27.9 C
Jakarta

Perjalanan Metafora  “Kadrun” yang Memecah Belah

Artikel Trending

KhazanahTelaahPerjalanan Metafora  “Kadrun” yang Memecah Belah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Masih ingat Istilah “kadrun” menjadi ramai diperbincangkan sejak tahun 2019 silam. Istilah itu muncul setelah istilah cebong kampret yang ramai pada saat pemilu beberapa tahun silam. Istilah tersebut mulanya diduga merujuk pada sebuah ideom “kadal gurun” yang digunakan oleh para PKI di masa silam.

Sebutan tersebut diberikan oleh PKI kepada umat Islam, Hal itu juga menjadi sebuah sebutan rasis dan perlawanan yang menuduh bahwa agama Islam adalah agama orang Arab yang tidak pantas hidup di Indonesia. Meski demikian, istilah tersebut nyatanya tidak benar dalam sebuah artikel Detik yang berjudul “Debat Istilah “Kadrun”, bikinan PKI atau semata “Kadal Gurun” pada 10 Juni 2020.

Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bahwa istilah Kadrun baru muncul setelah Pilkada DKI 2012 hingga Pilpres 2019. Anggapan bahwa istilah Kadrun muncul dari PKI sama sekali tidak benar, bahkan sampai sejauh ini istilah kadrun masih terus digunakan, terus menjadi stigma negatif. Pemakaian kata “Kadrun” ini semakin hari mengalami perjalanan yang panjang, ia menjelma sebagai sebuah sebutan yang rasis, kemudian merujuk pada kelompok tertentu sebagai sebuah frame negatif yang melekat pada  orang-orang tertentu.

Istilah “Kadrun” Semakin Berkembang

Ramai di Twitter dengan tagar #TangkapRaffidanAhok menjadi trending. Banyak narasi yang muncul ketika kedua tokoh tersebut yakni Raffi Ahmad dan Basuki Tjahaja Purnama terbukti menghadiri acara ulang tahun Ricardo Gelael tanpa mengindahkan protokol kesehatan pada Rabu (13/1) malam.

Apa yang membuat ramai dari kejadian ini? Lagi-lagi muncul dari simpatisan FPI yang berdalih bahwa apa yang dilakukan oleh Raffi dan Ahok seharusnya sama diperlakukan seperti HRS yang kini mendekam di tahanan sebagai tersangka. Banyak sekali akun-akun anonim yang turut andil memberikan komentar akan kejadian tersebut, mulai dari sebutan kampret, kecebong, kadrun hingga alasan bahwa sosok raffi dan Ahok bukan oposisi terus berseliweran di dunia maya.

BACA JUGA  Pesan untuk Anak Muda: Tren Kampanye Tiktok Perlu Disikapi dengan Kritis

Bahkan kehadiran buzzer dalam perdemokrasian di Indonesia turut menjadi keprihatinan yang begitu mendalam. Pasalnya, kehadiran buzzer ini tidak lain untuk menambah kegaduhan akan isu yang berkembang. Dari pihak pendukung HRS, akun-akun buzzer terus menyerang dengan dalih bhawa pihak opisisi akan diberlakukan secara ganas, pemerintah tebang pilih dalam memberlakukan hukuman, pun sebaliknya akun buzzer yang melawan juga turut memberikan narasi perlawanan yang berbeda.

Istilah kadrun dalam perkembangannya hari ini justru menjadi stigma negatif yang melekat kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka (red: kelompok FPI). Ini menjadi sangat tidak apik ketika semua hal yang berhubungan dengan kebenaran, menganggap kelompoknyalah paling benar, dengan alasan apapun tidak bisa diterima kemudian mengklaim paling benar. Apalagi dukungan para elit politik yang berada di tatanan pemerintah, menjadi dua kelompok yang saring adu serang dengan alasan kebenaran yang diyakininya.

Apalagi, lebih jauh istilah ini akan memecah belah bangsa melalui perang media sosial yang tidak berkesudahan, saling adu antar sesama dengan narasi-narasi klaim kebenaran yang dimiliki. Pun demikian adanya, kita tidak menghindari kejadian tersebut seiring dengan berkembangnya teknologi, akses untuk menulis, berekspresi nyatanya tidak bisa dibendung oleh orang lain.

Kita bisa menelaaah berbagai hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran agar tidak turut memberikan komentar-komentar negatif seperti yang lain, sehingga terus terjado “proxy war” yang tidak berkesudahan.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru