Harakatuna.com – Media sosial adalah ruang yang sangat ciamik dalam menyebarkan ideologi/pandangan tertentu. Hampir segala kehidupan yang kita jalani hari ini, tidak lepas dari pengaruh media sosial. Hal ini bisa dilihat dari tren fashion, makanan, hingga gaya hidup lainnya. Kenyataan ini sejalan dengan teori kultivasi (cultivation theory).
Cultivation theory menjelaskan bahwa jika masyarakat dihadapkan pada cerita atau tema-tema tertentu secara terus-menerus, maka seiring berjalannya waktu mereka akan mengharapkan tema dan alur cerita yang didengar atau ditonton sesuai dengan kehidupan realitas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa media memiliki kekuatan besar untuk menggiring opini masyarakat bahkan membentuk kepercayaan dalam diri masyarakat terhadap suatu masalah tertentu, tidak terkecuali tentang urgensi penegakan pemerintahan Islam yang sering dikampanyekan oleh HTI.
HTI ataupun apa pun itu sebutannya, meskipun dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 2017, saat ini tidak pernah takut untuk sembunyi-sembunyi dalam melakukan propaganda. Artinya, keberadaan media sosial membuat mereka semakin percaya diri untuk mengajak dan memengaruhi orang lain melalui narasi, konten, ataupun video yang diproduksi di media sosial. Pasca dibubarkan oleh pemerintah, media sosial menjadi modal kapital yang besar bagi para aktivis khilafah untuk terus menyebarkan ideologinya. Sebab hampir seluruh media sosial organisasi, ataupun milik individu para aktivis khilafah, memiliki followers yang banyak.
Bertahun-tahun mereka rutin setiap hari, mengkritik pemerintah, fenomena sosial, hingga masalah global. Tahun 2025, gerilya mereka dalam melakukan propaganda untuk mengajak masyarakat mendirikan negara Islam semakin besar. Dengan perkembangan AI, TikTok, mereka memiliki modal besar untuk terus melakukan ideologisasi.
Tidak hanya itu, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Prabowo, adalah modal yang sangat bagus dalam melakukan propaganda. Meski begitu, apa pun yang dilakukan oleh HTI tahun 2025, kita perlu menggarisbawahi bahwa, narasi mereka sebenarnya usang dan narasi lama yang diulang-ulang. Kalau kita memperhatikan, setidaknya ada beberapa alasan mengapa kita tidak perlu tertarik untuk mengikuti perjuangan HTI, di antaranya:
Pertama, HTI atau kelompok transnasional sejenisnya ini, jumlahnya sedikit namun berisik. Jika kita lihat di media sosial, melalui podcast-podcast yang tampil di Youtube, tokoh-tokoh HTI itu-itu saja. Sesepuh atau dedengkot HTI, seperti Felix Siauw, Ismail Yusanto, Rokhmat S. Labib, dll. bisa dihitung. Tidak seperti tokoh organisasi besar di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah. Artinya, secara kuantitas, mereka sebenarnya kalah dibandingkan dengan kita. Kondisi ini yang harus kita pahami agar terus percaya dan berupaya agar gerakan mereka tidak laku di masyarakat.
Kedua, narasi mereka usang dan tidak kreatif dan bersifat imajinatif. Setiap kritik yang disampaikan oleh para aktivis khilafah melalui website, bermuara pada penegakan khilafah di Indonesia. Melalui narasinya, mereka tidak mengkritik korupsi, sistem sosial, ataupun tatanan masyarakat. Mereka hanya mengajak kita untuk mendirikan khilafah. Namun, perlu digarisbawahi bahwa militansi mereka sangat besar. Ini yang harus kita pupuk agar tidak lelah melawan HTI.
Ketiga, musuh mereka sekularisme, feminisme, liberalisme, sosialisme, ataupun ideologi yang berasal dari Barat. Pada bagian lain, sebenarnya aktivis HTI ini menikmati perkembangan dari ideologi tersebut. Dalam konteks feminisme, misalnya. Adanya kebijakan tentang kesempatan perempuan dalam ranah politik, sehingga membuat perempuan bisa berpatisipasi aktif dalam politik, membuat banyak muslimah HTI bisa menjadi politisi. Artinya, mereka seperti bermuka dua. Di satu sisi memusuhi, di sisi lain menikmati.
Alasan di atas perlu menjadi ruang pengetahuan kita agar tidak percaya dengan propaganda HTI yang tidak pernah lelah mengajak masyarakat mendirikan negara khilafah. Tahun 2025, bisa dipastikan tidak ada narasi baru yang diproduksi oleh HTI selain narasi usang yang diulang-ulang dan hal itu bisa dilihat dari organisasi-organisasi yang baru bermunculan, yang tidak membawa embel-embel HTI, yakni wajah baru dengan ideologi yang sama. Wallahu A’lam.