27.3 C
Jakarta
Array

Tidak Semua Yang Baru Itu Bidah

Artikel Trending

Tidak Semua Yang Baru Itu Bidah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Melalui hadis-hadisnya, Rasulullah saw telah memberikan peringatan untuk tidak berlaku bidah. Sebab konsekuensi dari bidah ini akan tertolak dan dicap masuk dalam wilayah kesesatan. Memang kita sebagai umat Nabi Muhammad saw harus berhati-hati. Akan tetapi jangan sampai kewaspadaan kita dalam menjalan syariat Muhammad saw mengantarkan kita pada saling menuding sesat satu sama lain. Sebelum menghakimi orang lain sudah sepantasnya kita mendudukkan makna bidah secara proporsional.

Kata bidah berasal dari tiga huruf dasar bâ’, dâl, dan ʻain. Setiap kata bahasa Arab yang berakar dari tiga huruf tersebut mempunyai dua makna asal; pertama, memulai membuat sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya; kedua, terputus dan lemah. Oleh karenanya sesuatu yang baru dinamakan bidah. Jika bidah tersebut lemah pasti akan terputus dari yang benar. Salah satu asmaul husna yang dimiliki Allah swt adalah al-badîʻ yaitu Dzat yang menciptakan sesuatu yang belum pernah ada, lihat QS al-Baqarah [2]: 117 dan QS al-An’am [6]: 101. Dalam bahasa Arab kreatif disebut dengan al-Ibdâʻ karena orang yang kreatif mempunyai kemampuan daya cipta yang unggul.

Membicarakan bidah para ulama mempunyai pandangan masing-masing mengenai makna dari bidah. Sebut saja al-Syafi’i (w. H) yang mengartikannya dengan segala sesuatu baru yang muncul setelah masa Rasul saw dan masa Khulafa’ al-Rasyidin. Sehingga al-Syafi’i membagi bidah menjadi dua macam; hasanah (baik) dan sayyi’ah (buruk). Sesuatu baru yang sesuai dengan ruh syariat itu baik. Sementara yang berseberangan itulah bidah yang terlarang, demikian terang beliau. Sedangkan Ibnu Rajab al-Hanbali menyatakan bidah itu hal baru yang tidak mempunyai dasar dalam syariat. Jika ada landasan maka itu namanya bukan bidah. Menurut al-Ghazali (w. H) dalam Ihyâ’ ʻUlûm al-Dîn, tidak semua yang baru itu terlarang. Yang dilarang adalah suatu bidah yang berlawanan dengan sunah dan menggeser syariat.

Banyak sekali hal baru yang dilakukan oleh para sahabat seperti membukukan Al-Quran pada zaman Abu Bakar, pelaksanaan shalat tarawih secara berjamaah di zaman Umar bin al-Khathab, penyeragaman tulisan Mushaf Al-Quran di zaman Utsman bin Affan, dan munculnya berbagai macam disiplin ilmu seperti nahwu dan sharf pada zaman Ali bin Abi Thalib. Itu semua adalah bidah hasanah yang tidak bertentangan dengan ruh syariat.

Izzudin Abdussalam membagi bidah menjadi lima macam; pertama, wajib seperti membukukan Al-Quran dan menyebarkan berbagai macam ilmu yang membantu untuk memahami Al-Quran; kedua, sunah seperti mendirikan pesantren, madrasah dsb; ketiga makruh seperti menghias masjid; keempat mubah seperti traveling, wisata kuliner dll; kelima haram seperti faham yang bertentangan dengan Al-Quran dan sunah.

Lalu bagaimana contoh bidah yang terlarang? Bidah yang haram. Dalam sejarah Islam bidah terlarang pertama kali sepeninggal Nabi saw adalah fenomena murtadnya sebagian kaum Muslimin dan enggan mengeluarkan zakat pada masa Abu Bakar al-Shidiq. Dalam ranah ideologi seperti faham Jabariyah, Qadariyah, Muktazilah, Mujassimah, nabi-nabi baru setelah Nabi Muhammad saw dsb. Dalam ranah ibadah seperti shalat tanpa wudhu, shalat Maghrib dua rakaat, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang haram, melaksanakan ibadah haji selain di tanah suci Mekah.

Sayangnya sebagian saudara seiman masih memukul rata semua bidah terlarang, sesat dan kafir. Alangkah sempitnya beragama jika masih menuduh kafir saudaranya yang sama-sama shalat menghadap ke kiblat, mengucap syahadat, berpuasa Ramadan. Apakah surga Allah swt sesempit itu? [Ali Fitriana] Wallahu Aʻlam

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru