33.5 C
Jakarta
Array

Nikah Beda Agama

Artikel Trending

Nikah Beda Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berbicara tentang pasangan beda keyakinan, Al-Quran sudah sejak dulu membicarakannya. Mulai dari Nabi Nuh as, Nabi Luth as (QS al-Tahrim [66]: 10), Firaun (QS al-Tahrim [66]: 11) hingga Abu Lahab (QS al-Lahab [111]: 4). Uniknya Al-Quran menyebut semua pasangan perempuan mereka dengan term imra’ah. Baik yang kafir salah satunya maupun kedua-duanya.

Masih banyak kasus nikah beda agama lainnya yang dilakukan baik oleh public figure maupun masyarakat umum. Perbedaan ritual, aturan dan lain sebagainya tidak menutup kemungkinan sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup rumah tangga.

Dalam QS al-Baqarah [2]: 221 terdapat pesan tidak diperbolehkan akad nikah dengan wanita Musyrik baik Ahlukitab maupun tidak. Pendapat ini dinukil dari salah satu riwayat Umar bin al-Khathab sekaligus menjadi pilihan pendapat Malik dan Syafiʻi dengan catatan wanita tersebut adalah seorang budak. Kedua, Yang dimaksud dari QS al-Baqarah [2]: 221 adalah bersenggama dengan orang yang tidak mempunyai kitab samawi semisal Majusi. Pendapat ini diutarakan oleh Qatadah. Ketiga, ayat QS al-Baqarah [2]: 221 telah di-naskh oleh QS al-Maidah [5]: 5

Sementara QS al-Maidah [5]: 5 ini merupakan pengecualian dari ayat QS al-Baqarah [2]: 221 yang melarang menikah dengan orang Musyrik. Sehingga Ahlukitab dikecualikan dari kaum Musyrik lainnya. Oleh karenanya ada pendapat bahwa QS al-Maidah [5]: 5 me-naskh QS al-Baqarah [2]: 221 yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas.

Para pakar hukum Islam beristinbath dari QS al-Maidah [5]: 5 bahwa boleh hukumnya menikahi wanita Ahlukitab. Ini disepakati oleh mayoritas ulama termasuk imam empat mazhab mainstream. Hanya saja ada beberapa yang berpendapat sebaliknya. Sebut saja mazhab sahabat Ibnu Umar, mazhab Syiah Imamiyah dan sebagian mazhab Syiah Zaidiyah. Mereka berpandangan kebalikan dari Ibnu Abbas yakni QS al-Maidah [5]: 5 di-naskh oleh QS al-Baqarah [2]: 221 (naskh al-Khâsh bi al-ʻÂm).

Sebenarnya QS al-Mumtahanah [60]: 10 merupakan penegas dari QS al-Baqarah [2]: 221 yang melarang menikah dengan non-Muslim selain Ahlukitab. Hanya saja QS al-Mumtahanah [60]: 10 mempunyai penekanan yaitu terlarangnya seorang Muslimah untuk dinikahi non-Muslim. Sehingga ulama bersepakat melarangnya. Secara  jelas QS al-Mumtahanah [60]: 10 menegaskan bahwa seorang Muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir. Sebelumnya orang-orang kafir menikahi wanita Muslimah begitu juga orang Muslim yang menikahi wanita Musyrikah. Kemudian Allah swt memerintahkan untuk mentalak mereka. Sebab di-naskh dengan ayat ini, QS al-Mumtahanah [60]: 10 dan yang lain.

Berangkat dari QS al-Maidah [5]: 5, para ulama bersepakat –termasuk empat mazhab mainstream– akan kebolehan menikahi wanita Ahlukitab. Ini bisa dikuatkan dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat. Semisal Utsman bin Affan yang menikahi seorang wanita Nasrani bernama Nailah binti al-Farafishah yang kemudian memeluk agama Islam. Begitu juga Hudzaifah yang mempersunting wanita yahudi berasal dari al-Madain. Juga Talhah bin Ubaidilah yang menikahi wanita Yahudi dari negeri Syam. Menurut al-Zuhaili alasan kebolehan karena adanya persamaan dari sebagian prinsip teologi antara lain, meyakini Tuhan, iman kepada para rasul, hari akhir, hisab dan balasannya. Sehingga persamaan ini dapat mengantarkan pada kehidupan rumah tangga yang sakinah. Selain itu juga tidak menutup kemungkinan bisa diharapkan keislamannya karena sama-sama beriman kepada kitab-kitab dan para rasul.

Menurut Syâfiʻiyyah kebolehan ini ada syarat dan ketentuannya. Boleh menikahi kalangan Ahlukitab, jika tidak diketahui dari nenek moyangnya siapa pertama kali yang menganut agama Yahudi setelah adanya penyimpangan Taurat. Boleh, jika dari kalangan Kristen, diketahui dari nenek moyangnya yang pertama kali menganut agama Isa as sebelum adanya penyelewangan Injil. Jika menganut Kristen setelah adanya penyimpangan agama, maka tidak boleh menikahinya. Meskipun pendapat ini berlawanan dengan pendapat mayoritas yang membolehkannya tanpa syarat. Sedangkan menurut al-Shabuni kebolehan itu dengan syarat tidak dikhawatirkan anak-anak akan mendapat akibat buruk dari pernikahan.

Kebolehan menikahi wanita Ahlukitab ini dipandang makruh oleh hanafiyyah, sebagian mâlikiyyah, dan syâfiʻiyyah. Sedangkan Hanâbilah memandangnya khilâf al-aulâ. Kemakruhan ini didasarkan pada sikap Umar bin al-Khathab. Berangkat dari kekhawatiran Umar bin al-Khathab orang-orang meniru trend menikahi wanita Ahlukitab. Sehingga wanita Muslimah menjadi pilihan kedua. Sehingga Umar bin al-Khathab meminta Hudzaifah untuk mentalak isterinya yang seorang Yahudi.

Dalam sebuah riwayat Ibnu Umar saat ditanya tentang menikahi wanita Yahudi dan Nasrani menjawab, “Allah swt mengharamkan wanita Musyrik untuk dinikahi seorang Muslim. Aku tidak tahu kemusyrikan yang lebih besar dari orang yang mengucapkan bahwa Tuhannya adalah Isa, seorang hamba Allah”. Al-Jashash menilai riwayat ini bukan mengindikasikan sebuah keharaman melainkan sebuah kemakruhan.

Majelis Ulama Indonesia secara tegas mengharamkan nikah beda agama pada Munas VII MUI tahun 2005. Sebab mempunyai dampak negatif di masyarakat. Senada juga dengan apa yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dalam bab VI pasal 40 dan 44, bab X pasal 61 serta bab XVI pasal 116. Wallahu Aʻlam

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru