30 C
Jakarta

Ancaman Politisasi Agama di Tahun Politik

Artikel Trending

EditorialAncaman Politisasi Agama di Tahun Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – MediaLink bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET-MUI) dan Perkumpulan MediaLink menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Aston, Simatupang, Jakarta Selatan, Rabu (17/5) lalu. Topik FGD adalah “Mencegah Disinformasi dan Politisasi Agama dalam Pemilu 2024”. FGD tersebut dihadiri sejumlah media keislaman dan lembaga advokasi, di antaranya MediaLink, Infid, Alvara Institute, Setara Institute, Maarif Institute, el-Bukhari Institute.

Selain itu, tentu saja hadir juga Harakatuna.com, Islami.co, Bincangsyariah.com, Bincangmuslimah.com, Hadispedia.id, Ruangobrol.id, dan Tarbiyahislamiyah.id. Peserta yang hadir adalah redaktur pelaksana hingga pemimpin redaksi. Pemateri ada dua orang, yaitu Inspektur Jenderal (Purn.) Hamli selaku Wakil Ketua BPET-MUI, dan CEO/Direktur Alvara Institute, Hasanuddin Ali. Sementara itu, moderator FGD adalah ustaz Najih Arramadhoni, Pengurus BPET MUI Pusat.

Untuk diketahui, tahun politik seringkali menjadi momen yang sensitif dan rawan terjadinya politisasi agama. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, fenomena politisasi agama telah menjadi perhatian utama. Politisasi agama mengacu pada penggunaan agama sebagai alat politik untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang berpotensi merusak kehidupan beragama yang harmonis dan mengancam demokrasi yang inklusif.

Dalam konteks tahun politik, politisasi agama dapat menjadi ancaman yang serius terhadap stabilitas sosial, persatuan nasional, dan keseimbangan politik. Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok politik dengan motif agama kerap memanfaatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan dan memperkuat basis kekuasaan mereka. Praktik semacam ini merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya didasarkan pada keadilan, kebebasan beragama, dan penghormatan terhadap pluralisme.

Politik identitas agama juga selalu berefek buruk; memicu polarisasi dan konflik di antara kelompok masyarakat. Manipulasi terhadap isu-isu sensitif berbasis agama dapat menciptakan kebencian, diskriminasi, dan ketegangan antarumat beragama. Hal ini tidak hanya merugikan kehidupan beragama yang harmonis, tetapi juga menghalangi perkembangan sosial dan ekonomi yang inklusif. Tidak terbayang masa depan negara ini jika ia marak dan tak segera dibenahi.

Menariknya, ancaman politisasi agama bukan hanya pada tingkat nasional, tetapi juga dapat terjadi pada tingkat lokal dan regional. Pada tingkat lokal, politisasi agama dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan dalam konteks pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum lainnya. Sentimen agama yang dimanipulasi dapat mengaburkan isu-isu penting dan mereduksi perdebatan politik menjadi perang identitas yang tidak produktif.

BACA JUGA  Napi Narkotika dalam Jeratan Terorisme

Dalam menghadapi ancaman tersebut, penting bagi masyarakat untuk tetap berpegang pada nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan toleransi. Masyarakat perlu mengembangkan kritis berpikir dan melihat melampaui narasi sempit yang seringkali dibentuk oleh politikus yang menggunakan agama sebagai alat kekuasaan. Edukasi yang kuat tentang prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan beragama dapat membantu memahami pentingnya mempertahankan prinsip politik yang bebas politisasi.

Selain itu, partai politik juga memiliki peran yang besar dalam mencegah politisasi agama. Partai politik harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan memastikan bahwa agama tidak dieksploitasi untuk kepentingan politik sempit. Partai politik harus fokus pada isu-isu yang relevan dengan kehidupan masyarakat dan berkomitmen untuk memperjuangkan kepentingan umum, bukan agenda agama tertentu. Bukan juga agenda internal pantai belaka.

Pemerintah juga memegang peran penting dalam menghadapi ancaman politisasi agama. Pemerintah harus menjaga kebebasan beragama, melindungi hak-hak minoritas, dan mengatasi ketidakadilan sosial yang dapat menjadi sumber ketegangan agama. Regulasi yang ketat diperlukan untuk membatasi manipulasi agama dalam konteks politik dan memastikan bahwa setiap pihak yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan toleransi bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Selain itu, media massa dan platform digital juga berperan penting dalam mengatasi politisasi agama. Media harus beroperasi dengan integritas dan objektivitas, menghindari penyajian yang bias dan manipulatif terhadap isu-isu agama. Platform digital harus mendorong diskusi yang sehat dan inklusif, serta membatasi penyebaran konten yang memicu kebencian atau radikalisasi. Di sinilah, kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat sangat penting.

Artinya, masyarakat harus mampu membedakan antara kepentingan politik dan nilai-nilai agama yang sebenarnya. Masyarakat juga harus membangun dialog antarumat beragama dan memperkuat persatuan di tengah perbedaan. Dalam menghadapi tantangan tersebut, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, agamawan, dan tokoh masyarakat adalah keharusan. dapat memperkuat upaya mencegah politisasi agama dan mempromosikan perdamaian serta harmoni dalam politik.

Tahun politik seharusnya menjadi momen untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi, bukan momen untuk memanipulasi agama. Dengan kesadaran yang tinggi, komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi, dan partisipasi aktif masyarakat, kita dapat melindungi kehidupan politik dari ancaman politisasi agama dan membangun masyarakat yang inklusif, toleran, dan berkeadilan. Tahun politik memang masih relatif lama. Namun, mencegah 2024 sebagai tahun politisasi agama mesti dimulai sejak sekarang. Wajib. []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru