29.7 C
Jakarta

Dibutuhkan Akal Sehat dalam Beragama 

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuDibutuhkan Akal Sehat dalam Beragama 
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Berislam dengan Akal Sehat, Penulis: Edi AH Iyubenu, Penerbit: Diva Press, Cetakan: I, April 2019, Tebal: 352 halaman, ISBN: 978-602-391-958-1.

“Dibutuhkan akal sehat dalam memahami ajaran agama Islam”. Inilah pesan penting yang dapat dipetik dalam buku karya Edi AH Iyubenu, terbitan Diva Press Yogyakarta. Selain akal sehat juga dibutuhkan keilmuan yang sangat luas dalam memahami ajaran Islam yang sumber utamanya ialah Al-Qur’an dan hadis. Salah satu ilmu yang dibutuhkan untuk menafsirkan sumber hukum Islam ialah Ushul Fiqh. Tanpa keilmuan yang luas, tentu akan sangat sulit bagi kita untuk memahami beragam hukum Islam (dengan bijaksana dan adil) yang masih membutuhkan banyak penafsiran.

Kita tentu sepakat bahwa syariat Islam merupakan solusi bagi setiap persoalan hidup manusia. K.H. Husein Muhammad, dalam kata pengantar buku ini, mengatakan, “Agama adalah cahaya, ruh, spirit dan api yang harus menjadi sumber kekuatan yang mampu mencerdaskan, mencerahkan, menggerakkan, dan memberdayakan manusia. Agama harus memberikan jalan keluar bagi problematika dan kesulitan hidup manusia. Seluruh gerakan sosial keagamaan harus diarahkan untuk terciptanya kehidupan yang berkeadilan, demokratis, jujur, dan menghargai martabat manusia”.

Dalam buku ini, Edi AH Iyubenu berpendapat, sebab asali bagi majemuknya penafsiran, penakwilan, dan pemahaman umat Islam terhadap dua sumber utama  hukum Islam, Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, ialah karakter dasar keduanya yang lebih dominan bercorak mujmal (global) ketimbang mufashshal (detail). Karakter asali mujmal ini bukan hanya dalam hal jumlah ayatnya, tetapi juga mafhum mukhalafah-nya, yakni penyimpulan-penyimpulan hukum darinya. Inilah yang dalam kajian Ushul Fiqh disebut zhanniyah dalalah: pelingkupan dan pengarasan hukumnya yang bercorak moral-etis, bukan detail-juknis.

Maka, tak berlebihan kiranya bila ada yang menyebut kerasulan Nabi Muhammad Saw selain untuk menegakkan keimanan kepada Allah Swt, juga merupakan peletak fondasi moral etis kemanusiaan. Penyebutan ini menisbatkan makna bahwa bangunan suatu hukum Islam tak seyogianya hanya selalu dipahami berhenti pada derajat “hukum perse”, artinya hitam-putih saja, halal-haram saja, pahala-dosa saja; melainkan mesti melingkupi asas-asas moral etis kemanusiaan (hlm. 95).

Selanjutnya, perihal perbedaan para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis nabi. Sama sekali bukan untuk diperselisihkan, diributkan, apalagi sampai membuat kita saling sibuk merasa benar sendiri dan menyalahkan sebagian pendapat ulama yang berseberangan dengan kita. Yang paling parah (yang terjadi selama ini) ialah sebagian orang dengan semena-mena menuduh kafir terhadap sesama muslim hanya gara-gara berbeda pendapat.

BACA JUGA  Menelaah Isu Khilafah dari Kacamata Sosial-Politik Indonesia

Perlu digarisbawahi di sini bahwa perbedaan pendapat para ulama (dalam menetapkan suatu hukum) itu merupakan sebuah bentuk rahmat atau kasih sayang-Nya yang mestinya akan semakin membuat kehidupan ini menjadi lebih berwarna dan lebih banyak memberikan solusi terhadap persoalan kemanusiaan yang makin ke sini kian beragam bentuknya.

Merasa paling benar sendiri dalam beragama tentu merupakan tindakan yang sangat fatal. Biasanya ini terjadi pada mereka, orang-orang yang hanya memahami ayat-ayat atau dalil-dali berdasarkan teks semata, tanpa diiringi akal sehat dan keilmuan yang luas. Hal ini kian diperparah dengan keterlibatan orang-orang awam yang menjadi pengikut mereka.

Di berbagai media sosial yang kita saksikan selama ini misalnya, banyak keterlibatan orang-orang awam dalam menge-share ayat-ayat yang masih butuh penafsiran luas. Mereka hanya memahami sebatas teks akan tetapi dengan begitu berani dan jumawanya mengeluarkan fatwa dan mengatakan pendapatnya sendiri yang paling benar.

Menurut Edi AH Iyubenu, jika awam sok-sok melakukannya, dengan berbekal bunyi teks ayat semata, tanpa kenal metode-metode Ushul Fiqh, juga ilmu-ilmu humaniora lainnya, bakal sempit dan ruwetlah penyimpulan hukumnya. Semakin banyak awam yang memaksakan diri terlibat, makin riuhlah keadaan kita. Ini terlihat belakangan ini, di sosial media, makin banyak saja orang anonim yang mengeluarkan fatwa hukum Islam sesukanya hingga memicu ketegangan antarumat Islam sendiri (hlm. 100).

Buku ini sangat bagus dijadikan sebagai salah satu sumber referensi bacaan yang mencerahkan bagi umat Islam, khususnya para generasi muda, agar selalu mengedepankan akal sehat dalam beragama dan ekstra hati-hati dalam memilih guru atau utsadz. Melalui buku ini pula, penulis mengajak para pembaca untuk terus belajar bersama agar makin tumbuh sikap rasional kritis dalam menjalankan kehidupan berislam kita di tengah kemajemukannya yang mutlak sunatullah. Melalui sikap rasional kritis inilah, kita akan lebih mudah menjembarkan (meluaskan) hati dan akal di hadapan ikhtilaf dan kemajemukan apa saja (dari hukum sampai iman), sekaligus terselamatkan dari berbagai propaganda tipu daya politisasi Islam hingga komodifikasi syariat.

Sam Edy Yuswanto
Sam Edy Yuswanto
Bermukim di Kebumen, tulisannya dalam berbagai genre tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, Kompas Anak, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru