30.1 C
Jakarta

Ekstremisme Bukan Ajaran Islam

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuEkstremisme Bukan Ajaran Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Berislam Secara Kaffah, Penulis: Sarjoko S., Penerbit: IRCiSoD, Cetakan: Februari 2023, Tebal: 178 Halaman, ISBN: 978-623-5348-38-4, Peresensi: Sam Edy Yuswanto.

Harakatuna.com – Ekstremisme bukan termasuk ajaran Islam. Bahkan saya yakin tidak diajarkan pula dalam agama-agama selain Islam. Sayangnya perilaku-perilaku esktrem saat ini begitu mudah ditemukan pada para penganut agama, khususnya mereka yang baru belajar tentang hukum-hukum agama.

Mereka, dengan begitu gampangnya menuduh sesama Muslim sebagai pelaku bidah, bahkan menganggap kafir, hanya gara-gara berbeda pemahaman dalam persoalan hukum agama. Bahkan, mereka berani menghardik para ulama yang selama ini dikenal memiliki keluasan beragam ilmu pengetahuan.

Ekstremisme jelas berbahaya dan harus selalu kita waspadai. Ekstremisme, sebagaimana diungkap Hidayat Fathoni Amrullah, M.M. adalah paham/keyakinan yang sangat kuat terhadap suatu pandangan yang melampaui batas kewajaran dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Umumnya, ekstremisme ini ditunjukkan dengan keadaan atau tindakan menganut paham ekstrem berdasarkan pandangan agama, politik, dan sebagainya.

Menurut Lenny Hidayat, Ssos, MPP, ekstremisme merupakan ladang subur berkembangnya benih-benih aksi kekerasan dan atau terorisme yang sekarang bukan lagi merambah orang dewasa namun telah melibatkan generasi harapan bangsa, anak-anak kita yang tercinta.

Beberapa pakar pendidikan dan psikolog keluarga memaparkan indikasi ekstremisme ini terjadi sejak seseorang mulai menutup dirinya untuk menerima perbedaan cara berpikir dan budaya, merasa keyakinannya superior, lebih murni dan mengajak orang lain untuk memiliki cara berpikir yang sama dengan dirinya dengan berbagai macam cara, dari yang persuasif hingga paksaan, intimidasi, group atau social bullying dan bentuk lainnya.

Dalam buku Berislam Secara Kaffah Sarjoko S. menjelaskan bahwa persekusi, pengusiran, diskriminasi, hingga pembunuhan merupakan tindakan ekstrem yang tidak dapat dibenarkan. Agama mana pun, apalagi Islam, tidak pernah mengajarkan orang untuk berperilaku ekstrem. Sebab, Islam memiliki konsep universalitas di mana semua makhluk hidup adalah ciptaan Allah Swt. yang harus dirawat dan dijaga. Bukankah menghina ciptaan Allah Swt. juga merupakan bentuk penghinaan terhadap-Nya?

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karenanya, bila ada orang Islam yang tidak memiliki rasa toleransi yang tinggi dalam menjalankan syariat, jelas dia belum memahami dengan baik ajaran Islam sesungguhnya. Atau bisa jadi dia keliru dalam memilih guru yang menjadi panutan.

BACA JUGA  Felix Siauw dan Propaganda Khilafah di Indonesia

Sebagaimana telah kita maklumi bersama, saat ini ada begitu banyak guru agama yang begitu keras dalam memahami ajaran agama, sehingga terkesan ajaran Islam begitu menakutkan. Parahnya bila pemahaman agama yang begitu keras dan ekstrem ini diajarkan kepada anak-anak muda generasi bangsa. Sikap ekstrem inilah yang melahirkan perilaku yang membahayakan bagi umat manusia di muka bumi ini.

Misalnya munculnya kaum radikal yang gemar melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Oleh karenanya, kita harus berusaha mewaspadai munculnya kaum radikalisme di sekitar kita. Salah satu ciri orang yang terpapar pemahaman radikal ialah ketika dia tidak mau menerima perbedaan pendapat ulama. Dia menganggap pendapatnya sendirilah yang paling benar dan harus diikuti.

Menurut Muhammad Syamsudin, sejauh ini, para pakar terorisme memahami bahwa akar dari radikalisme adalah pemahaman tertutup (eksklusivisme) terhadap beberapa teks-teks keagamaan. Ciri dari kelompok ini biasanya adalah ketidakmauan untuk mendengar pendapat orang lain yang mungkin memiliki pemahaman berbeda. Sejak lama, Imam al-Ghazali mengingatkan bahaya dari model pemahaman ini.

Beliau menyampaikan bahwa paham tertutup muncul akibat kekaguman seorang individu dengan pendapatnya sendiri yang sebenarnya salah (al-ujb bi al-ra’yi al-khata). Model pemahaman seperti ini pula yang menyebabkan umat-umat terdahulu terpecah-pecah menjadi beberapa golongan.

Menjaga citra Islam agar tetap pada kemuliaannya adalah menjadi PR bersama. Jangan sampai citra Islam menjadi buruk hanya gara-gara ulah sekelompok orang yang begitu ekstrem dalam beragama. Menurut Sarjoko, buruknya citra Islam dan istilah-istilah di dalamnya dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya labelisasi selingkung atau istilah-istilah khas, seperti jihad, hijrah, dan lain-lain pada aktivitas-aktivitas yang bukan islami.

Sebagai contoh adalah terorisme. Media-media sering menggunakan istilah ‘jihad’ ini untuk melabeli aksi teror. Para pelakunya disebut ‘jihadis’. Makanya, saat ini, banyak orang parno dengan kata ‘jihad’ dan ‘jihadis’. Padahal, kata ‘jihad’ memiliki makna yang sangat mulia. Jihad sama sekali tidak terkait terorisme karena puncak jihad, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., adalah melawan hawa nafsu.

Buku kumpulan esai karya Sarjoko S. dengan tema yang cukup beragam ini menarik disimak. Pemahaman keagaaman penulis yang cukup bijak dan toleran dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bersama, khususnya bagi kaum muda, agar jangan mudah terpengaruh oleh orang-orang yang memiliki pemahaman ‘keliru’ dan ekstrem dalam persoalan atau hukum-hukum agama.

Sam Edy Yuswanto
Sam Edy Yuswanto
Bermukim di Kebumen, tulisannya dalam berbagai genre tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, Kompas Anak, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru