27.3 C
Jakarta
Array

‘Menghamba’ Kepada Kepentingan Peserta didik yang Merdeka (Refleksi Hari Pendidikan Nasional)

Artikel Trending

‘Menghamba’ Kepada Kepentingan Peserta didik yang Merdeka (Refleksi Hari Pendidikan Nasional)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

 

 

 

“Berikan tempat pada raganya, tetapi tidak untuk jiwanya

Sebab jiwa mereka penghuni masa depan yang tidak dapat

kau kunjungi, bahkan tidak dalam mimpimu”

Kahlil Gibran, Anakmu Bukanlah Milikmu

Beberapa bulan yang lalu, ada seorang wali murid yang bertemu untuk mengemukakan perihal kepindahan anaknya dari jurusan Ilmu-ilmu Sosial (IIS) ke Matematika dan Ilmu Alam (MIA). Ibu dari anak itu ingin menjadikan anaknya sebagai pegawai di salah satu perusahaan mekanik terbesar di Jepang mengikuti pamannya yang setiap bulannya bisa mendapatkan gaji yang besar, dan jaminan kendaraan dari perusahaan secara cuma-cuma. Itulah kiranya alasan mengapa perpindahan itu ia lakukan. Raut muka anak itu ketika berada di ruang tamu, tidak menghadap ke siapapun yang ada di ruangan. Hanya satu hal yang ia lakukan sambil mendengarkan kami berbincang, membentuk jemari tangannya seperti kepiting sungai, yang kemudian dilepas, lalu dibentuk seperti itu lagi secara berulang-ulang.

Cerita di atas adalah sebuah gambaran betapa masih dominannya peran orang tua dalam mengubah seorang anak menjadi cita-cita orang tuanya. Memang, anak lahir lewat orang tua, tetapi apakah mereka sepenuhnya milik mereka? Ingat, anak hanya titipan. Seperti halnya orang menitipkan barang, barang itu tidak mempunyai hak kepemilikan sepenuhnya pada orang yang dititipkan. Itu berarti anak bukan milik orang tua sepenuhnya.

Indonesia merupakan bangsa yang besar, baik dari segi geografis, penduduk, suku, budaya, alam, dan sebagainya. Jumlah penduduk yang berjumlah 261,1 juta jiwa, dibarengi dengan luas wilayah 1,905 juta km², tentu perlu adanya keseimbangan dalam pengelolaan antara sumber daya manusia dengan sumber daya alam yang begitu melimpah. Keseimbangan tersebut dapat diwujudkan melalui pendidikan.

Pendidikan merupakan faktor penting dalam kemajuan negara. Namun sayangnya, masyarakat dan pemerintah belum sepenuhnya sadar dengan penerapannya. Masyarakat Indonesia masih terngiang oleh model pendidikan kolonial yang hanya memeras keringat rakyat untuk kepentingan sepihak dan sesaat. Akhirnya, pandangan masyarakat Indonesia selalu ‘menghamba’ kepada perintah. Padahal, Indonesia adalah bangsa dengan sejarah yang besar. Kebesaran sejarah itu lenyap oleh kependudukan pemerintah kolonial yang membuat strata sosial dan lapisan-lapisan masyarakat semakin tebal.

Berbicara pendidikan tidak terlepas dari bagaimana memosisikan anak sebagai peserta didik yang menjadi skala prioritas utama tujuan pendidikan nasional. Dari tiga undang-undang yang mengatur tentang pendidikan, yaitu UU No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ketiga-tiganya mempunyai esensi yang sama yaitu membentuk manusia yang cakap dan warga negara yang demokratis. Bagaimana menerapkannya? Penerapan itu dapat dimulai dengan melihat fokus pendidikan secara berkelanjutan.

Fokus pendidikan adalah anak manusia. Ada beberapa perspektif mengenai hakikat anak dalam proses pendidikan. Ada yang mengatakan bahwa anak telah membawa berbagai disposisi sejak lahir, di mana anak telah dilahirkan dengan berbagai kemampuan yang diperolehnya dari Sang Pencipta, sehingga tugas pendidikan adalah tinggal mengasah berbagai disposisi yang dimiliki anak atau peserta didik. Pendapat lain mengemukakan bahwa anak dilahirkan sebagai kertas kosong yang dapat ditulisi sekehendak pemiliknya. Dari dua pendapat kontras itu, muncul tokoh William Stern dengan teori konvergensinya yang menyatakan bahwa anak dilahirkan dengan berbagai kemampuan dan dengan kemampuan yang berbeda-beda dapat dikembangkan dengan pengalaman empiris yang berbeda-beda pula.

Dari hakikat anak yang mempunyai berbagai kemampuan dan dapat dikembangkan itu, muncul pengertian bahwa pada dasarnya anak bersifat merdeka. Teori konvensional yang mangatakan bahwa peserta didik adalah gelas kosong yang perlu diisi penuh itu sudah usang. Jean-Jacques Rousseau adalah salah satu tokoh yang mengungkapkan bahwa peserta didik mempunyai kebebasan sendiri. Pandangan ini lantas mengubah proses pendidikan serta menempatkan peserta didik di dalam kemerdekaannya untuk berkembang. Perkembangannya diawali pada permulaan abad ke-20 dengan tokoh pendidik seperti John Dewey, dengan pembelajaran proyek dan belajar memecahkan masalah.

Guru Besar Emeritus H.A.R Tilaar dalam karyanya Pedagogik Teoritis untuk Indonesia memberikan sebuah ilustrasi tentang kemerdekaan seorang manusia dan seekor binatang. Manusia dengan seekor binatang ketika dilahirkan menurutnya pada hakikatnya sama, yaitu dalam keadaan yang tidak berdaya dan ketergantungan hidupnya dari sang ibu. Bayi yang dilahirkan tergantung sepenuhnya dari kasih ibu baik secara biologis maupun secara psikis. Ketergantungan biologis serta psikis dari seorang anak manusia akan semakin mengecil. Namun kedua jenis ketergantungan itu akan diambil alih oleh kemerdekaan yang membawa kepada keberadaan anak yang semakin dapat berdiri sendiri. Berbeda dengan dunia binatang di mana kemerdekaan hanya sampai kepada kemerdekaan biologis, bagi anak manusia, kemerdekaan psikis akan semakin dominan menguasai kehidupan. Proses ke arah kemerdekaan psikis sepenuhnya bagi anak manusia tergantung kepada bimbingan orang dewasa di dalam berbagai pusat pendidikan sehingga menjadi manusia dewasa yang merdeka sepenuhnya.

Makna kemerdekaan yang dimiliki oleh peserta didik bukanlah kemerdekaan tanpa batas. Bahkan sebaliknya, kemerdekaan mengaplikasikan batas yang ditentukan oleh pilihan yang diambil. Oleh sebab itu, kemerdekaan yang dimiliki oleh anak manusia adalah kemerdekaan untuk memilih, bukan kemerdekaan dari segala-galanya. Tentunya kebebasan memilih itu disertai dengan rasa tanggung jawab yang tinggi.

Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan yang dibarengi dengan nilai-nilai kearifan lokal untuk menjalankan ketertiban dalam hidup bersama. Di Indonesia, kemerdekaan itu dimaknai dengan kemerdekaan yang dibatasi oleh kepentingan atau sikap hidup gotong royong sebagai pedoman hidup bersama. Pertanyaan selanjuntya, lantas, siapa saja yang perlu memahami bahwa peserta didik adalah makhluk yang merdeka?

Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Seperti halnya yang tertera dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang membahas mengenai Pancapusat Pendidikan di Indonesia. Di dalam Pancapusat itu ada lima elemen yang menjadi pusat pendidikan yang dimulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, negara, dan global. Kelima pusat itu sepenuhnya menjadi elemen dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Semua komponen itu, menggunakan bahasa H.A.R. Tilaar, perlu ‘menghamba’ kepada kepentingan peserta didik yang merdeka.

Pusat pendidikan pertama adalah keluarga. Dalam hal ini, keluarga dan masyarakat perlu disandingkan karena mempunyai esensi tugas yang sama. Tugas utama keluarga tercantum pada pasal 10 ayat 4 yaitu memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan. Masyarakat pun sama dalam tugas pokoknya. Hal itu karena Indonesia adalah bangsa yang bineka serta berdasarkan pancasila. Tugas lembaga pendidikan dalam pembentukan nilai-nilai agama dari peserta didik itu terbatas dibandingkan dengan tugas keluarga dan masyarakat di dalam pembinaan agama dari anak.

Pusat pendidikan selanjutnya yaitu sekolah. Pada bagian ini, penulis hanya ingin memaparkan peranan guru sebagai faktor paling penting dalam membina peserta didik. Dalam mengawal kemerdekaannya, kita dapat belajar dari Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara tentang Sistem Among dalam mengasah kesadaran untuk kemerdekaan. Dalam sistem Among, ada tiga pembagian spesifik mengenai anak dan pengambilan posisi yang tepat oleh seorang guru. Pertama, pada masa kanak-kanak, yaitu umur 1-7 tahun. Pada masa ini guru menjalankan peran Momong.  Ki Hajar berpendapat bahwa pada masa kanak-kanak, guru bertugas merawat dengan tulus dan kasih sayang serta mentranformasi kebiasaan-kebiasaan yang baik disertai dengan doa dan harapan agar kelak menjadi anak yang baik dan di jalan kebenaran. Tahap ini menempatkan guru berada pada posisi di depan di mana guru secara penuh menjadi sosok yang diikuti oleh peserta didik.

Kedua, pada masa Pertumbuhan Jiwa dan Pikiran, yaitu 7-14 tahun. Pada masa ini guru menjalankan peran Among. Dalam tahap ini, guru memberikan contoh tentang baik buruk tanpa harus mengambil hak anak agar ia bisa tumbuh dan berkembang dalam suasana batin yang merdeka sesuai dengan dasarnya. Tahap ini menempatkan guru berada pada posisi di samping yang mendampingi seorang anak dalam menjalani proses kedewasaannya.

Ketiga, fase Terbentuknya Budi Pekerti dan Kesadaran Sosial, yaitu 14-21 tahun. Pada fase ini, guru berperan Ngemong. Maknanya yaitu proses untuk mengamati, merawat, dan menjaga agar anak mampu mengembangkan dirinya, bertanggung jawab, dan disiplin berdasar nilai-nilai yang telah diperolehnya sesuai kodratnya. Tahap ini menempatkan guru berada pada posisi di belakang di mana berfungsi sebagai motivator dan mengawasi anak itu.

Mengenai negara, hal ini tertera dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang mengemukakan bahwa dasar-dasar pendidikan nasional, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, fenomena yang muncul akhir-akhir ini adalah pemahaman agama yang dibenturkan dengan ideologi negara. Kedaulatan keluarga dan masyarakat dalam membina kemerdekaan anak, seringkali disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu dalam membina nilai agama yang keliru. Toleransi yang menjadi dasar hidup bersama di negara yang bineka ini, malah dilupakan. Dalam hal ini, peran serta keluarga dan masyarakat serta sekolah sangat penting dalam menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara dengan prinsip gotong royong.

Pusat pendidikan terakhir yaitu global. Global perlu diimbangi dengan TriKon yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu Kontinuiteit, yaitu dalam pertukaran dengan dunia luar harus tidak terputus dengan alam kebudayaannya sendiri. Konvergensi, yaitu bila kita sudah bersatu dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada dalam alam universal maka kita bersama mewujudkan persatuan dunia. Konsentris, yaitu bertitik pusat dengan alam-alam kebudayaan sedunia tetapi masih tetap memiliki garis lingkarang sendiri-sendiri. Ketiga Kon ini dikenal sebagai kodrat zaman yang mampu bersanding dengan dunia internasional tanpa mengesampingkan kearifan lokal.

Pada akhirnya, menghormati akan prinsip kemerdekaan yang dimiliki oleh anak atau peserta didik, itu berarti menghormati kebebasan yang dimiliki anak sesuai dengan tingkat perkembangan psikisnya. Hal itu berarti perkembangan anak tidak didikte atas dasar keinginan orang tua, lembaga, negara, masyarakat, maupun dunia. Anak manusia yang terlahir sebagai peserta didik di bangku sekolah bersifat merdeka. Dengan kemerdekaannya, ia mampu memahami batasan-batasan yang kelak menjadi pilihannya saat dewasa. Tentunya dengan prinsip gotong royong dan mengamalkan pancasila, serta UUD 1945.

Wallahu’alam.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru