Harakatuna.com – Mohammad Jibril Abdul Rahman adalah salah satu eks narapidana teroris (napiter) di Indonesia yang terkenal karena keterlibatannya dalam jaringan teroris internasional. Putra dari Abu Jibril, seorang tokoh terkemuka dalam gerakan radikal di Indonesia, Mohammad Jibril sejak muda telah terpapar ideologi ekstremisme. Berbeda dengan banyak eks napiter lainnya yang terlibat dalam aksi teror fisik, Jibril lebih dikenal sebagai sosok yang berperan dalam penyebaran ideologi radikal melalui media online dan propaganda digital.
Lahir pada tahun 1985, Mohammad Jibril tumbuh di lingkungan yang sangat kental dengan ajaran Islam. Ayahnya, Abu Jibril, adalah seorang ulama yang pernah bergabung dengan organisasi teroris Al-Qaeda dan memiliki pengaruh besar dalam jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Pengaruh keluarga membuat Jibril secara alami tertarik pada dunia keagamaan dan gerakan jihad sejak usia muda. Pendidikan agama yang ia dapatkan tidak hanya dari sekolah formal, tetapi juga dari kelompok-kelompok radikal yang menjadi bagian dari lingkungan keluarganya.
Jibril sempat belajar di Pakistan, di mana ia terpapar lebih banyak pada ideologi ekstremisme dan terhubung dengan jaringan teroris internasional. Di Pakistan, ia belajar di lembaga pendidikan yang diduga memiliki keterkaitan dengan kelompok militan. Selain itu, ia juga terlibat dalam jaringan Al-Qaeda, yang pada saat itu memiliki basis kuat di Asia Selatan. Pengalamannya di luar negeri memperkuat pandangan ekstremnya tentang jihad dan mendorongnya untuk mengambil peran aktif dalam penyebaran ideologi tersebut.
Setelah kembali ke Indonesia, Mohammad Jibril mulai aktif dalam dunia media. Dia mendirikan situs-situs berita yang menyebarkan propaganda jihad dan ideologi ekstremisme. Salah satu situs yang terkenal adalah Ar-Rahmah.com, sebuah platform berita online yang berfokus pada isu-isu dunia Islam, namun dengan sudut pandang yang sangat radikal. Situs ini menjadi salah satu media utama bagi para pendukung gerakan jihad untuk memperoleh informasi dan penyebaran ideologi radikal di Indonesia dan negara-negara lain.
Peran Mohammad Jibril sebagai “pejuang media” dalam jaringan teroris membedakannya dari para teroris lainnya yang lebih banyak terlibat dalam aksi kekerasan fisik. Ia memanfaatkan kemampuan jurnalistik dan pemahamannya tentang dunia digital untuk memperluas jangkauan propaganda jihad, yang membuatnya dikenal sebagai salah satu propagandis utama bagi kelompok-kelompok teroris di Indonesia. Media yang ia kelola sering kali menampilkan video, artikel, dan berita tentang serangan teroris serta ajakan untuk melakukan jihad.
Pada tahun 2009, Mohammad Jibril ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri atas tuduhan keterlibatan dalam pendanaan aksi terorisme, termasuk Bom Marriott Jakarta pada tahun 2009. Pihak berwenang menyatakan bahwa Jibril terlibat dalam penggalangan dana untuk kegiatan teror, serta berperan dalam mengkoordinasikan serangan tersebut. Penangkapannya menjadi bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk memerangi pendanaan terorisme dan menghentikan jaringan teror yang beroperasi di wilayah Asia Tenggara.
Selama proses pengadilan, Jibril mengakui keterlibatannya dalam penyebaran ideologi jihad melalui media, tetapi ia membantah terlibat dalam serangan fisik atau tindakan kekerasan langsung. Meski begitu, bukti-bukti yang diajukan oleh pihak Polri menunjukkan bahwa ia memainkan peran penting dalam pendanaan dan komunikasi antarjaringan teroris. Pada tahun 2010, ia dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun atas keterlibatannya dalam kegiatan terorisme.
Di penjara, Mohammad Jibril mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia. Program ini bertujuan untuk mengubah cara pandang para napiter yang sebelumnya terlibat dalam aksi terorisme agar mereka dapat kembali ke masyarakat dengan pemahaman yang lebih moderat tentang agama. Selama menjalani hukuman, Jibril dilaporkan kooperatif dan mulai mengurangi keterlibatannya dalam dunia ekstremisme.
Setelah bebas pada tahun 2014, Jibril perlahan-lahan mencoba membangun kehidupan baru. Ia mendirikan beberapa usaha dan terlibat dalam kegiatan ekonomi. Langkah ini menjadi bagian dari upaya untuk mereintegrasi dirinya ke dalam masyarakat, serta meninggalkan masa lalunya yang kelam di dunia terorisme. Meski begitu, perjalanan Jibril untuk benar-benar lepas dari ideologi radikal bukanlah hal yang mudah. Masih ada pandangan skeptis dari masyarakat tentang sejauh mana ia telah berubah.
Sebagai eks napiter, Jibril tetap berada di bawah pengawasan pihak berwenang untuk memastikan bahwa ia tidak kembali terlibat dalam aktivitas terorisme. Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus melakukan pemantauan terhadap eks napiter, termasuk Jibril, untuk mencegah mereka terlibat lagi dalam jaringan teror. Meski begitu, tidak banyak informasi publik yang mengungkap secara detail mengenai kehidupannya pasca-kebebasan, mengingat ia lebih memilih untuk menjalani hidup yang lebih privat.
Selain itu, meskipun telah mengikuti program deradikalisasi, ada beberapa tantangan yang dihadapi Jibril, seperti stigma sosial dan kesulitan beradaptasi dengan kehidupan masyarakat umum. Banyak eks napiter seperti Jibril yang merasa sulit diterima kembali oleh masyarakat karena masa lalu mereka yang terkait dengan aksi terorisme. Oleh karena itu, upaya reintegrasi eks napiter memerlukan dukungan yang lebih luas dari masyarakat agar mereka benar-benar bisa bertransformasi secara positif.
Sebagai bagian dari generasi milenial yang terlibat dalam terorisme, kasus Mohammad Jibril juga memberikan pelajaran penting tentang bagaimana anak muda bisa terpapar ideologi radikal melalui pendidikan, pengaruh keluarga, dan media. Pengalaman Jibril menunjukkan bahwa ancaman radikalisme dapat menyusup melalui berbagai saluran, termasuk media digital yang sangat mudah diakses oleh generasi muda saat ini. Oleh sebab itu, pentingnya literasi digital dan pemahaman agama yang moderat harus terus ditekankan untuk mencegah regenerasi kelompok teror.
Kisah Mohammad Jibril Abdul Rahman mencerminkan kompleksitas deradikalisasi dan reintegrasi eks napiter di Indonesia. Meski telah melalui proses hukum dan deradikalisasi, tantangan yang dihadapi eks napiter dalam membangun kembali hidup mereka sangatlah besar. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi eks napiter agar mereka dapat berkontribusi positif, sehingga siklus radikalisasi dapat diputus dan ancaman terorisme dapat diminimalisir di masa depan.
Kini, dengan peran barunya sebagai pengusaha dan warga masyarakat, Mohammad Jibril Abdul Rahman diharapkan dapat menjadi contoh bagi eks napiter lainnya bahwa ada jalan keluar dari dunia terorisme. Proses transformasi dan reintegrasi yang berhasil tidak hanya bergantung pada individu tersebut, tetapi juga pada dukungan dari pemerintah dan masyarakat untuk membantu mereka benar-benar meninggalkan masa lalu kelam mereka.[] Shallallahu ala Muhammad.