29.1 C
Jakarta

Menutup Ruang Dosen HTI di Kampus

Artikel Trending

KhazanahTelaahMenutup Ruang Dosen HTI di Kampus
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Dalam sebuah diskusi panjang bersama seorang dosen, saya menyimak sebuah topik obrolan yang cukup menarik terkait recruitment dosen yang erat kaitannya dengan latar belakang calon dosen yang ternyata adalah HTI. Barangkali, si fulan (red:calon dosen) tidak secara gamblang menyebut bahwa dirinya adalah aktivis HTI yang menyuarakan pemerintahan Islam di Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan hasil interview yang sudah dilaksanakan, memang betul bahwa fulan adalah aktivis khilafah tulen yang sampai hari ini, masih aktif menyuarakan khilafah di kehidupannya untuk mengajak orang secara langsung, ataupun kampanye di media sosial, seperti akun media sosial pribadinya.

Kebijakan kampus untuk menutup ruang bagi calon dosen yang memiliki latar belakang sebagai aktivis khilafah/HTI atau sejenisnya, adalah otoritas pihak kampus agar paham radikal tidak menyebar. Namun, penolakan terhadap calon pengajar

Keberadaan dosen HTI pada tatanan kampus dan mengajar merupakan satu dari sekian upaya konkrit untuk menutup ruang penyebaran HTI di kampus. Apabila penolakan semacam ini terus menjadi budaya kampus, bisakah radikalisme benar-benar mati? Tentu tidak.

Berdasarkan Ridlwan Habib, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, mahasiswa sangat rentan terpapar radikalise karena, posisi mahasiswa masih dalam taraf pencarian paradigma dalam memahami agama. Sementara itu, kurikulum pendidikan tinggi, belum mengakomodir pencarian tersebut sehingga, paham keagamaan yang menyerukan pada ajaran khilafah, menyebarkan kebaikan untuk negara serta ajaran agama lain, mampu menjawab kebutuhan mahasiswa yang sedang melakukan proses pemcarian tersebut.

Tranformasi Keilmuan Dilakukan oleh Dosen

Ada banyak penolakan dari berbagai pihak terkait kebijakan kampus yang tidak memberikan ruang bagi seseorang untuk mengajar di kampus karena aliran keagamaan yang dimiliki. Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa kampus tidak memiliki nilai toleransi terhadap wacana keagamaan yang berkembang di kampus sebagai budaya akademik. HTI, Salafi bahkan Wahabi merupakan aliran keagamaan, di mana hanya sampai pada wacana dan paham semata. Eksistensi mereka, harus diakui sebagai keberagaman yang dimiliki dalam konteks keagamaan yang berkembang di Indonesia. Jika kampus dimaknai sebagai ruang kebebasan akademik dan mempertemukan segala keilmuan untuk mengasah kemampuan agar masyarakat di dalamnya bisa berpikir terbuka, penolakan terhadap dosen HTI, adalah sebuah kesalahan akademik. Karena itu artinya, kampus tidak terbuka terhadap perbedaan yang ada.

BACA JUGA  Tips Agar Tidak Terjebak pada Propaganda Khilafah

Di satu sisi, kelompok yang setuju untuk menutup rapat-rapat ruang terhadap seseorang yang memiliki ajaran keagamaan bertentangan dengan NKRI, berpendapat bahwa hal itu adalah upaya yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan NKRI. Di saat pemerintah berupaya untuk menghempas aliran-aliran keagamaan yang bertentangan, bukankah sudah kewajiban kampus untuk bersinergi dengan pemerintah agar tujuan besarnya bisa tercapai? Adakah cara lain selain upaya tersebut yang bisa dilakukan oleh kampus?

Peran dosen di kampus sebagai mitra pelajar bagi mahasiswa menduduki posisi yang sangat sentral. Ada transformasi ilmu, pengetahuan dan pengalaman bersama mahasiswa yang akan dilakukan secara sustainable. Aliran keagaman yang dimiliki oleh dosen akan berpengaruh terhadap pola pembelajaran yang dilakukan, termasuk bisa dimanfaatkan untuk melakukan kaderisasi demi regenerasi terhadap ideologinya. Sampi disini, bukankah kita sudah memiliki kesimpulan bahwa, menutup ruang bagi dosen HTI berarti memutus rantai proses regenerasi organisasi radikal ini?

Meskipun demikian, upaya yang dilakukan oleh kampus nyatanya tidak seberapa. Sebab jika dibandingkan dengan transformasi informasi melalui media sosial, tidak bisa dihindari oleh kampus. Mahasiswa bisa mengakses segala kegiatan dan ideologi apapun di media sosial, termasuk narasi keagamaan yang diproduksi oleh aktivis khilafah dengan militansinya yang kuat dan semangat yang membara.

Di samping itu, mahasiswa dengan independensi keilmuan dimiliki, ketika sudah terpapar oleh radikalisme, ekstremisme, yang didapatkan melalui bahan bacaan, baik dari media sosial ataupun forum yang lain, akan mengajak mahasiswa lain untuk mengikuti forum yang diyakini. Mahasiswa secara independen bisa memilih aliran keagamaan apa yang ingin diikuti sesuai dengan minat pribadinya. Tentu, aliran keagamaan yang dirasa sebagai ruang untuk menjadi lebih baik dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. menjadi pilihan yang tepat disaat mengalami kehampaan spiritual dalam diri.

Dengan membaca berbagai fenomena di atas, kebijakan kampus dalam menutup ruang terhadap aktivis khilafah untuk menjadi pengajar, adalah langkah yang tepat untuk memutus rantai penyebarasn radikalisme di kampus. Meskipun penyebaran tersebut bisa terjadi di mana saja, namun upaya terhadap pencegahan dan deteksi dini terus dilakukan oleh kampus dalam mendukung upaya pemerintah dan menjaga NKRI. Wallahu A’lam.

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru