Harakatuna.com – Wacana dan perdebatan ihwal demokrasi bukan hal yang baru. Puluhan tahun perdebatan tersebut mengemuka dan tidak sampai pada titik kulminasi. Masing-masing pendukung mempunyai argumentasi tersendiri terkait problem tersebut.
Biasanya perdebatan ini akan berakhir pada konklusi hukum mendirikan negara Islam. Bagi para penentang demokrasi, mendirikan negara Islam adalah wajib. Sementara pihak yang pro tidak memberikan peluang berdirinya negara Islam.
Kendati sangat klasik, hemat saya penting untuk mengemukakan kembali perdebatan sengit itu. Ini dimaksudkan agar kita memahami argumentasi masing-masing pihak. Bahkan, kalau tidak sukar, dapat mematahkan argumentasi barisan para penentang.
Dengan begini pula kita tidak terburu-buru sampai pada kesimpulan. Musabab relasi antara Islam dan demokrasi terlalu komprehensif, maka tidak layak disederhanakan. Hingga detik ini ada tiga perspektif tatkala membincang relasi demokrasi dan Islam.
Keselarasan antara Islam dan demokrasi diajukan dengan argumentasi bahwa spirit demokrasi senyawa dengan spirit Islam. Fahmi Huwaidi adalah salah satu sarjana yang mengelaborasi hal tersebut dengan bersandar pada hadis yang menganjurkan pemerintahan disetujui rakyat.
Sarjana lain yang lebih tegas menolak konsep teokrasi—yang biasa dikonfrontasikan dengan demokrasi—adalah Said al-Ashmawy dan Farag Fouda. Nama yang pertama ini meyakini bahwa konsep politik bukan sesuatu yang inhern dan terungkap secara definitif dalam Islam [Muhammad Taufik & Ardilla Abu, 2020].
Perspektif yang konon berada di tengah melahirkan pentolan bernama Abu A’la al-Maududi. Barisan ini mengakui bahwa ruh demokrasi dapat ditemui di dalam Islam. Umpama ruh demokrasi yang menuntut adanya persamaan seluruh manusia yang dianggap selaras dengan QS. 49:13.
Hanya saja barisan ini tetap juga kokoh mengklaim bahwa ada titik-titik diferensial. Secara spesifik pada bagian kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat. Menurut barisan ini bahwa kedaulatan rakyat dibatasi oleh hukum Ilahi. Barangkali itulah yang mengilhami Maududi mengusung konsep teodemokrasi.
Terakhir adalah golongan yang secara konsisten menolak demokrasi. Barisan yang lantang menyuarakan tegaknya negara Islam. Kelompok ini yang akan kita singkap argumentasinya dan dilihat apakah hal tersebut menyentuh titik substansial atau tidak. Salah satu argumentasinya bahwa hukum yang absah hanya hukum Tuhan, sementara demokrasi meniscayakan hukum buatan manusia.
Padahal di dalam proses legislasi tidak dibutuhkan campur tangan manusia, sebab hukum Tuhan sudah sempurna. Argumentasi pasaran lainnya tidak lain bahwa demokrasi berasal dari Barat dan bukan dari Islam.
Mengenai argumentasi terakhir ini, menarik jika kita meminjam pisau analisisnya John L Esposito. Menurutnya, kelompok ini tidak menolak demokrasi secara esensial. Penolakan tersebut terpantik dari sikap antiimprealisme mereka. Implikasi logisnya, segala sesuatu yang datang dari Barat(baca: penjajah) secara otomatis tertolak. Dengan begitu argumentasi yang tersisa adalah argumentasi pertama bahwa hukum hanya dari Tuhan, bukan manusia.
Hukum Tuhan yang Mana?
Apa yang dimaksud hukum Tuhan oleh kelompok ini saya kira adalah ‘pemahaman terhadap hukum Tuhan’. Sebab, hukum Tuhan sebagaimana tertuang dalam korpus-Nya, al-Qur’an, meniscayakan pembacaan beragam. Dengan begitu yang dimaksud hukum Tuhan di situ adalah pemahaman mereka atau orang-orang di barisan mereka terhadap hukum Tuhan.
Ketidakjelasan hukum Tuhan mana yang mereka maksud, apakah yang tertuang dalam al-Quran, atau fikih ulama klasik (?) Kalau yang tertuang dalam al-Qur’an, ujungnya nanti berimplikasi pada keberagaman kesimpulan hukum, tentu tidak akan satu arah. Penting diingat, dalam menggali hukum tatkala berbeda pendekatan maka berbeda kesimpulan.
Kalau yang mereka maksud sebagai hukum Tuhan adalah produk fikih ulama klasik, maka hal ini bisa diperdebatkan kembali. Fikih adalah produk pemikiran dan sebuah negosiasi dengan realitas historis dan sosiologis tertentu. Dengan pijakan seperti ini fikih terlihat lebih dinamis dan berubah sesuai kondisi.
Namun rasa-rasanya hukum Tuhan yang dimaksud di sini adalah merujuk langsung pada al-Quran dan pemaknaannya secara harfiah. Hanya dengan pemaknaan secara harfiah barangkali kita tidak akan menemukan pluralitas pemikiran dan kesimpulan hukum.
Hemat saya, hukum Tuhan yang tertuang di dalam korpus itu dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia. Di sana hanya memuat aturan-aturan dan spirit universal, tidak spesifik-parsial. Untuk membuatnya spesifik, maka diperlukan pemahaman manusia. Bukankah hari ini persoalan kenegaraan makin kompleks dan tidak semuanya dijabarkan secara rinci dalam al-Qur’an?
Pada akhirnya kita juga butuh pemahaman. Ini benar hukum Tuhan atau pemahaman mereka atas hukum Tuhan?