26.2 C
Jakarta

Budaya Patriarki dan Terlibatnya Perempuan dalam Aksi Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerempuanBudaya Patriarki dan Terlibatnya Perempuan dalam Aksi Terorisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam catatan sejarah terjadinya terorisme di Indonesia seringkali melibatkan peran para perempuan di dalamnya. Deretan nama perempuan yang pernah melakukan aksi terorisme di antaranya Putri Munawwaroh, Inggrid Wahyu, Munfiatun, Rasidah binti Subari, Ruqayah binti Husen Lecano, Deni Carmelit, Rosmawati, dan Arina Rahma.

Tidak hanya berhenti sampai di situ, nama perempuan kembali bermunculan di dalam aksinya melakukan tindakan teroris. Seperti pada penghujung tahun 2016 dengan ditangkapnya seorang perempuan bernama Dian Yulia Novi pelaku bom panci di Bekasi. Ada juga Ika Puspita Sari di Purworejo pelaku bom bunuh diri di luar Jawa, Umi Delima istri teroris Santosos di Poso, Zakiah Aini pelaku penyerangan ke Mabes Polri, Jakarta Selatan pada tahun 2021, dan masih banyak lagi.

Kasus terorisme yang baru saja terjadi juga melibatkan seorang perempuan yang bernama Siti Elina. Sebagaimana diketahui bahwa Siti Elina telah melakukan penerobosan kawasan Istana Negara, Jakarta, pada tanggal 25 Oktober 2022 kemarin. Tujuannya adalah untuk bertemu dengan Presiden Jokowi, ia ingin menyampaikan bahwa ideologi bangsa Indonesia selama ini adalah salah, seharusnya menggunakan ideologi Islam bukan ideologi Pancasila.

Ia masuk Istana Negara dengan membawa sebuah senjata api yang ditodongkan ke arah Paspampres yang berjaga di depan Istana Negara. Siti Elina diketahui masih memilik hubungan dengan organsisai yang sudah dilarang oleh pemerintah Indonesia, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Negara Islam Indonesia (NII).

Pada dasarnya para perempuan yang malakukan tindakan seperti ini merupakan korban dari pihak-pihak yang memiliki rencana keji dan sistematis untuk tujuan terorisme. Para perempuan seringkali dipandang sebagai kelompok yang rentan dan tidak berdaya. Hal ini merupakan budaya Patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat.

Budaya Patriarki memberikan legitimasi laki-laki untuk menguasai struktur sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik. Sedangkan perempuan dipandang sebagai rendah, manusia kelas dua yang harus diatur, dikendalikan, bahkan bisa sampai dieksploitasi dan diskriminalisasi.

Budaya Patriarki juga sering kali dibungkus di dalam bingkai agama. Perempuan sebagai seorang istri di dalam teks agama harus tunduk dan patuh sepenuhnya terhadap suami, dia tidak boleh keluar rumah ketika tidak mendapatkan izin dari suaminya, serta harus menuruti apa saja yang menjadi kemauan suaminya.

BACA JUGA  Merekonstruksi Mitologi Adam-Hawa: Reinterpretasi Diri sebagai Perempuan

Pemahaman seperti itu seringkali diterima oleh para perempuan dari suami, guru maupun orang-orang yang berada di sekitarnya. Pada kasus tindakan penerobosan Siti Elina ini juga melibatkan adanya faktor pengaruh dari suami maupun gurunya. Siti Elina sebagai perempuan yang dianggap lemah telah menerima doktrin dari suami maupun gurunya tersebut.

Ia patuh sepenuhnya terhadap suaminya apapun bentuknya itu. Patuh terhadap suami memang menjadi suatu kewajiban bagi seorang istri berdasarkan aturan syariat agama Islam. Namun makna patuh terhadap suami juga perlu digaris-bawahi yaitu selama tidak melanggar syariat Islam.

Ketika suami, guru maupun orang-orang di sekitarnya telah melakukan aksi terorisme, maka si perempuan juga memiliki hak dan kewajiban untuk menentangnya. Tindakan terorisme merupakan perilaku kekerasan serta pembunuhan, apapun bentuk kekerasan itu, agama Islam telah melarangnya.

Islam sebenarnya memiliki pandangan tentang perempuan secara adil. Mereka memiliki kebebasan sekaligus bertanggung-jawab atas problem-problem sosial, agama, ekonomi, pendidikan, budaya, politik, dan lain sebagainya. Para perempuan di dalam Al-Qur’an dituntut untuk bekerja sama dengan suaminya dalam menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kerjasama antar suami dan istri tanpa adanya deskriminasi yaitu

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. [At-Taubah:71]

Ayat di atas menunjukan bahwa pasangan suami-istri yang beriman harus saling menyeru dalam kebaikan serta mencegah kemungkaran. Mengajak untuk melakukan aksi terorisme merupakan sebuah tindakan kemungkaran, serta melukai nilai kemanusian. Sebab agama Islam sendiri tidak mengajarkan tentang terorisme.

Islam adalah agama yang penuh rahmat kasih sayang. Bukan agama yang marah-marah serta melakukan kekerasan. Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan yang sangat baik untuk kita semua dalam berdakwah menyebarkan agama Islam.

Ni’amul Qohar
Ni’amul Qohar
Santri Pondok Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru