30.8 C
Jakarta
Array

Duduk Perkara Milk al-Yamin dan Khilafah di Indonesia

Artikel Trending

Duduk Perkara Milk al-Yamin dan Khilafah di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa hari terakhir ini, nama Abdul Aziz menjadi sorotan publik dan bahan berita sejumlah media. Bahkan sampai muncul di layar kaca bak artis yang sedang naik daun. Perhatian publik kepada mahasiswa Doktoral Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini lantaran disertasinya berjudul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-Marital”.

Abdul Aziz dengan menggunakan pemikiran Syahrur memberikan kesimpulan bahwa milk al-yamin, dengan menggunakan pendekatan hermeneutika hukum dari aspek filologi dengan prinsip anti sinonimitas, memberikan interpretasi bahwa konsep milk al-yamin dalam Alquran tidak lagi berarti budak, melainkan partner hubungan seksual non-marital. Dengan konsep ini, maka seks di luar nikah diperbolehkan atau dalam batasan tertentu tidak melanggar syariat Islam.

Sebagai informasi, milk al-yamin artinya adalah ‘kepemilikan tangan kanan’. Jumhur ulama tafsir, utamanya kalangan tradisionalis, memberikan makna konstekstual milk al-yamin sebagai akad atau hubungan kepemilikan seorang tuan terhadap budak. Budak dalam hal ini bisa diperoleh melalui peperangan atau hasil dari pembelian maupun sebab kepemilikan lainnya. Dengan definisi demikian, maka seorang pemilik budak—tuannya—boleh berhubungan intim dengan budak yang dimilikinya tanpa harus mengadakan akad nikah.

Definisi di atas tak menuai masalah yang berarti atau hampir tidak mengalami penolakan sama sekali. Namun, begitu menganut penafsiran Muhammad Syahrur, konsep milk al-yamin menuai kontroversi karena ia memliki penafsiran berbeda, bahkan melawan mainstream, dengan ulama lainnya. Bagi Syahrur, sebagaimana diungkap sebelumnya, konsep milk al-yamin dalam Alquran tidak lagi berarti budak, melainkan partner hubungan seksual nonmarital.

Duduk Perkara

Konsep milk al-yamin menurut Syahrur ini kemudian direspon cepat oleh publik, utamanya melalui media sosial. Mayoritas netizen memberikan tanggapan terhadap karya ilmiah Abdul Aziz ini sebagai sesuatu yang merusak dan dapat menghancurkan norma agama yang telah lama dipatuhi dan diamalkan masyarakat.

Hujatan, cacian dan sejenisnya pun bertebaran di media sosial bak debu dibawa angin kencang. Padahal, netizen yang menolak dan menghujat belum  tentu membaca secara seksama nan tuntas disertasi Abdul Aziz.

Sebenarnya Milk al-yamin yang menuai kontroversi di kalangan masyarakat beririsan dengan kontroversi penegakan khilafah di Indonesia. Artinya, konsep milk al-yamin versi Syahrur dan konsep Khilafah yang diteriakkan oleh sebagian kelompok di Indonesia dewasa ini memiliki sisi yang sama; sama-sama tidak cocok diterapkan di Indonesia.

Kenapa milk al-yamin versi Syahrur dan Khilafah di Indonesia tidak cocok dan justru berpotensi besar menghancurkan bangsa ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat duduk perkaranya melalui dua kacamata.

Pertama, lihat konteks. Yudian Wahyudi, ketua sidang penguji disertasi Abdul Aziz menegaskan bahwa,  jika konsep milk al-yamin sebagaimana yang dipahami Muhammad Syahrur diterapkan di Indonesia, menurutnya justru akan menghancurkan tatatan bangsa yang sudah dibangun dan dirawat sedemikian rupa oleh pendiri bangsa dan generasi penerusnya.

Mungkin penafsiran/pandangan Syahrur tentang konsep milk al-yamin cocok diterapkan di daerah dan pada masa tertentu. Namun, jika diterapkan di Indonesia, konsep milk al-yamin Syahrur sungguh kehilangan konteksnya. Di sinilah, makna kontekstual—kedisinian—menemukan urgensinya.

Bayangkan saja jika hubungan seks diluar nikah dilegalkan di Indonesia, maka yang terjadi adalah kemadlaratan akan meluas. Penyakit Aids akan tersebar luas. Dan yang jauh memprihantinkan dari sekedar terkena penyakit adalah hancurnya sebuah keluarga.

Kita  tentu paham betul bahwa pondasi sebuah negara adalah keluarga. Negara pertama kali dibangun dari keluarga. Jika keluarga utuh dan hebat, maka negara akan kuat. Sebaliknya, jika keluarga hancur, maka negara akan turut hancur. Implikasi seks bebas sangat jelas; bikin keluarga hancur; anak terlantar dan menimbulkan penyakit serta masalah sosial lainnya.

Begitu juga dengan Khilafah. Indonesia, melalui tokoh pendiri bangsa sudah sepakat dan memilih  Pancasila sebagai dasar negara yang final dan memutuskan sebagai negara republik NKRI berlandaskan Pancasila. Maka ketika seorang atau kelompok berbicara penegakan khilafah di Indonesia, akan menjadi un-faedah (tak ada gunanya). Karena secara kontekstual, sesungguhnya sistem Indonesia, yakni Negara Republik yang berlandaskan Pancasila sudah menerapkan sistem khilafah.

Mohammad Nasih, dalam artikelnya “Miskonsepsi Khilafah” (harakatuna, 11/2/2018) menegaskan bahwa,  khilafah sesungguhnya adalah sistem politik apa pun yang memungkinkan untuk diterapkan hukum-hukum Allah, sehingga rakyat di dalamnya bisa beribadah dengan baik dan juga bisa membangun hubungan di antara sesama umat manusia secara harmonis.

Kedua, lihat siapa yang berbicara. Selain lihat konteks, kita perlu melihat siapa yang berbicara, menafsirkan dan menggagas sebuah konsep. Jika sudah demikian, maka duduk perkara sebuah persoalan akan terlihat secara gamblang.

Dalam dunia keilmuan, ada istilah otoritas keilmuan. Artinya, seseorang dapat dikatakan kompeten dan berhak berbicara tentang sesuatu apabila menyangkut bidang atau keahlian (kompetensi) yang ia miliki dan tekuni. Otoritas keilmuan di sini lebih pada pakar-pakar di bidang tertentu yang dapat dijadikan sebagai referensi.

Jadi, seseorang dianggap berkompeten di bidang A, misalnya, salah satunya bisa dilihat dari latar belakang pendidikannya. Jadi, orang teknik sipil, bukan domainnya berbicara tentang konsep-konsep keagamaan, milk al-yamin, misalnya. Atau dalam ranah agama misalnya, halal-haram itu otoritas keilmuan ulama.

Otoritas keilmuan itu diperlukan agar terhindar dari perkara yang tidak tepat, jika tidak ingin dikatakan dengan kata-kata sesat.

Kembali pada konsep milk al-yamin dan khilafah. Dua pembahasan ini sejatinya masuk dalam ranah sebuah kajian Alquran dan Alhadis, yakni penafsiran.

Sebagai penegasan, tidak semua orang memiliki otoritas untuk menafsirkan sebuah ayat atau surat di dalam Alquran. Artinya, ada ketentuan atau syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika hendak menafsirkan ayat Alquran.

Terkait ini, para ulama zaman dulu menegaskan bahwa seorang mufassir harus menguasai beberapa ilmu ketika hendak menafsirkan Alquran sekaligus ini sebagai salah satu syarat sebagai seorang mufassir. As-Suyuthi dalam al-Itqan, mengurai beberapa jenis ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir; diantaranya (1) ilmu bahasa; (2) ilmu nahwu; (3) ilmu qira’at; (4) ilmu retorika (balaghah), yakni ma’ani, bayani, dan badi’; (5) ilmu asbabun nuzul; (6) ilmu hadis; dan (7) ushul fiqh.

Jika ingin jujur, sesungguhnya Muhammad Syahrur kurang kompeten berbicara atau menafsirkan Alquran, seperti milk al-yamin. Karena sesungguhnya otoritas keilmuannya bukan pada ranah penafsiran Alquran. Hal ini bisa kita lihat dari latar belakang pendidikan Muhammad Syahrur.

Sebagaimana diungkap Abdul Aziz dalam disertasinya, yakni pada bab III, Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Suriah, pada 11 April 1938. Anak kelima dari seorang celup yang bernama Daib ini menuntaskan pendidikan dasar dan menengah di kampung halamannya (Salihiyyah) sebelum hijrah ke Moskow, Rusia, pada 1957 untuk menempuh studi teknik sipil (beasiswa dari pemerintah Suriah).

Abdul Aziz juga menegaskan bahwa Syahrur di masa kecil, tidak mengenyam pendidikan agama yang cukup. Bahkan, Syahrur dari jenjang sarjana hingga doktoral (selesai tahun 1972), linear pada bidang yang sama, yakni teknik sipil, dengan spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi.

Dan kemudian Syahrur berkhidmat menjadi dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus. Sampai di sini, Syahrur tidak bergabung dengan institusi Islam manapun dan tidak juga menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat ilmu-ilmu ke-Islaman, jelas Aziz sebagaimana ia kutip dari buku karya Andreas Chrismann.

Dari sini dapat dilihat bahwa Syahrur tidak mempunyai basic keilmuan tentang keislaman, utamanya ilmu penafsiran. Tak ayal jika Syahrur memiliki jalan yang relatif berbeda dengan pemikiran dan penafsiran ulama tafsir pada umumnya. Bahkan Syahrur, menurut beberapa kalangan, termasuk pemikir yang berhaluan liberal. Sebenarnya, inilah duduk perkara konsep milk al-yamin menurut Syahrur berada. Wajar saja jika Syahrur selalu menuai kontroversi.

Sama halnya dengan para pengusung khilafah. Jika diamati lebih dalam, sesungguhnya kelompok pengusung Khilafah, sebut saja para pentolan HTI tidak memiliki otoritas ilmu yang memadai. Sebut saja Syeikh Atha Abu Ar-Rasythah, Amir Hizbut Tahrir, alumni Teknik Sipil, Universitas Kairo. Ismail Yusanto, Jubir HTI, alumni Teknik Geologi, UGM Yogyakarta. Rokhmat S. Labib, Ketua DPP HTI, Alumni Sastra Inggris, Unesa Surabaya. M. Rahmat Kurnia, Ketua DPP HTI, Alumni Pertanian, IPB Bogor. Muhammad Shiddiq al-Jawi, Ketua DPP HTI, alumni MIPA IPB Bogor. Fahmi Amhar, Ketua DPP HTI, Alumni Jurusan Fisika, ITB Bandung. Suteki, alumni Hukum, UNDIP Semarang.

Tak ayal jika para pentolan HTI tersebut, seringkali ‘gagal paham’ dalam memahami konsep khilafah. Mereka selalu mendasarkan penegakan khilafah berdasarkan Alquran dan Hadis.

Misalnya, hadis yang mereka pahami sebagai informasi bahwa di akhir zaman nanti, sistem khilafah yang berlandaskan atas jalan kenabian akan berlaku dan berjaya, yaitu:

“Rasulullah bersabda: ‘Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.’ Beliau kemudian diam.” (HR Ahmad dan al-Bazar).

Terhadap hadis ini, sekali lagi, mereka ‘gagal paham’ dalam memahami hadis di atas, mereka memahami secara tekstualis. Setidaknya ‘gagal paham’ itu terlihat dari beberapa hal.

Misalnya, memahami akan ada kembali khilafah dengan jalan kenabian. Terkait hal ini Nadirsyah Hosein, meluruskan tentang maksud frasa “akan ada kembali khilafah…” ini yang dimaksud ke-khalifahan Umar bin Abdul Aziz. Bahkan Gus Nadir juga memperkuatnya dengan menyertakan pendapat para ulama seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Bazzar, Abu Dawud al-Thayalisi, Abu Nu’aim al-Ashfihani, al-Baihaqi, Ibn Rajab al-Hanbali, al-Suyuthi, bahkan Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (kakek Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir) juga berpendapat Umar Bin Abdul Azis-lah yang dimaksud dalam periode keempat (https://nadirhosen.net).

Sesungguhnya masih banyak kesalahan-kesalahan mereka dalam memahami konsep khilafah. Tak perlu disebutkan satu per satu dalam kolom ini karena duduk perkaranya kita sudah mengetahui.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru