32.4 C
Jakarta

Memahami Khilafah dan Khalifah yang Disalahpahami

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMemahami Khilafah dan Khalifah yang Disalahpahami
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Khilafah Peran Manusia di Bumi, Penulis: M. Quraish Shihab, Penerbit: Lentera Hati, Cetakan: cetakan I, Juni 2020. Cetakan 2, Agustus 2020, Tebal: 188 hlm: 13 x 19 cm, Peresensi: Salman Akif Faylasuf.

Harakatuna.com – Siapa kita manusia? Manusia adalah makhluk yang tidak dikenal atau Man The Unknown. Begitu judul buku yang ditulis Alexis Carrel (1873-1944 M) ilmuwan dan dokter berkebangsaan Prancis dan peraih Hadiah Nobel dalam bidang Physiology (Medecine).

Menurutnya, “Sekian banyak pertanyaan yang diajukan oleh para pakar tentang manusia yang tidak terjawab oleh para ahli.” Kita, misalnya, tidak atau belum mengetahui tata kerja “gen” yang dikandung oleh benih asal kejadian manusia yang mengakibatkan sifat fisik atau psikis orang tua menurun kepada anak-cucunya, dan masih banyak sekali pertanyaan lain.

Di dalam al-Qur’an, berkali-kali kitab suci itu menjelaskan bahwa Allah swt. memulai penciptaan manusia dari tanah. Ini dapat dipahami dalam arti tanah adalah permulaan atau tahap penciptaannya yang pertama. Tapi, al-Qur’an tidak menjelaskan berapa tahap yang dilalui manusia sesudah tahap tanah itu.

Ini adalah satu rahasia yang belum diungkap oleh seorang pun, tidak juga diketahui hakikatnya dan bagaimana keadaannya sebelum itu. Sementara itu, ilmuwan berpendapat bahwa ada makhluk-makhluk berbentuk mirip manusia hidup dan menghuni bumi sebelum kita yang mereka namai “homo sapiens”.

Kita, oleh ilmuwan dinamai manusia modern, karena leluhur kita diperkirakan baru berwujud sekitar 40.000 tahun yang lalu, sedang fosil hominid yang paling dini berasal sejak masa tiga setengah juta tahun yang lalu.

Biarkanlah ilmuwan berbeda pendapat tentang asal-usul manusia. Namun, yang jelas, bagi umat Islam, manusia tercipta dari tanah. Berapa lama proses penciptaan manusia, bagaimana itu dilaluinya dan apa saja proses itu hingga akhirnya ia menjadi manusia yang ditiupkan kepadanya roh Ilahi, tidak dijelaskan oleh al-Qur’an.

Kitab suci itu, dalam konteks uraiannya tentang manusia yang akan ditugaskan Allah swt. sebagai khalifah (Adam) dan yang diduga sebagai manusia “modern pertama” hanya menyebut proses pertama, yakni tanah dan proses terakhir yakni penghembusan roh Ilahi setelah sempurna kejadian fisiknya.

Adakah proses lain dan berapa lama proses penciptaan itu? Tidak dijelaskan oleh al-Qur’an, dan ini adalah bidang ilmu pengetahuan. Karena itu, yang menegakkan satu teori atau meruntuhkannya hendaklah melakukannya atas nama ilmu pengetahuan, jangan atas nama al-Qur’an.

Semua manusia, selain manusia pertama dan pasangannya serta Isa as. hingga kini tercipta melalui pertemuan sperma dan indung telur walau dengan program bayi tabung sekalipun. Cairan (sperma) yang terpancar dari pria mengandung sekitar tiga ratus juta benih manusia. Hanya 5-15 sperma mencapai sel telur dalam perjalanannya menuju tuba fallopi.

Dari sejumlah sperma itu, hanya satu sel yang membuahi sel telur wanita. Ketika itu, kepala sperma menembus satu zona pada sel telur dan ekornya terlepas. Inti dari sperma itu adalah yang bergabung dengan sel telur, dan membentuk zigot lalu membelah sambil membelah dan membelah sambil berkembang lalu menempel di dinding rahim.

Khalifah dan Khulafa dalam al-Quran

Dalam al-Qur’an kata khalifah ditemukan sebanyak dua kali. Pertama, dalam surah al-Baqarah [2]: 30 dan, kedua, pada surah Shad [38]: 26. Sedang bentuk jamaknya ada berupa khalaif dan ada juga khulafa. Kata khulafa ditemukan tiga kali (al-A’raf [7]: 69 dan 74 serta an-Naml [27]: 62). Adapun khalaif sebanyak empat kali (baca: QS. al-An’am [6]: 65, Yunus [10]: 14 dan 73 serta Fathir [35]: 39).

Kedua bentuk kata yang berbeda itu ditujukan kepada masyarakat umum, yang tentu saja terdiri dari orang per-orang, sekaligus keduanya merupakan jamak dari kata khalifah. Jika demikian, pertanyaan yang dapat muncul adalah, apakah bedanya? Sementara ulama setelah memperhatikan konteks ayat-ayat tersebut menyatakan bahwa khalaif berbicara menyangkut orang-orang kafir dan para pendurhaka.

Atau, orang-orang yang mengganti generasi sebelumnya, dan mengambil sikap yang berbeda dengan mereka tanpa menjelaskan apakah yang menggantikan itu baik, atau taat atau durhaka.

Ini berbeda dengan penggunaan kata khulafa yang menunjuk lebih dari dua sosok yang menggantikan orang-orang saleh sebelum mereka, dan mereka yang menggantikan itu berusaha mengikuti jejak siapa yang mereka gantikan. Dari sini keempat sahabat Nabi saw. (Sayyidina Abubakar, Umar, Usman, dan Ali ra.) yang silih berganti memegang tampuk kekuasaan setelah kepulangan Nabi saw. gabungan mereka dinamai Khulafa’ ar-Rasyidun.

Itu sebabnya, sebagaimana tulis al-Raghib al-Asfahany dalam kitab Mufradat-nya dari akar kata khalifah lahir makna pengganti yang baik dan pengganti yang buruk. Yang baik dinamai (khalaf) dengan fathah (baca A) setelah (lam). Sedang yang buruk dinamai dengan khalf (sukun) yakni tanpa fathah (dibaca A), dhammah (dibaca U) dan juga tanpa kasrah (dibaca I) pada huruf kedua (lam) kata tersebut (baca: QS. al-A’raf [7]: 169 dan Maryam [19]: 59).

BACA JUGA  Gus Dur dan Perjuangan untuk Etnis Tionghoa di Indonesia

Kata “khalifah” yang ditemukan dalam al-Qur’an digunakan dalam dua konteks dengan sedikit perbedaan dalam bentuk kalimatnya. Dalam surah al-Baqarah [2]: 30, Allah berfirman menunjuk diri-Nya:

انِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةٌ

Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di bumi.

Sedang dalam QS. Shad [38]: 26, Allah menunjuk diri-Nya pula dengan berfirman:

يدَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَكَ خَلِيْفَةً فِي الْأَرْضِ

“Wahai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi.

Perbedaan redaksional itu melahirkan makna yang berbeda. Dalam konteks ini, perlu diingat bahwa Nabi Daud as. sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur’an berhasil membunuh Jalut, penguasa tirani pada masa itu (al-Baqarah [2]: 251) sehingga tampillah Daud as. sebagai penguasa pengganti sebagai raja yang mengelola satu wilayah yang ditinggalkan mati oleh Jalut. Ini mengisyaratkan bahwa, kekhalifahan sang Nabi itu berkaitan erat dengan kekuasaan politik dalam mengelola satu wilayah di persada bumi ini.

Penciptaan Manusia dan Tujuannya

Jangankan Allah Sang Pencipta Yang Maha Agung, manusia berakal dan bijak ketika menciptakan sesuatu pastilah memiliki tujuan tertentu, lalu menyiapkannya sesuai kemampuannya untuk mengantar ciptaannya menuju tujuan penciptaannya. Orang bijak berkata “tujuan menciptakan alat”.

Pisau diciptakan tajam karena tujuan penciptaannya untuk memotong, sedang bibir gelas diciptakan halus tidak tajam karena gelas diciptakan untuk dijadikan alat minum. Semakin canggih pencipta, maka semakin sempurna pula apa yang diciptakannya dan semakin sesuai dengan tujuannya mencipta.

Ambillah sebagai contoh mobil, aneka perangkat melengkapinya. Ada yang terlihat nyata seperti kemudi dan rem, ada juga yang tersembunyi atau tidak terlihat. Pada mobil yang canggih terdapat alat-alat pengamannya seperti, air bag yang melindungi sopir dan penumpang dari benturan keras sebagaimana ada juga kompas bahkan ada GPS Navigasi berupa “suara” yang membimbing pengemudi ke arah yang harus ditempuh. Ke kiri atau ke kanan guna sampai ke tujuannya bahkan ada kenyamanan dan hiburan yang melengkapi mobil-mobil mewah.

Tentu saja pengguna harus paham dan mau memanfaatkannya. Karena itu, biasanya ada petunjuk penggunaan dan cara-cara merawat produksi yang canggih. Katakanlah mobil itu! Di sisi lain, pengemudinya harus mengisi bahan bakar sebelum melangkah mengemudikan mobilnya.

Jika tidak, maka sepanjang saat mobil akan terparkir tidak berfungsi atau kalaupun bergerak tanpa menghiraukan petunjuk penggunaan, maka mobil dapat tabrakan. Dan bila tidak menghiraukan petunjuk kompas atau rambu-rambu lalu lintas, maka pengemudi akan tersesat dan tidak dapat sampai ke tujuan.

Bagaimana Memakmurkan Bumi?

Kia tahu bahwa, manusia diperintah Allah swt. untuk memakmurkan dan membangun bumi. la bebas melakukannya dengan cara dan bentuk apa pun, selama tidak menyimpang dari prinsip dasar tuntunan Ilahi. Salah satu yang paling penting untuk diperhatikan adalah makna penundukan alam raya buat manusia.

Dalam konteks ini, manusia harus sadar bahwa bukan dia yang menundukkan alam tapi Allah swt. yang menundukkannya. Pemanfaatan dan penundukan itu tidak dapat diraih manusia, seandainya Allah swt. tidak menciptakan bumi atau alam dengan segala isinya dalam keadaan patuh suka atau tidak suka lagi tanpa pilihan (baca: QS. Fushshilat [41]: 11), sedang dalam saat yang sama manusia diberinya potensi memilih dan memilah serta kemampuan untuk mengelola alam raya.

Jika demikian, manusia bukanlah tuan dan alam raya bukanlah hambanya yang dapat dia perlakukan seenaknya. Manusia dan alam adalah ciptaan-ciptaan Allah. Kedudukan mereka sama dari segi ketundukan kepada-Nya. Bahwa, penundukan itu oleh Allah swt. dinyatakan “buat manusia” maka yang dimaksud dengan manusia bukanlah satu kelompok atau bangsa atau tempat dan masa tertentu, tetapi untuk seluruh manusia kapan dan di mana pun.

Karena itu, monopoli dan pemborosan apalagi penganiayaan amat terlarang, dan penggunaan alam harus diarahkan untuk kemanfaatan bersama. Ini menuntut manusia bersahabat dengan alam dan lingkungannya. Dan selanjutnya, kenyataan menunjukkan bahwa semakin bersahabat manusia dengan alam, dan semakin banyak yang dikenalnya menyangkut alam, maka semakin banyak pula manfaat yang dapat diperolehnya dari alam.

Kontribusi Buku

Buku ini memberikan jawaban kepada kita di tengah kebanyakan orang, sekian banyak ilmuan dan filsuf pun yang sampai di pembaringan maut, mereka belum juga menemukan makna dan tujuan hidupnya, kendati sebagian mereka sadar bahwa hidup ini bukanlah permainan atau tanpa tujuan.

Misalnya, soal tentang “mengapa kita ditempatkan Allah swt. di planet bumi? Mengapa setelah kakek dan nenek kita nyaman di surga, beliau berdua diperintahkan turun ke bumi? Apa tujuan Allah menghadirkan kita disini?”. Pertanyaan lain misalnya “apa yang dimaksud dengan tujuan hidup dan apa pula hakikatnya?”.

Lebih dari itu, buku ini menjawab ditengah sementara orang mempertentangkan antara kegiatan ritual keagamaan dengan kegiatan sosial dan kemanusiaan, sehingga menimbulkan sikap atau paling tidak pertanyaan-pertanyaan yang keliru seperti ibadah atau khilafah, shalat atau kerja, kantor atau kerja, kantor atau masjid, keberagaman atau kemanusiaan, dan lain-lain. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Kader aktif PMII UNUJA sekaligus mahasiswa dan santri aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Minat kajian keislaman dan filsafat.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru