30.1 C
Jakarta

Tadarus Khilafah, Radikalisasi di Bulan Suci

Artikel Trending

Milenial IslamTadarus Khilafah, Radikalisasi di Bulan Suci
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Siapa yang tidak mengenal tadarus, tradisi khas di bulan Ramadhan? Tentu, semua umat Islam mengenalnya. Namun, bagaimana jika tadarusnya bukan al-Qur’an, melainkan kajian-kajian yang tujuan utamanya adalah radikalisasi? Anda boleh tidak setuju dengan term ‘radikalisasi’ di sini. Tetapi bisa direnungkan, kalau bukan bertujuan mendoktrin radikal, apa faedahnya tadarus khilafah?

Pada Ahad (3/5) kemarin, di kanal YouTube ‘Dakwah Jateng’, digelar kajian bertajuk “Mempersiapkan Peradaban Baru Pasca Pandemi COVID-19” yang dipandu oleh Aab Elkarimi. Beberapa tokoh HTI jadi pemateri. Juru Bicara HTI Ismail Yusanto, Suteki, Choerul Anam, Addin al-Fatih, dan Aries Indrianto. Perihal kenapa kajian tersebut digelar, tidak pernah jauh dari agenda terselubung  aktivis HTI itu sendiri.

Kata ‘peradaban baru’, dalam tema kajian tersebut, adalah kamuflase. Tidak ada peradaban lain yang dimaksud, kecuali seperti saat Islam berjaya di masa lalu. Juga tidak ada bahan menuju peradaban tersebut, menurut para dedengkot HTI itu, kecuali mendirikan khilafah. Setelah pandemi berakhir, mereka berutopia mengganti Pancasila dengan khilafah. Khilafah lagi, khilafah terus.

Jika kajian tersebut bersifat insidental, maka sebenarnya para aktivis HTI sudah siap mencekoki kita dengan kajian harian. Kajian Online Stay & Work at Home bersama Khilafah Channel tersedia secara live, setiap jam 13.30 WIB. Ustaznya itu-itu saja. Ismail Yusanto adalah andalannya. Di bulan Ramadhan ini, para dedengkot HTI memang sedang gencar melakukan tadarus khilafah.

Radikalisasi di bulan suci menemukan momentum tersendiri, setelah masyarakat dihimbau pemerintah untuk #StayAtHome, #DiRumahSaja, selama masa Corona. Para aktivis khilafah menyadari betul, satu-satunya kegiatan rutin masyarakat di rumah adalah beraktivitas secara daring/online. Tadarus pun digelar—tadarus yang esensinya untuk menghancurkan NKRI.

Jika Quraish Shihab, musanif Tafsir Al-Mishbah, melalui kanal YouTube ‘Naja Shihab’, menguraikan tadarus sebagai sesuatu yang penting, maka tadarus dimaksud adalah memahami al-Qur’an. Lain halnya dengan tadarus khilafah di sini. Dilakukan berulang-ulang, sampai orang terjerumus doktrin khilafah HTI. Jelas, tadarus jenis ini hukumnya haram, karena mencederai Negara dan Pancasila.

Indoktrinasi Memanfaatkan Pandemi

Sudah dua bulan lebih Corona menggerogoti Indonesia. Secara serentak, konsep diskusi publik dan semua kegiatan sosial juga mengikuti arus; dilakukan secara online. Jika berlangsung lama, jelas kegiatan online ini tak lagi sekadar menjadi alternatif, melainkan prioritas. Corona benar-benar mengubah konstruksi sosial masyarakat. Tetapi di situlah, momentumnya.

Para aktivis khilafah menyadari, radikalisasi secara online harus dijadikan prioritas pula. Yang dibutuhkan mereka hanya mengembangkan, meningkatkan jam terbang kajian, karena memang sejak sebelum Corona mewabah basis dakwah mereka adalah menggunakan media sosial. Maka tidak heran, dari tingkat keberhasilan dakwah, para kaum radikal mendominasi kaum moderat.

Khilafah adalah kata kunci, substansi dari setiap program yang digelar. Apalagi kajian Mukadimah dan Dustur yang digelar setiap Selasa, kajian Fokus setiap Senin, Sirah Nabawiyah setiap Kamis, bahkan kajian Tarikh al-Khulafa’ yang digelar setiap Ahad pun diorientasikan untuk merongrong kepercayaan masyarakat dengan sistem Pancasila. Pembahasannya subjektif dan manipulatif.

Tarikh al-Khulafa’ misalnya, jika kajiannya presisi, dan tak berkepentingan apapun, justru akan meruntuhkan narasi khilafah itu sendiri, dan akan membungkam hujah para dedengkot khilafah. Tetapi karena si pengampu tadarus khilafah ini hanya ingin menggaungkan khilafah, maka karya as-Suyuthi tersebut justru dijadikan literatur memperkuat medan perjuangan mereka.

BACA JUGA  Jalan Licik HTI Harus Segera Dilenyapkan di Bumi Indonesia

Dengan penjadwalan yang padat, dalam sebulan saja, selama Ramadhan, tadarus khilafah ini akan mendulang kesuksesan dalam melakukan indoktrinasi. Masyarakat tak disuguhi kajian para ulama NU, Muhammadiyah, atau pun para dai moderat, sebab dinding YouTube disesaki kajian khilafah para dedengkot radikalisme. Pandemi Corona, dengan demikian, menjadi sumber keberhasilan dakwah mereka.

Memanfaatkan sistem daring/online sebenarnya boleh-boleh saja. Sebagai negara demokrasi, semua pendapat bisa diutarakan. Tetapi jika pendapat tersebut mengandung indoktrinasi, itu artinya memanfaatkan demokrasi untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, tidak berlebihan untuk mengatakan, tadarus mereka justru tidak bisa dibiarkan.

Apakah harus dilarang? Tidak juga. Cukup tidak perlu diikuti. Radikalisasi di bulan Ramadhan justru merenggut kesuciannya. Tadarus yang benar adalah tadarus al-Qur’an, bukan khilafah.

Radikalisasi Ramadhan

Yang namanya radikalisasi, sejujurnya bisa berlangsung kapan saja. Namun demikian, di bulan Ramadhan, bulan di mana tadarus menjadi amal tambahan, dan di tengah Corona, masa di mana kegiatan online menjadi keharusan, tadarus khilafah memiliki tingkat efektivitas yang melebihi biasanya. Justru karena efektivitas tersebut, kegiatannya bersifat riskan.

Ramadhan seharusnya dijadikan meomentum menyemai persatuan, bukan malah memantik perpecahan. Ini bukan lagi sekadar perang ideologi belaka, melainkan adu tanam pengaruh di masyarakat heterogen. Pasti ada yang setuju, juga tak sedikit yang kontra. Tetapi bagi mereka yang awam, bukan mustahil akan menganggap tadarus khilafah sebagai upaya meningkatkan ketakwaan.

Padahal tidak. Sama sekali tidak. Tidak ada ketakwaan yang berpotensi memecahkan, kecuali jika ketakwaan tersebut manipulatif, tidak benar-benar takwa, melainkan agenda politik kekuasaan yang dibalut dengan narasi keislaman. Bagi kita yang paham agenda terselubung tersebut, tadarus khilafah mungkin tak berdampak apa-apa.

Tetapi, bagaimana dengan nasib orang awam yang ingin meningkatkan keimanan di bulan Ramadhan?  Bukankah tingkat potensi keterpengaruhan mereka tinggi? Maka dari itu, dengan segala cara, efektivitas radikalisasi di bulan Ramadhan ini harus diminimalisir. Caranya adalah dengan menggelar kajian tandingan yang tak kalah masif, untuk membendung propaganda khilafah.

Khilafah adalah murni soal politik kekuasaan, yang membahasnya, saking banyaknya, dan sudah berulang-ulang, menjadi sesuatu yang menjengkelkan. Bukan karena ketidakpedulian untuk membendung radikalisme, tetapi karena kebebalan para aktivis radikal itu sendiri. Tadarus khilafah juga tidak akan membawa pada kebaikan, justru mengundang kemudaratan.

Kemudaratan tersebut ialah, dan tidak lain: potensi hancurnya persatuan, dan gugatan masyarakat terhadap sistem politik di Indonesia. Bayangkan saja jika dalam sehari tadarus khilafah ini memengaruhi sepuluh orang saja, berapa akan diperoleh selama Ramadhan? Mungkin angkanya tiga ratus orang akan terpengaruh.

Sekarang kita tanya, jika tiga ratus orang tersebut punya keluarga, masing-masing empat orang misalnya, sekeluarga. Tidak sedikit setelah Ramadhan masyarakat akan berbondong-bondong jadi radikal, ketularan tadarus para dedengkot khilafah. Radikalisasi di bulan suci harus dikebiri.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru