27.2 C
Jakarta
Array

Bentengi Radikalisme, Muhammadiyah Serukan Kembali ke Islam Wasathiyah

Artikel Trending

Bentengi Radikalisme, Muhammadiyah Serukan Kembali ke Islam Wasathiyah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Harakatuna.com. Yogyakarta — Dalam rangka membentengi masyarakat dari ancaman radikalisme di tengah-tengah masyarakat, Muhammadiyah serukan kembalikan ke Islam Wasathiyah. Dalam rangka membentengi masyarakat dari ancaman radikalisme di tengah-tengah masyarakat, Muhammadiyah serukan kembalikan ke Islam Wasathiyah. Untuk hal itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yunahar Ilyas menganjurkan untuk menempatkan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai tolok ukur sikap tawassuth (moderat) atau washatiyah.
Yunahar menerangkan bahwa Pemilihan istilah wasathiyah merujuk surat Al Baqarah ayat 143, wasathon. Dalam surat tersebut, kata Yunahar juga bisa diartikan sebagai tawassuth (moderat), ta’adul (adil) dan tawazun (seimbang).

Radikalisme Menurut Ketum PP. Muhammadiyah

Pihaknya menegaskan bahwa kelompok yang ekstrem ke kanan sebagai tatharruf yang dalam konteks Indonesia lebih cenderung orang menyebutnya sebagai paham radikal. “Rasulullah SAW menyebut kelompok ini sebagai al Ghuluw. Sementara, bagi yang cenderung ke kiri disebut sebagai itrafatau sering disebut sebagai kelompok liberal,” tegas Yunahar.
“Entitas radikal secara sederhana bisa dicirikan sebagai kelompok yang memiliki sikap fanatisme terhadap hal-hal tertentu. Seperti menganggap Isa anak Maryam sebagai anak Tuhan, sikap ini tentu menyalahi pemahaman yang terdapat dalam al Qur’an,” Lanjut Ketua PP Muhammadiyah.
Dalam pengunaan, tawazun (equilibrium) juga bisa diimplementasikan ketika menjalankan kehidupan sehari-hari. Misalnya seorang yang bekerja lalu mendapatkan upah, dari upah yang didapatkan tersebut digunakan untuk kebutuhan hidupnya dan juga bisa dipakai sebagai nafkah kepada istrinya, serta berinfak atau bershadaqah. Dua aspek, duniawiyah dan ukhrawiyah diseimbangkan. Sehingga manusia selain mengetam hasil usahanya di dunia, juga mengetam pahala di akhirat kelak.
Termasuk sikap ta’adul juga bisa diimplementasikan kepada diri pribadi dan masyarakat. Dalam persoalan pribadi, ta’adul diterapkan untuk hati dan pikiran. Sehingga kerangka penilian manusia terhadap dunia dan alam sekitar sudah bisa adil sejak dalam pikiran. Sementara dalam sosial masyarakat, sikap tersebut menjadi pembagi atau positioning dalam menentukan tindakan yang diberlakukan terhadap keluarga dan masyarakat secara umum.
Sehingga dari penerapan sikap-sikap yang merupakan refleksi dari al Qur’an tidak mencenderungkan penilian atas dasar kerangka berfikir subyektif, kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok. Wakil Ketua Umum MUI 2015-2020 ini mengatakan, penilain yang sering ‘salah-kaprah’ terhadap kelompok yang dianggap radikal tidak kembali terulang. Karena tidak bisa shalat lima waktu di masjid dijadikan sebagai ciri terhadap kelompok radikal/ekstrimis.
Menurutnya, jika entitas yang terlalu jauh ke kanan dan melakukan penilaian terhadap entitas yang ditengah akan dianggapnya ke kiri. Begitu juga sebaliknya, entitas yang terlalu ke kiri akan menilai entitas yang di tenggah sebagai entitas yang cenderung ke kanan. Maka, solusi akomodatif dari kedua kutub tersebut adalah menerapkan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai tolok ukur dalam memberikan penilian.
Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru