27.2 C
Jakarta
Array

Hidup Zuhud Menjadikan Tegar

Artikel Trending

Hidup Zuhud Menjadikan Tegar
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Salah satu bentuk musibah yang Allah turunkan untuk kita ialah, ketakutan, kelaparan, dan kemiskinan (Al-Baqarah [2]: 155). Sehingga disaat kita ditimpa musibah-musibah tersebut menjadikan kita merasa berat untuk menerima dan menjalaninya. Kita takut untuk lapar, kita takut untuk miskin, dan kita takut dengan hakikat ketakutan itu. Hal ini telah Allah gambarkan dalam firman-Nya:

Tapi, nampaknya musibah-musibah itu tidak akan menjadikan orang yang zahid menjadi terpuruk. Mereka sudah ‘tahan banting’ dengan musibah-musibah itu. Pertanyannya, mengapa itu semua bisa dijalankan dengan bijak? Alasannya, selama ini kita masih terikat dengan bius duniawi, sedangkan mereka sedikitpun duniawi tak dapat membiusnya.

Pernahkah kita mendengar tentang hikayat Rasulullah bahwa rumah beliau terbuat dari tanah liat, sempit, dan tapanya terbuat dari pelepah kurma. Beliau yang tak pernha kenyang ketika makan. Yang selalu sederhana dalam berpakaian, bahkan beliau tak pernah memiliki dua lembar gamis, sarung, dan dua pasangan sandal. Beliau yang tak perah memiliki cadangan makanan dan tidak pula harta simpanan.

Demikian pula dengan sahabat-sahabat Rasulullah. Abu Bakar, misalnya setelah diangkat menjadi khalifah dia tetap berdagang (setelah selesai menjalankan tugas kekhalifahannya), padahal negara bisa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Umar bin Khattab-pun juga demikian, beliau sebagai khalifah tak pernah memiliki baju bangsawan, malah pakaiannya banyak tambalan-tambalan. Beliau, Umar, yang takut untuk meminjam kas negara, dan tidak takut untuk hidup susah. Khalifah Usman bin Affan yang juga zuhud, beliau yang tetap suka bersedekah walau dalam keadaan susah. Serta, Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menolak untuk tinggal di istana dan memilih tinggal di rumahnya, lebih memilih menaiki keledai daripada kuda, yang rela menjual pedangnya seharga empat dirham hanya untuk membeli kain selembar.

Bagaimana mereka bisa menjalani hidup dengan demikian?

Hidup mereka telah dihiasi dengan sifat zuhud, suatu sifat yang tak lagi terikat dengan orbit duniawi. Mereka hanya membutuhkan Allah, Tuhan yag mengatur segalanya. Sehingga tatkala mereka ditimpa ketakutan, kelaparan, dan kemiskinan, maka sungguh bagi mereka bukanlah apa-apa, bukanlah musibah yang membuta mereka goncang, sebab ‘kemiskinan’ (faqr) adalah bagian dari visi mereka hidup.

Bukankah duniawi ini hanyalah sesuatu yang melalaikan manusia? Bukankah itu hanyalah ilusi mata yang membuat pandangan terpesona? Itu adalah fatamorgana. Keduniaan itu hanyalah kesenangan material yang bersifat sementara, dan tidak akan pernah membuat manusia puas dengannya. Seperti halnya air laut, jika manusia meminum air laut, bukanlah dia akan menjadi kenyang, sebaliknya justru semakin dahaga. Demikianlah kehidupan manusia, jika kita terus mengejar dunia, maka kita tak akan pernah puas dengannya. Kepuasan dunia hanyalah semu dan terbatas. Sebab, kita hanya akan mendapat kepuasan sejati hanya dengan Allah semata.

Oleh karenanya, mereka yang dalam hidupnya diorientasikan kepada duniawi, maka sebenarnya dia telah tertipu karena dia hanya mengarahkan hidupnya pada tujuan jangka pendek yang akan habis ditelan oleh masa dan akan binasa oleh kematian. Padahal, ada kepuasan sejati dengan tujuan jangka panjang dan abadi, yakni mengarahkan tujuan kepada Allah. Hanyalah dengan berorientasikan ukhrawi, menuju Allah, maka hidup kita akan mendapatkan kepuasan yang sejati.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, lalu menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Al-Hadid [57]: 20)

Namun, kita bukannya dilarang untuk memanfaatkan hal-ihwal keduaniaan. Sebab tegas Ali bin Abi Thalib, “Zahid (orang yang memiliki sifat zuhud) adalah orang yang memiliki dunia dan tidak dimiliki oleh dunia.” maksudnya, zahid itu orang yang menggunakan hal ihwal keduniaan sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya, menggunakan sesuai hukum dan etika, bukan untuk berlebih-lebihan dan berfoya-foya. Peggunaan duniawi yang demikian tidak dapat dikatakan sebagai ‘cinta dunia’ sebab segalanya digunakan untuk pendekatan diri kepada Allah.

Bagi saya, sifat zuhud merupakan salah satu cara agar manusia terlepas dari pesona dunia, sehingga tatkala kita ditimpa oleh musibah yang menyangkut duniawi, maka kita tak pernah gentar untuk melaluinya. Kita tak akan tersungkur dengan kelaparan dan ketakutan, sebab sifat zuhud telah menutup itu semua. Zuhud adalah langkah awal untuk memutus hubungan dengan selain Allah, dan hanya bertujuan diri kepada Allah.

Jika manusia tidak memiliki sifat zuhud, maka pada hakikatnya hidup hanyalah budak hawa nafsu. Dan itulah yang menjadikan manusia selalu berat hati tatkala tertimpa musibah. Disinilah pentingnya manusia untuk memagari diri dari ikatan duniawi, sebab sewaktu-waktu ia akan mengikat kita untuk selalu bersenang-senang dengannya, dalam kesenangan yang semu.

Pesona duniawi mampu membuat orang beriman rela menggadaikan keimanannya. Menjadikan orang shalih mencederai keshalihannya. Menjadikan orang jujur mengkhianati kejujurannya. Menjadikan orang kuat menjadi lemah. Dan semua itu akan tidak tersadari bahwa mereka telah berubah. Sebab sifat dari duniawi memang mengilusi. Oleh sebab itu, perbanyaklah untuk intrispeksi diri, ber-muhasabah apakah diri ini telah dikuasai oleh dunia atau akan dikuasainya?

* Thoriq Aziz Jayana, Penulis suka membaca, mempelajari, dan belajar tentang dunia tasawuf. Suka menulis buku diantaranya “Meneladani Semut dan Lebah

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru