30.9 C
Jakarta

Membangun Masyarakat Wasatiah yang Anti-Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMembangun Masyarakat Wasatiah yang Anti-Radikalisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Indonesia dengan kemajemukannya terdiri dari suku, ras, budaya dan agama yang beragam. Latar belakang yang heterogen tersebut menjadi kekayaan budaya tersendiri yang tidak banyak dimiliki oleh negara lain.

Di sisi lain, tingkat keragaman yang dimiliki menjadi tantangan dalam menata tatanan sosial masyarakat untuk tetap hidup berdampingan dengan damai. Kehidupan sosial yang harmonis menjadi hal mendasar yang perlu diwujudkan bersama.

Harmonisasi dalam keberagaman dapat dicapai dengan adanya toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Di samping itu, pemerintah juga harus menjamin keadilan dan kebebasan berpendapat setiap warga negara tanpa membedakan latar belakang agama, ras, suku dan budaya.

Dalam perwujudan harmonisasi di Indonesia masih perlu diberi perhatian khusus. Sebab dalam proses berjalannya masih banyak terjadi konflik antar kehidupan beragama ataupun persinggungan-persinggungan ras, suku dan budaya. Bahkan tidak jarang terjadi perang antarsaudara yang menimbulkan perpecahan kelompok.

Hal tersebut disebabkan oleh fanatisme dari pemeluk agama tertentu yang menginginkan adanya agamaisasi negara. Islam adalah identitas atau agama yang paling banyak ditemui dalam kasus tersebut. Tindakan fanatisme tersebut dikenal dengan istilah radikalisme. Dimana kelompok tertentu memaksakan kehendaknya terhadap kelompok lain dengan metode kekerasan.

Radikalisme Islam disebut juga sebagai sikap keagamaan yang menginginkan perubahan secara drastis dengan menghalalkan berbagai metode atas nama jihad. Dalam sejarah perkembangan Islam, fenomena radikalisme mulai berkembang setelah Nabi Muhammad saw wafat. Adanya pergantian khalifah sampai pada permusuhan Ali dan Muawiyah yang menjadi dinamika dalam proses berlangsungnya perpolitikan dalam Islam.

Dari permusuhan tersebut, kemudian melahirkan pertentangan dari sebagian kelompok yang menamakan dirinya Khawarij. Kelompok Khawarij memandang konflik antara Ali dan Muawiyah sebagai dosa besar dan beranggapan bahwa darah mereka halal untuk dibunuh.

Di Indonesia sendiri, gerakan radikalisme lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspansi budaya Barat yang dipandang dapat merusak tatanan nilai Islam. Perlawanan tersebut kemudian melahirkan identitas baru dalam Islam yang berkembang begitu pesat berdasarkan latar belakang budaya masing-masing.

Dalam catatan sejarah, radikalisme di Indonesia mulai terlihat secara jelas pasca kemerdekaan dengan munculnya gerakan Darul Islam (DI) pada tahun 1950-an yang dipimpin oleh Kartosoewirjo.

Gerakan DI selanjutnya dapat dipatahkan oleh pemerintah Indonesia. Meski demikian gerakan ini tidak benar-benar hilang karena masih terdapat aktivis gerakan yang tidak tertangkap yang selanjutnya menjadi embrio gerakan radikalisme di Indonesia.

Radikalisme terus bertransformasi dari masa ke masa untuk mewujudkan tujuannya dalam membangun negara Islam. Dalam kondisi keterbukaan dan arus informasi yang mengalir begitu cepat, memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi kaum radikal sehingga semakin sulit untuk diidentifikasi.

BACA JUGA  Refleksi Idulfitri: Membangun Jembatan Toleransi dan Menolak Paham Ekstrem

Gerakan radikal yang berkembang hadir di ruang-ruang publik tidak hanya melalui aksi pemberontakan secara terang-terangan sebagaimana awal kemunculannya, namun kini bergerak melalui pemanfaatan jaringan elektronik dengan melakukan propaganda media.

Eksistensi radikalisme tentunya menjadi momok yang cukup meresahkan dalam konstruk sosial masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Melihat perkembangan radikalisme yang telah menjelma menjadi sebuah paradigma, maka diperlukan upaya sistematis dan kolektif untuk menghentikan gerakan radikal ini. Upaya sistematis yang paling rasional untuk dilakukan adalah dengan mengubah paradigma radikalisme menjadi paradigma yang lebih moderat—paradigma wasatiah.

Paradigma wasatiah merupakan cara pandang yang memposisikan diri di antara kaum beragama dan kehidupan bernegara. Abd. Malik Usman menerangkan bahwa kata al-wasathiyah sendiri diambil dari istilah wasatha, wustha yang bermakna tengah, dan menjadi istilah wasith-alwasith artinya penengah.

Quraish Shihab juga menerangkan dalam Tafsir Al-Mishbah bahwa umat Islam dijadikan sebagai ummatan wasathan adalah moderat dan teladan. Sehingga dengan demikian keberadaan umat Islam dalam posisi pertengahan tersebut, sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada di pertengahan juga. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak sehingga manusia mampu berlaku adil.

Pewacanaan paradigma wasatiah setidaknya menjadi hal mendasar yang harus dilakukan dalam mengikis paradigma radikalisme dan perlahan membawa ke arah paradigma yang lebih moderat. Sesuai dengan pengertian wasatiah yang berada di tengah atau penengah.

Tapi untuk sampai pada pewacanaan paradigma wasatiah sebagai paradigma yang relevan dalam konstruk sosial masyarakat bernegara secara masif, diperlukan gerakan kolektif dari setiap elemen masyarakat yang ada tanpa membebankan sepenuhnya perihal radikalisme kepada pemerintah.

Pewacanaan paradigma wasatiah adalah upaya yang menyasar akar masalah radikalisme di Indonesia. Sehingga akan lebih efektif jika dibandingkan dengan upaya pencegahan semata. Karena upaya pencegahan hanya akan menunda tindakan-tindkan radikal terjadi dan tidak menyeslesaikan akar masalahnya, sehingga sangat rawan terjadi tindakan radikal ketika upaya pencegahan melemah.

Penyebaran wacana dapat dilakukan melalui media, basis pendidikan dan penyebaran melalui pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat di masing-masing wilayah. Dengan terdistribusinya paradigma wasatiah secara merata, kontruk sosial masyarakat yang anti terhadap radikalisme dengan menggunakan prinsip tauhid akan dicapai. Meski membutuhkan waktu yang panjang, hal tersebut dapat dicapai dengan ikhtiar bersama.

Asriandi Pari
Asriandi Pari
Mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru