27.6 C
Jakarta

Nyadran: Perjumpaan Muslim dengan Buddhis sebagai Lambang Toleransi

Artikel Trending

KhazanahTelaahNyadran: Perjumpaan Muslim dengan Buddhis sebagai Lambang Toleransi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Jalanhijrah.com-Berjalan sekitar 1 Km dari Dusun Krecek ke makam, rasanya seperti mendapatkan challenge tersendiri, sebab jarang sekali berjalan sejauh itu. Sebenarnya bukan jaraknya yang membuat terasa lelah, tapi medan jalannya yang naik turun membuat nafas terengah-engah sehingga merasa kecapean. Sesampainya di makam, bukan rasa lelah yang dominan, akan tetapi perasaan haru ketika melihat seluruh warga di Dusun Krecek dan Gletuk bertemu dan duduk bersama di atas tikar yang sudah dibawa oleh masing-masing anggota keluarga.

Pertemuan tersebut bukan tanpa alasan, sejak beberapa hari sebelumnya, masyarakat di Dusun Krecek ataupun Gletuk sudah berbondong-bondong untuk memasak dan menyiapkan segala jenis makanan untuk dipersembahkan ke makam, yang disebut dengan sesaji. Kalau kata Mbah Sukoyo, kepala Dusun Krecek, adanya sesaji adalah bentuk penghormatan kepada danyang-danyang ataupun arwah yang sudah meninggal. Hal ini karena kehidupan manusia tidak hanya berhadapan dengan yang tampak/terlihat. Akan tetapi juga hidup dengan makhluk dimensi lain.

Keterikatan dengan leluhur, harus dijaga dan dilestarikan. Sebab hubungan itu adalah sebuah bentuk kekerabatan yang tidak pernah berakhir. Hubungan dengan leluhur yang sudah meninggal bukan putus, hanya saja berada dimensi lain sehingga hubungan tersebut perlu dirawat. Selain itu, keberadaan sesaji juga menjadi sebuah mediasi untuk menguatkan hubungan antara muslim dengan buddhis.

Berkaitan dengan hubungan bersama para leluhur, saya juga teringat ketika membahas tanah waris (red: sangkolan) bagi masyarakat Madura. Mengapa masyarakat Madura tidak gampang untuk menjual tanah warisan (sangkolan)? Sebab hubungan dengan leluhur sangat kental. Menjual tanah sangkolan untuk kepentingan yang tidak genting, justru akan mendapatkan kualat. Dari sinilah kita memahami bahwa, hubungan dengan seseorang yang sudah meninggal, tidak akan pernah putus. Makanya dalam tradisi sebagai muslim, setiap waktu, kita selalu mendoakan anggota keluarga yang sudah meninggal.

Bagi saya nyadran yang dilakukan di makam oleh masyarakat Dusun Krecek dengan Dusun Gletuk bukan hanya sebagai sarana berdoa di pemakaman. Hal ini karena ada nilai yang sangat mendalam untuk menjaga nilai toleransi dan nilai kemanusiaan. Satu hal yang menarik dalam perayaan nyadran adalah ketika berdoa. Masyarakat Buddha berdoa dipimpin oleh Bhante (Biksu). Mereka khusyuk dengan kegiatan doa yang dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan tahlil bersama masyarakat muslim yang dipimpin oleh tokoh agama setempat. Bagi masyarakat, kegiatan ini hal biasa untuk dilakukan. Akan tetapi, tidak bagi masyarakat luar. Tradisi ini adalah luar biasa untuk dilakukan dan dirawat mengingat kasus intoleransi yang sering terjadi sehingga menciptakan segregasi antar umat beragama. Nyadran menjadi upaya merawat kesadaran tentang pentingnya merangkul bersama antar umat beragama serta menjadi simbol hubungan erat antara muslim dengan buddhis.

BACA JUGA  Mengapa Isu Khilafah Terus Mengakar pada Waktu Pemilu?

Toleransi Sudah Menjadi Praktek Sejak Kecil

“Saya itu sudah terbiasa membopong mayat dari tetangga Kristen atau Buddha. Saya ikut ritual dari awal sampai akhir. Hanya satu yang tidak saya ikuti, yakni berdoa. Sebab tidak tahu. Saya hanya mendoakan sesuai agama dan keyakinan saya,” tutur Pak Sarono, tokoh agama Islam selaku warga Dusun Gletuk.

Dusun Gletuk berbeda dengan Krecek. Sebab masyarakatnya terdiri dari berbagai latar belakang agama seperti: Islam, Buddha dan Kristen. Pak Sarono adalah warga yang tinggal di kampung tersebut sejak kecil. Tradisi merayakan natal, waisak, selalu diikuti sebagai bentuk penghargaan kepada tetangga yang merayakan hari raya sesuai dengan agamanya masing-masing.

“Berkunjung ketika Natal, ataupun ketika Waisak kepada para tetangga yang beragama Kristen ataupun Buddha sudah sering saya lakukan. Jadi menurut saya tidak ada yang istimewa. Kami tidak pernah mengalami konflik apapun. Mayat yang dikubur di pemakaman juga tidak pernah ada pertentangan agamanya. Jadi semuanya hidup tenang, aman dan damai,” tutur Pak Sarono.

Keberadaan makam tempat nyadran, merupakan sesuatu yang berharga bagi masyarakat. Di tengah kekacauan masyarakat tentang agama orang yang meninggal, mendapatkan penolakan hanya karena berbeda agama, di Dusun Krecek dan Gletuk, semua manusia yang mati tidak memiliki agama. Sebab agamanya adalah kemanusiaan, di mana memperlakukan semua orang mati dengan sikap yang sama. Setiap orang mati memiliki hak untuk dikubur dan diistirahatkan dengan baik. Praktek baik tersebut sudah diterapkan oleh masyarakat Dusun Krecek dan Gletuk.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru