27.7 C
Jakarta
spot_img

Doa Lampion Merah: Menelisik Ruh Imlek dari Kacamata Muslim Tionghoa

Artikel Trending

Milenial IslamDoa Lampion Merah: Menelisik Ruh Imlek dari Kacamata Muslim Tionghoa
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Imlek, atau Tahun Baru Lunar, adalah perayaan yang sarat simbol-simbol kultural dan spiritual bagi masyarakat Tionghoa. Di Indonesia, kita mengenal tradisi angpao, barongsai, dan makan bersama keluarga. Namun, ada satu tradisi Imlek yang boleh jadi kurang masyhur: ‘Menyambut Dewa Dapur’ (送神, Sòng Shén). Apa itu Menyambut Dewa Dapur? Apa kaitannya dengan lampion merah dan doa? Dan, sebenarnya, apa ruh Imlek itu sendiri bagi Muslim Tionghoa?

Di Tiongkok, beberapa hari sebelum Imlek, keluarga Tionghoa melakukan ritual mengantar Dewa Dapur kembali ke langit untuk melaporkan aktivitas keluarga selama setahun. Mereka membersihkan rumah, menyalakan dupa, dan menyajikan makanan sebagai sesembahan. Ritual tersebut diyakini membawa berkah dan rahmat untuk tahun yang akan datang. Namun, bagi Muslim Tionghoa, tradisi itu tak dilakukan karena ditengarai kontradiktif dengan prinsip tauhid Islam.

Namun, justru di situlah muncul kontekstualisasi menarik. Bagi Muslim Tionghoa, Imlek merupakan perayaan budaya dan momentum refleksi identitas ganda mereka: sebagai orang Tionghoa dan sebagai Muslim. Mereka merayakan Imlek dengan cara yang unik, mempertahankan tradisi yang selaras dengan nilai Islam, seperti berkumpul dengan keluarga, berbagi kebahagiaan, dan bersedekah. Kendati, di sekitar rumah, hiasan lampion merah tetap menyala.

Terjadi akulturasi di situ. Alih-alih menyembah leluhur atau dewa, Muslim Tionghoa menggunakan momen Imlek untuk berdoa kepada Allah Swt., memohon keberkahan dan keselamatan pada-Nya. Mereka juga mengganti ritual-ritual yang bersifat ‘heretic’ dengan aktivitas islami, baik tadarus maupun pengajian keluarga. Bahkan, tradisi memberi angpao bisa dimaknai sebagai bentuk sedekah dan kepedulian sosial—sesuatu yang jelas sangat dianjurkan Islam.

Namun, hidup sebagai Muslim Tionghoa di Indonesia tak selalu mudah. Mereka kerap menghadapi ketabuan identitas, yakni prasangka dari kedua belah pihak. Ada yang menganggap mereka ‘kurang Tionghoa’ karena tidak merayakan Imlek secara tradisional. Ada yang mempertanyakan keislaman mereka karena masih mempertahankan budaya Tionghoa. Padahal, Islam sendiri tak melarang Muslim merayakan budaya, selama tidak kontras dengan ajaran agama.

Kontekstualisasi Imlek dengan Spirit Islami

Imlek memakai sistem lunar. Artinya, ia sama dengan Hijriah, bukan? Di Indonesia, Tahun Baru Hijriah dirayakan dengan khidmat lewat pengajian, halakah, dan kegiatan keagamaan lainnya. Namun, nyatanya, Imlek tak selalu mendapat perhatian setara. Padahal, keduanya bisa disejajarkan dalam konteks moderasi beragama dan semangat wasatiah Islam. Kontekstualisasi yang dimaksud mencakup beberapa potensi nilai islami dalam Imlek itu sendiri.

Pertama, mari lihat dari sisi sistem penanggalan. Baik Tahun Baru Hijriah maupun Imlek sama-sama menggunakan kalender lunar. Dalam Islam, penanggalan lunar digunakan untuk menentukan waktu ibadah; Ramadan dan Idulfitri. Artinya, alam semesta, dengan sistem lunarnya, adalah tanda kebesaran Allah yang patut diresapi. Dengan sistem lunar itulah Imlek jadi momen reminder kita ihwal keagungan ciptaan-Nya dan pentingnya menghargai waktu.

Kedua, nilai universal Imlek sebenarnya selaras ajaran Islam. Misalnya, Imlek berisi silaturahmi, berbagi kebahagiaan, dan membersihkan diri dari kesalahan masa lalu. Semua itu sangat sejalan dengan ajaran Islam tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama (habl min al-nas) dan introspeksi diri (muhasabah). Tradisi memberi angpao pun bisa dimaknai sebagai manifestasi sedekah, ibadah berdimensi sosial yang banyak diatensi dalam Al-Qur’an.

BACA JUGA  Dedoktrinasi: Resolusi Kontra-Radikalisme di Tahun 2025

Ketiga, wasatiah mengajarkan kita menghargai pluralitas kultural, selama tidak menyalahi prinsip-prinsip Islam. Muslim Tionghoa di tanah air telah membuktikan, bahwa Imlek bisa dirayakan tanpa mengorbankan akidah. Mereka mengganti ritual berbau syirik dengan aktivitas yang islami: berdoa, bersedekah, dan berkumpul dengan keluarga. Apa yang perlu dipermasalahkan dari hal-hal itu? Tak ada. Niatnya doa dan lampion merah hanya hiasan semata, bukan doktrin teologi Tionghoa.

Keempat, Imlek sebagai sarana penguatan toleransi-persatuan di Indonesia. Saling mengenal dan menghargai perbedaan itu penting. Misalnya, non-Muslim bisa belajar makna di balik tradisi Imlek, sementara Muslim Tionghoa berbagi bagaimana mereka merayakannya dengan cara islami. Inilah bentuk da’wah bi al-hal, dakwah melalui tindakan.

Terakhir, refleksi spiritual dalam Imlek bisa diarahkan untuk mengingat kebesaran Allah. Misalnya, pergantian tahun bisa menjadi momen untuk merenungkan perjalanan hidup, mensyukuri nikmat yang diberikan, dan memohon ampun atas kesalahan yang telah dilakukan. Ini sejalan dengan semangat Tahun Baru Hijriah, di mana umat Islam diajak untuk introspeksi dan memperbaiki diri.

Dengan demikian, Imlek bukan sekadar perayaan budaya, tetapi juga bisa menjadi momen untuk memperkuat nilai-nilai islami dan moderasi beragama. Melalui kontekstualisasi yang tepat, Imlek bisa menjadi jembatan yang menghubungkan budaya dan agama, serta memperkuat persatuan dalam keragaman.

Imlek; Simbol Kebhinekaan dan Resiliensi Kultural

Indonesia adalah negara yang dibangun di atas fondasi kebhinekaan. Bhinneka Tunggal Ika, semboyan yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu merupakan prinsip yang harus dihidupi setiap hari. Perayaan Imlek memiliki peran penting sebagai simbol keberagaman dan resiliensi kultural tanah air. Pertama, Imlek sebagai bukti ketahanan budaya Tionghoa di Indonesia. Dengan diakuinya Imlek nasional sejak tahun 2003, Indonesia coba merangkul kebhinekaan.

Kedua, Imlek sebagai momen penguatan kebhinekaan. Perayaan Imlek di Indonesia tidak saja dirayakan masyarakat Tionghoa, tetapi juga berbagai kelompok masyarakat. Banyak non-Tionghoa yang turut serta dalam perayaan barongsai, menikmati kuliner khas Imlek, atau sekadar mengucapkan Gong Xi Fa Cai sebagai bentuk basa-basi. Artinya, Imlek telah jadi bagian dari kultur bersama dan memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia.

Ketiga, Imlek sebagai refleksi toleransi dan inklusivitas. Di beberapa kota di Indonesia, Imlek dirayakan secara terbuka dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk pemerintah, ormas, dan kelompok sipil. Toleransi semacam itu perlu terus dijaga dan dikembangkan. Keempat, Imlek sebagai inspirasi merajut persatuan melalui kebersamaan, rasa syukur, dan harapan, terlepas dari latar belakang budaya atau agama.

Intinya, bagi Muslim Tionghoa, ruh Imlek itu kompleks—sebagaimana ruh Hijriah bagi umat Muslim. Lampion merah adalah simbol diangkatnya doa-doa dan diijabahnya semua hajat. Imlek merupakan pengejawantahan perayaan tahunan yang mengajak kita merayakan keragaman, memperkuat toleransi, dan membangun persatuan sebagai satu bangsa dan satu negara: Indonesia.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru