Harakatuna.com – Bayangkan, hari ini di sudut-sudut tak terlihat, kelompok teroris sedang berkumpul dalam pertemuan rahasia. Jauh dari jangkauan aparat. Tak terendus pemerintah, karena tak terafiliasi dengan kelompok teror semacam JI yang baru bubar kemarin di Solo. Hari Natal sudah berlalu, euforia berlanjut ke Tahun Baru. Jerman sudah diserang, sebelumnya. Di dunia teroris, ini adalah waktu yang penuh makna berbeda; momentum untuk menebarkan ketakutan.
Keberadaan terorisme memang sangat tak terduga. Tahun 2000, tepat malam Natal, adalah salah satu malam paling menakutkan dalam sejarah. Bom meledak di sejumlah gereja di berbagai daerah. Terornya sistematis dan terencana dengan rapi, jauh dari dugaan masyarakat dan aparat. Meski situasi saat ini jauh lebih baik, perayaan Nataru tetap jadi titik rawan. Pemerintah, seperti di berita-berita, telah melakukan operasi pengamanan. Namun, apakah Anda merasa aman?
Teroris tidak bodoh. Mereka sangat cerdas dalam merencanakan serangan, bahkan dalam kondisi yang tampaknya terkendali oleh aparat. Seperti yang terlihat pada peristiwa bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar pada Desember 2022 silam, ancaman tetap ada meski kita merasa tak ada apa-apa di sekitar. Ada satu fakta penting: teroris tidak ingin masyarakat merasa terancam—mereka justru ingin masyarakat merasa aman dan lengah. Kelalaian masyarakat itulah peluang mereka.
Ingat, bagi kaum teroris, Natal dan Tahun Baru bukanlah perayaan kebahagiaan, melainkan hari-hari yang dirayakan oleh kaum kafir, yang patut mendapat ancaman dan ketakutan. Dari keyakinan tersebut, teror akan terus mengancam. Di daerah-daerah dengan mayoritas Muslim, seperti di Madura, bahkan beredar wacana bahwa perayaan Natal dan Tahun Baru adalah bagian dari agenda Kristenisasi—sesuatu yang amat tak disukai para teroris.
Kostum Sinterklas dan terompet yang biasa digunakan dalam perayaan dianggap sebagai simbol tersembunyi misi agama lain: Kristen. Masyarakat yang terjebak dalam pandangan keislaman yang eksklusif jelas sangat menolak segala bentuk perayaan semacam itu. Euforia Natal dianggap sebagai bagian dari ancaman terhadap identitas Islam, dan begitu juga dengan keceriaan menjelang Tahun Baru. Karena itulah, jangan terlalu bereuforia hingga lupa keamanan!
Ancaman Tanpa Batas
Di Indonesia, situasi semakin diperburuk dengan semakin populernya Wahabisme. Wahabisme, yang menganggap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran mereka sebagai bid’ah atau bahkan kekafiran, menjadikan Nataru sasaran utama. Bagi kelompok-kelompok ini, Nataru mesti dihadapi dengan keteguhan iman dan kewaspadaan terhadap non-Islam. Mereka yakin, setiap hal yang menyimpang dari ajaran Islam yang mereka anut adalah ancaman yang perlu dihadapi dan diserang.
Artinya, dengan semakin masifnya radikalisasi, ancaman terorisme Nataru semakin nyata. Tanpa monitoring yang ketat sejak beberapa hari lalu, bisa saja gereja-gereja di daerah minoritas Indonesia sudah menjadi sasaran empuk aksi teror. Selain itu, jika tidak ada langkah-langkah proaktif, tidak ada yang bisa menjamin bahwa serangan teror tidak akan terjadi—meskipun alhamdulillah aman. Namun, hal-ihwal ancaman, apakah merasa aman itu cukup?
Di sini hendak ditegaskan satu fakta penting: ancaman terorisme belum selesai. Nataru boleh jadi tak semenakutkan tahun 2000, tetapi bukan berarti kita bisa lengah total. Kewaspadaan mesti terus dijaga. Operasi Lilin yang melibatkan ribuan personel keamanan boleh jadi berhasil meredam serangan, tetapi itu tidak menjamin terorisme sepenuhnya punah. Kita harus ingat, para teroris memiliki kemampuan beradaptasi dan menemukan celah untuk mengelabui sistem keamanan.
Karena itu, masyarakat perlu terus waspada. Kita tidak cukup hanya mengandalkan aparat. Kewaspadaan kita sebagai individu dan kolektif sangat penting menghadapi ancaman terorisme Nataru. Jangan biarkan perasaan aman yang semu membawa kita pada kelalaian. Dalam menghadapi Tahun Baru, kita harus ingat, ketakutan yang mereka tebarkan adalah senjata terkuat yang teroris miliki. Mereka ingin kita takut, mereka ingin kita lengah. Maka, jangan beri mereka kesempatan!
Natal Aman, Bagaimana dengan Tahun Baru?
Euforia Natal sudah berlalu. Gereja-gereja di seluruh dunia telah dipenuhi umat Kristiani yang merayakan kelahiran Sang Juru Selamat. Keamanan yang ketat, pengamanan oleh ribuan petugas, serta kehadiran aparat yang sigap berhasil menjaga kedamaian pada momen yang selalu ditunggu-tunggu umat Kristiani itu. Namun, begitu meredupnya lampu pohon Natal, kita harus bertanya pada diri sendiri: bagaimana dengan Tahun Baru? Apakah kita telah benar-benar aman?
Sejenak kita melupakan keramaian, pesta, dan lonceng yang berdentang. Ketika perayaan Natal telah selesai, Tahun Baru segera menggantikan sorakan sukacita. Namun di balik itu semua, ada satu hal yang tak pernah beranjak: ancaman terorisme. Ketika hiruk-pikuk perayaan Tahun Baru membuat orang merasa tenang dan terlena, teroris justru bersembunyi di balik kebahagiaan itu, menunggu celah menebarkan ketakutan lewat bom-bomnya.
Apa yang harus kita lakukan sekarang? Waspada. Itu bukan kata-kata klise. Waspada tidak saja soal menjaga diri sendiri, tetapi juga menjaga lingkungan sekitar. Natal aman, tapi Tahun Baru? Tidak boleh lengah. Meskipun pengamanan yang ketat telah dilakukan, ancaman terorisme tidak hanya datang dari luar, tetapi bisa juga muncul dari dalam. Terorisme bukan soal bom dan senjata saja, tapi juga soal pemikiran—menyusup dalam benak masyarakat melalui radikalisasi.
Perubahan pola serangan dan metode yang digunakan teroris semakin canggih. Mereka menyerang dengan cara yang super halus: provokasi ideologis. Propaganda terorisme menyelinap tanpa terdeteksi lewat dunia maya untuk menebarkan kebencian sesama warga NKRI. Maka, kewaspadaan kolektif tak mesti terfokus pada keramaian fisik semata, tapi juga pada ruang-ruang digital yang semakin sulit dikendalikan.
Bersama, kita lebih kuat. Tahun Baru adalah waktu memulai lembaran baru. Kita perlu merayakan kebersamaan dan resolusi menuju 2025. Namun, mari lakukan itu dengan kesadaran penuh bahwa ancaman terorisme selalu ada di sekitar. Keamanan adalah soal pengamanan fisik sekaligus kemanusiaan, kebersamaan, dan saling menghormati. Natal mungkin aman, tapi Tahun Baru? Kita harus tetap waspada. Jaga diri, jaga bersama.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…