusir soal nasab menurut saya sama sekali tidak bermutu. Saat negara-negara adidaya sudah bergelut dengan intelektualitas, orang Indonesia masih sibuk bertengkar soal keturunan. Padahal, lahir dari kiai, habaib, atau petani, semuanya sama-sama keluar dari farji dan berasal dari sperma!

Dari dulu, saya benci feodalisme. Saya benci dengan strata sosial—tribalisme. Saya muak dengan budaya yang mengedepankan nasab daripada intelektualitas. Saya berpikir itu yang menyebabkan negara ini sampai kiamat tidak akan maju: debat soal hukum Maulid Nabi lebih diminati dari inovasi teknologi, debat soal trah lebih digandrungi ketimbang nasionalisme dan patriotisme. Namun saya bukan siapa-siapa untuk berbicara. Tulisan ini hanyalah isi pikiran yang sudah muak dengan semua itu.

Saya mengamati video-video Imaduddin, tampak jelas ada kebencian dalam dirinya terhadap habaib. Saya menonton semua video Fuad Plered, sangat jelas arogansi dan kebencian menyatu. Dan Bahar bin Smith, bahkan saya sudah berulang kali menulis tentangnya. Sama dengan Fuad, Bahar arogan. Saya tidak peduli apakah Bahar itu seorang zuriah atau bukan, kesan saya tidak akan berubah: dia adalah personifikasi kesombongan, kecongkakan, dan kekanak-kanakan.

Negara ini terlalu besar untuk diklaim sepihak, apalagi dengan mengukur hak berdasarkan perjuangan melawan penjajah—seperti diorasikan Imaduddin. Para pejuang kemerdekaan tidak hanya dari kalangan pribumi. Dikotomi rasial tidak berguna dalam patriotisme. Mengapa Imaduddin, Fuad Plered, dan Bahar Smith lupa bahwa ada peran besar orang Tionghoa, Arab, dan ras lainnya dalam memperjuangkan kemerdekaan? Apakah urat malu Imaduddin, Fuad, dan Bahar sudah putus ketika saling berebut benar?

Fuad dan Bahar; Siapa Benar

Fuad Plered telah memantik kebencian ketika mengatakan bahwa habaib itu punya genetika Yahudi. Dia bahkan spesifik menyebut Habib Umar bin Hafizh sebagai keturunan Yahudi. Kalau pun Fuad benar, dia telah mewarisi kebencian terutama di media sosial. Berapa ribu netizen saling cemooh satu sama lain karena pernyataan Fuad Plered? Dan bayangkan kalau ternyata Fuad Plered salah tentang ucapannya, dia menanggung dosa sendiri dan dosa jariah orang-orang yang cekcok karenanya.

Begitu juga dengan Bahar Smith. Apakah sulit baginya untuk tidak memantik kontroversi dengan sifat arogannya? Pernyataan Bahar bahwa syarif/habib bodoh lebih mulia daripada orang alim non-syarif benar-benar menyinggung para ulama dan masyarakat Indonesia sekaligus. Mengapa dia susah mengontrol mulutnya yang beracun itu? Setelah berulang kali masuk bui, mengapa Bahar Smith tak pernah jera dan selalu bertingkah laku seperti iblis?

Kalau pun Bahar benar dengan klaim kemuliaan tersebut, dia sudah menyakiti hati umat Muslim karena mulut sampahnya. Dan kalau dia mengatakan semua itu sembari “merasa mulia” karena dirinya habib, betapa hinanya Bahar Smith dan betapa berdosanya dia karena membuat para habaib jadi sasaran kebencian masyarakat Indonesia. Lihatlah hari ini, Habib Luthfi bin Yahya misalnya, sang suri teladan? Beliau juga dicaci-maki di media sosial. Semuanya karena arogansi Bahar Smith.

BACA JUGA  International Women’s Day dan Peran Perempuan dalam Terorisme

Maka, kalau pertanyaannya adalah siapa yang benar antara Fuad Plered dan Bahar Smith? Keduanya sama-sama salah. Kebencian dan arogansi bersarang dalam dirinya. Apakah kita, masyarakat Indonesia yang masih waras, akan mewarisi kebencian dan kesombongan tersebut? Apakah kita akan ikut bertindak kekanak-kanakan seperti dua manusia tak bermutu tersebut? Semoga jawaban dari dua pertanyaan ini adalah “tidak”. Semoga.

Lalu bagaimana dengan Imaduddin yang punya buku ilmiah tentang terputusnya nasab habaib di Indonesia? Sebenarnya, Imaduddin bisa menempuh perdebatan akademis, andai dia mau. Dia sudah punya basis penelitian, dan ruang diskusi yang sehat bisa dibuka untuk umum. Tetapi faktanya, Imaduddin antara di buku dan di ceramahnya beda. Di atas mimbar, dia adalah orator kebencian yang membuang sikap patriot dan nasionalismenya ke tong sampah. Tanpa rasa malu bahwa dia akademisi.

Matinya Nasionalisme

Saya mengusulkan agar kita sejenak membuang identitas-identitas rasial tersebut. Mau kiai, habaib, ras Tionghoa, ras Arab, dan apa pun itu, kita hidup di Indonesia. Makan, minum, dan berak di sini. Apakah kita tidak malu dengan para pemuda pejuang kemerdekaan yang bersumpah bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia? Mengapa nasionalisme hari ini dibuang dan digantikan oleh feodalisme dan kekanak-kanakan ala Imaduddin, Fuad Plered, dan Bahar Smith?

Tidak. Ini sinyal buruk. Tidak bisa dibiarkan nasionalisme disobek-sobek oleh Imaduddin, Fuad Plered, Bahar Smith, dan sifat kekanak-kanakan mereka. Hari ini tidak lagi ada kata “pribumi”, label tersebut sudah mati seiring kemerdekaan. Sekarang bukan lagi era kolonial Belanda. Muhammad Yamin cs dalam Sumpah Pemuda sudah menghapus dikotomi yang diskriminatif tersebut. Kita hari ini di bawah tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Itu yang harus dikuatkan, ditanam ke diri sedalam mungkin.

Orang Arab yang berjuang untuk kemerdekaan itu banyak. Orang Tionghoa juga banyak. Pribumi apalagi, jutaan. Tetapi mereka saling berjuang untuk Indonesia. Jangan sampai kita terpengaruh oleh kekanak-kanakan tiga begundal atas hingga melupakan jiwa-jiwa patriot-nasionalisme. Bahar Smith tidak boleh arogan karena seorang sayid atau habib. Imaduddin harus kembali ke khitah sebagai akademisi bukan orator kebencian. Sementara Fuad Plered sebaiknya lebih hati-hati dalam ber-statement.

Sekali lagi, kita semua satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Adakah yang lebih penting dari itu? Nasionalisme harus jadi prinsip tertinggi seluruh masyarakat—tidak bisa ditawar. Adapun ihwal nasab, kita menggunakan jalan moderat. Toh kalau nasab habaib memang terputus, kita masih tetap bisa meneladani Habib Lutfi dan Habib Quraish Shihab. Dan kalau Imaduddin dan Fuad ternyata keliru, kita tak rugi jika tidak cekcok sesama.

Di bawah nasionalisme, rasialisme adalah hal terlarang. Tidak ada yang lebih mulia dan lebih rendah. Semuanya sama; setara. Kita sebagai non-habaib tidak boleh larut dalam kebencian, dan mereka yang merasa punya darah Nabi juga tidak boleh merasa lebih unggul. Nasab bukanlah hal penting sampai ia membawa kemaslahatan. Jika nasab justru membawa kemudaratan dan matinya nasionalisme, ia lebih hina daripada iblis. Imaduddin, Fuad Plered, dan Bahar Smith harus berbenah dari kekanak-kanakannya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru