33.2 C
Jakarta
Array

Mengenal Lebih Dalam Perbuatan Syirik

Artikel Trending

Mengenal Lebih Dalam Perbuatan Syirik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Suatu ketika penulis belajar ilmu tasawuf bersama KH Ali Abdillah, beliau menerangkan bahwa apabila sholat kita untuk meminta rizki atau meminta keselamatan, maka bagi orang khowas hal ini termasuk perbuatan syirik khofi, atau syirik yang paling ringan. Karena pada hakekatnya sholat itu ditujukan hanya kepada Allah, bukan untuk selain Allah.

Mendengarkan keterangan yang demikian membuat hati penulis tersentak, karena penulis merasa bahwa ibadah yang dilakukan selama ini masih tertuju untuk untuk hal-hal yang remeh-temeh seperti meminta rizki, akan tetapi belom sepenuihnya tertuju kepada Allah. Maka dari itu sangatlah penting untuk mempelajari syirik lebih dalam.

Menurut Ibn Mandzūr, syirik adalah menyekutukan Allah dalam hal ketuhanan, yakni menuhankan zat lain selain Allah, padahal tidak ada yang mampu menyamai Allah Swt.

Sedangkan menurut Ibn ʽAsyur (w. 1393 H), syirik adalah menyekutukan Allah dengan hal lain dalam perkara ketuhanan dan ibadah.

Ibn Mandzur menambahkan dengan mengutip kaul Abu al-ʽAbbas, bahwa syirik bukan berarti hanya menyembah selain Allah dan meninggalkan Allah. Yang dimaksud syirik adalah menyembah Allah dan sesembahan lain selain Allah. Atau dalam bahasa lain, menduakan Allah.

Hal ini bisa dilihat dari firman Allah SWT dalam Qs. Al-Anʽam ayat 82:

الذين ءامنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman.”

Ketika ayat ini disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada para sahabat, mereka heran. Mereka merasa bahwa mereka tidak bisa terlepas dari perilaku zalim. Mendengar hal itu, kemudian Rasul mengatakan, “tidak itu, yang dimaksud zalim dalam ayat ini adalah sebagaimana pesan Luqman kepada putranya, Inna al-Syirka la dzulmun ʽadzīm (Qs. Luqman: 13), yaitu syirik.” 

Dari hubungan kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa syirik bukanlah berpaling dari Allah menuju tuhan lain selain Allah, melainkan menduakan Allah atau menganggap zat lain sama dan memiliki persamaan dengan Allah.

Dalam al-Quran, kata syirik dan derivasinya ditemukan sebanyak 168 kata dengan 63 kata yang berbeda.  Namun tidak semua derivasi kata syirik tersebut menjelaskan syirik sebagaimana yang dimaksud dalam definisi di atas. Al-Raghib al-Asfahānī hanya menyebutkan 11 ayat yang berkaitan dengan syirik kepada Allah dan membaginya menjadi dua bagian:

Pertama, ayat-ayat yang menjelaskan syirik besar (al-Syirk al-adhim), seperti Qs. Al-Nisā’: 48 dan 116, Qs. Al-Maidah: 72, Qs. Al-Mumtahanah: 12, dan Qs. Al-Anʽam: 148.

 Kedua, ayat-ayat yang menjelaskan syirik kecil: Qs. Al-A’raf: 190, Qs. Yūsuf: 106, Qs. Al-Kahf: 110, Qs. Al-Taubah: 5 dan 30, dan Qs. Al-Ḥāj: 17. (Lihat: Al-Rāghīb al-Asfahānī, Mufradāt Alfādz al-Qurʽān, (Beirut: al-Dār al-Syamiyyah, 2009 M), h. 452-453.)

Dari 10 ayat tentang syirik di atas, menunjukkan bahwa syirik dalam al-Quran selalu berkaitan dengan tiga hal.

Pertama, kafir. Yakni tidak menyembah Allah Swt dan berislam, melainkan beragama Yahudi, Nasrani dan agama-agama lain di luar Islam, sebagaimana tercantum dalam Qs. Al-Hajj: 17, al-Taubah: 5, al-Anʽam: 148, dan al-Maidah: 172. Walaupun demikian kategori pertama ini tidak bisa serta merta diperangi, kecuali kafir yang memerangi muslim terlebih dahulu.

Kedua, menyekutukan Allah Swt. atau menyembah, meminta dan menghamba kepada hal lain selain Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Nisa’: 48 dan 116, dan Qs. Al-Mumtahanah: 12.

Ketiga, riya’ dalam beribadah. Yakni beribadah tidak semata-mata diniatkan karena Allah Swt. melainkan karena orang lain. Syirik ini disebut oleh Rasul sebagai syirik kecil, yakni syirik yang bisa terjadi ke semua muslim. Sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Kahf: 110.

Keempat, terlena dengan nikmat yang diberikan oleh Allah Swt dan lupa bersyukur kepada Allah Swt. Sebagaimana kisah Nabi Adam dan Hawa yang memiliki putra namun lupa bersyukur, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-A’raf: 190. Juga lupa kepada Allah saat bahagia, dan baru ingat kepada Allah saat sengsara, sebagaimana disebutkan dalam Qs. Yūsuf: 106. Wallahu A’lam.

[zombify_post]

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru