32.9 C
Jakarta

KUPI, Penerus Estafet Perjuangan Ulama Perempuan

Artikel Trending

KhazanahPerempuanKUPI, Penerus Estafet Perjuangan Ulama Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam produksi pengetahuan, sejarah Islam mencatat bagaimana begitu banyak Muslimah belajar, mengajar, dan menyebarkan ilmu di berbagai bidang. Sayangnya, keistimewaan ini justru semakin meredup akibat goncangan sosial politik yang menerpa peradaban umat dari masa ke masa.

Akhirnya, dalam beberapa dekade terakhir, kontribusi para ulama perempuan banyak direduksi dan tak tercatat. Padahal, keberadaan dan kehadiran mereka merupakan rahmat bagi semesta alam. Sebab, mereka tak hanya mengemban misi para Rasul untuk membela kaum lemah, mereka juga menebarkan dakwah Islam yang mengayomi, tanpa kekerasan.

Dinamika Gerakan Ulama Perempuan Indonesia

Di Indonesia, para perempuan solehah tersebut bahkan tidak hanya berdakwah ke sesama umat Muslim saja. Torehan jasa para ulama perempuan Indonesia sejatinya malah melampaui garis batas identitas. Jika menilik sejarah Republik Indonesia, kita akan dibuat tercengang bahwa perjuangan mereka bahkan sampai mengorbankan jiwa raga. Sebut saja, bagaimana Cut Nyak Dien hingga Nyai Ageng Serang bergerak melawan penjajah, bukan perang kata-kata, tapi angkat senjata!

Dalam konteks Islam Nusantara, eksistensi ulama perempuan Indonesia juga merupakan implementasi nilai-nilai Islam yang inklusif, toleran, dan berkeadilan. Lihat saja bagaimana ulama perempuan seperti Rahmah El Yunusiah dari Sumatera Barat yang memperjuangkan idealismenya sepanjang hayat.

Bisa dikatakan, Rahmah adalah simbol perlawanan perempuan zaman dulu. Ia dengan gagah berani menentang dua aral melintang sekaligus: pertama, ia melawan kolonialisme yang membatasi pendidikan kaum bumi putera dari golongan cacah dan kepada perempuan, selanjutnya, ia melakukan perlawanan terhadap pembatasan sepihak yang diterapkan kaum feodal/adat yang membatasi mereka, kaum ekonomi menengah ke bawah (Ismed Natsir, Prisma 1990).

Selain Rahmah El Yunusiah, dari masa ke masa hingga era reformasi, lahir semakin banyak ulama perempuan yang secara konsisten meneruskan estafet dakwah di bumi nusantara. Sayangnya, kiprah mereka hanya sedikit yang terekam dalam buku atau catatan media lainnya.

Di lingkup pesantren, terkadang hasil karya ulama perempuan tak dicatut atas namanya sendiri, tapi meminjam nama saudara atau kerabatnya yang laki-laki. Sehingga, torehan publikasi mereka amatlah terbatas jika dibandingkan kompatriotnya yang laki-laki.

Gerakan Perempuan Lintas Iman untuk Keadilan Gender

Persoalan kiprah ulama perempuan yang kurang diakui ternyata bukan problematika Muslimah semata. Dalam konteks kalangan umat beragama lainnya, pemuka agama Kristen hingga Hindu pun menghadapi masalah sama. Namun itu semua tak membuat para perempuan lintas iman ini menyerah.

BACA JUGA  Fenomena Fatherless dan Ketangguhan Survive Perempuan

Pada awal tahun 1970, komunitas perempuan Yahudi membentuk “Ezrat Nashim” sebagai awal pergerakan untuk mendorong perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam memimpin komunitas mereka. Harapannya, isu-isu perempuan akan dibicarakan dalam mimbar dakwah dan kehadiran pemuka agama perempuan diakui.

Selain komunitas Yahudi, golongan Sikh pun tak mau kalah. Lewat Sikh Feminist Research Institute, umat Sikh berusaha untuk mengadakan riset intensif untuk mendalami isu-isu perempuan dan mencari solusi untuk meminimalisir dampak negatifnya. Agamawan perempuan didorong untuk berkontribusi aktif dalam mendekatkan nilai-nilai agama sebagai kunci menghadapi permasalahan masyarakat saat ini.

Di Indonesia, gerakan perempuan muslimah sudah lama diinisiasi. Nyai Ahmad Dahlan jauh-jauh hari telah mendirikan Aisyiyah dan merintis “Sopo Tresno” untuk memajukan tingkat literasi perempuan. Selain Aisyiyah, organisasi perempuan berbasis nilai-nilai Islami di Nusantara dari hari ke hari kian menjamur. Mereka bergerak dalam sunyi, meski derap kebaikannya berderu luas ke seantero negeri.

Yang terkini, ulama perempuan kita menginisiasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang pada tahun 2017 lalu diadakan di Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon. Kongres tersebut ingin menegaskan betapa pentingnya posisi ulama perempuan dalam kehidupan umat dengan segala hiruk pikuknya.

KUPI pertama yang dihadiri lebih dari 500 orang yang tidak hanya dari Indonesia saja, tetapi juga 15 negara lainnya dari seluruh benua ini, memperlihatkan bagaimana pemuka agama perempuan terus bergerak dan bersuara untuk menyuarakan keadilan gender. Selain ulama perempuan dalam negeri, hadir pula ulama perempuan dunia, di antaranya Mossarat Qadeem (Pakistan), Zainah Anwar (Malaysia), Hatoon Al-Fasi (Arab Saudi), Sureya Roble-Hersi (Kenya), Fatima Akilu (Nigeria), dan Roya Rahmani (the Ambassador of Afghanistan in Indonesia).

Berselang lima tahun, kini KUPI II telah hadir kembali di tempat berbeda. Berlokasi di Bangsri, Jepara, KUPI masih meneguhkan misinya untuk membangun pengetahuan bersama tentang keulamaan perempuan dan terus berkontribusi bagi kemajuan perempuan dan peradaban umat manusia.

Selain juga telah merumuskan fatwa dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu kontemporer dalam perspektif Islam rahmatan lil alamin, tujuan mulia KUPI tadi tentu masih sejalan dengan jalan dakwah perempuan ulama di masa lampau yang berjuang membuka ruang bagi terpenuhinya hak-hak Muslimah dan kaum-kaum yang terpinggirkan.

Hasna Azmi Fadhilah
Hasna Azmi Fadhilah
Belajar dan mengajar tentang isu-isu sosial politik, juga tertarik akan kajian gender dan Islam. Bisa dihubungi melalui Twitter @sidhila.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru