26.5 C
Jakarta

Bagaimana Cara Menanamkan Sikap Pluralisme dan Inklusivisme?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanBagaimana Cara Menanamkan Sikap Pluralisme dan Inklusivisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Mungkin banyak orang terjebak dalam ketertutupan berpikir atau, yang biasanya disebutkan dengan, ”eksklusivisme”. Mereka yang terjebak paham semacam ini akan sulit menerima perbedaan. Baginya, perbedaan adalah petaka.

Ketertutupan berpikir sejujurnya merupakan bentukan lingkungan, pendidikan, dan bacaan. Seseorang yang dibesarkan di lingkungan yang cukup fanatik, akan sulit menerima perbedaan dari orang lain. Begitu pun, seseorang yang pendidikan dan bacaannya terbatas pada ketertutupan berpikir akan sangat mungkin menyesatkan orang lain yang berbeda dengannya.

Saya punya cerita. Mungkin ini berhubungan dengan dasar pembentukan mindset seseorang. Ceritanya tentang anak saya yang mulai saya perkenalkan dengan anak tetangga dari agama lain (non-muslim). Saya biarkan anak saya bergaul dengan siapapun tanpa memandang status agamanya.

Alasan saya sederhana kenapa saya melakukan itu. Agar suatu saat, anak saya tumbuh dalam keterbukaan berpikir atau, yang biasa disebut dengan, ”inklusivisme”. Dia tidak bakal kaget dengan perbedaan agama, apalagi perbedaan pemikiran. Dia akan tahu, bahwa kebaikan yang diperoleh dari temannya yang non-muslim itu akan membentuk suatu kesimpulan dalam pikirannya, bahwa semua orang bisa melakukan kebaikan.

Pengenalan kepada anak sedini mungkin tentang pluralisme dan inklusivisme itu penting. Anak yang dibesarkan dalam pendidikan yang terbuka akan membentuk generasi yang tumbuh dalam ”kebhinekaan”. Saya kira, itu sikap yang sesuai dengan nilai-nilai plural yang ditekankan di Indonesia. Semua sama, meski berbeda. Itu bhineka tunggal ika.

BACA JUGA  Dari Nonis Berburu Takjil Hingga Jihad Melawan Radikalisme

Mungkin anak kecil belum tahu apa itu pluralisme dan inklusivisme. Dia akan memahami itu semua ketika dewasa nanti. Yang terpenting nilai-nilai pluralisme dan inklusivisme mulai ditanamkan pada dirinya dan sedikit demi sedikit mulai melekat ke alam bawah sadarnya, sehingga itu membentuk suatu sikap yang disebut dengan ”akhlak”. Bukankah Imam Al-Ghazali pernah berkata, bahwa akhlak itu merupakan sikap yang melekat dalam diri seseorang, bukan buatan seketika?

Pentingnya menanamkan pendidikan pluralisme dan inklusivisme beriringan dengan kebisingan klaim kafir, sesat, dan bid’ah yang dialamatkan oleh kelompok tertentu kepada kelompok lain hanya karena perbedaan pemikiran. Padahal, berbeda itu suatu keniscayaan. Imam Syafi’i berbeda dengan gurunya, Imam Malik. Al-Ghazali berbeda dengan Ibnu Rusyd. Dan masih banyak yang lainnya.

Sebagai penutup, perkenalkan anak tentang pluralisme dan inklusivisme sedini mungkin. Agar kelak ketika dewasa dia tidak kaget bahwa perbedaan adalah keniscayaan, bukan petaka. Anak yang terbuka akan luwes bergaul dan ini bisa jadi jalan kesuksesannya.[] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru