33 C
Jakarta

Habib yang Menjamur

Artikel Trending

Milenial IslamHabib yang Menjamur
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dulu, saat saya kecil, di jalan-jalan tidak pernah terpampang baliho. Suasana damai sekali, bahkan tatkala gaduh pun, ya, paling itu karena persoalan biasa. Tidak pernah, tuh, dulu, ribut karena persoalan agama. Tidak pernah, tuh, setidaknya dalam ingatan saya, di jalan-jalan berlangsung orasi ‘sang habib’ yang menyulut emosi orang-orang. Apalagi di panggung.

Saya masih ingat betul, ketika orang tua memasrahkan saya pada kiai, untuk belajar ngaji. Hari-hari adalah waktu belajar, dan tidak pernah riuh dengan suasana penuh tensi. Kala itu, di kampung tidak ada habaib, keturunan Nabi itu. Mereka tak dikenal. Cukuplah seorang kiai, yang sangat disegani masyarakat, menjadi tumpuan dari segala persoalan mereka.

Kiai maupun habib, sebenarnya bukan soal. Sungguh, itu hanya nomenklatur. Oleh Karena nomenklatur, daerah satu dengan lainnya, untuk penyebutan tokoh masyarakat, seringkali berbeda. Cara menghormatinya pun banyak tak sama. Ada yang menunduk penuh takzim, bahkan ada yang sampai ngesot. Semua itu tidak lebih, adalah, persoalan budaya belaka.

Tulisan singkat ini hendak memantik diskusi tentang habaib; antara status kasta mereka dan akhlak mereka dalam konteks hidup berbangsa. Statusnya sebagai keturunan (dzurriyah) Nabi Muhammad Saw. harus berbanding lurus dengan tugas menjaga kedaulatan NKRI. Sebagaimana Nabi Saw. menjaga kedaulatan Madinah, negara yang dibangunnya.

Sungguh, ini bukan narasi kebencian, atau antipati terhadap zuriyah Nabi. Saya bertolak dari realitas mindset sementara umat, bahwa kalau berbicara mengenai habaib, akal sehat harus dibunuh. Kita dilarang protes apa pun, karena dianggap menghina Rasulullah. Ini anggapan yang sama sekali tidak benar. Selama masih bernama manusia, kebal kritik itu tidak berlaku. Dan, lagi pula, terhadap sementara habib yang suka caci-maki itu, yang harus kita benci adalah perbuatannya, bukan persoalannya. Itu sah-sah saja.

Habib Sang Dzurriyah Rasul

Salah satu faktor utama kenapa habib itu disegani, seringkali bahkan lebih disegani daripada kiai ialah: mereka memiliki nasabiyah dengan Nabi. Mereka, dalam tubuhnya, sekalipun setetes, dekat dengan darah Rasul Saw. Tragedi Karbala tentu saja sudah tidak asing untuk kita. Yang jelas, dalam hal ia keturunan Nabi, menghormati adalah keniscayaan mutlak.

Kita tak sedang mengulas sejarah, sebagaimana dituturkan Tarikh al-Khulafa’-nya Imam al-Suyuthi, bahwa di masanya, Dinasti Umayyah sering mengolok-olok mereka. Penghormatan kepada habib tak luntur sebab fakta historis, melainkan kian bertambah lantaran tuntutan moral hingga politik. Dengan catatan, ini bukan lantas membuat mereka jadi kasta yang feodalistis.

Bahwa dalam konteks tertentu, kesetaraan juga merupakan ajaran al-Qur’an, sebagaimana dilukiskan QS al-Hujurat [49]: 13. Mau keturunan Nabi, ulama, dan lainnya, yang membedakan status kehambaan adalah ketakwaan mereka. Ajaran kesetaraan ini merupakan proyeksi keadilan Islam. Nasab bukan ruang untuk berbangga antar-hamba.

Lebih-lebih jika kehambaan ini tak kita cukupkan antar sesama Muslim, tetapi konteks yang lebih besar yaitu kemanusiaan. Maka tentu saja kesetaraan intersubjektif tersebut menjadi manifestasi keadilan, kedamaian, dan dalam konteks bernegara, ia jadi indikator kemajuan bangsa. Artinya, dalam konteks berbangsa, nasab tak memiliki ruang, dan semua setara.

Indonesia misalnya. Sebagai Negara hukum, Negara kita ini menganut sistem tak pandang bulu (equal before law). Status kewarganegaraan, idealnya, tak mempersoalkan keturunan. Maka jika ada keturunan pejabat mendapat perlakuan hukum yang istimewa, itu sudah mengkhianati komitmen kebangsaan itu sendiri. Ia sudah mencederai cita-cita keadilan.

BACA JUGA  Kaum Radikal-Ekstremis Lakukan Propaganda "Hijrah", Hati-hati!

Begitu pun dengan habib. Di Negara ini, status hukum habaib tak lebih diitimewakan. Segala rupa penghormatan kepadanya berada dalam tataran moralitas saja. Fenomena tentang habib hari-hari ini, dalam hal penghormatan, juga bisa kita klasifikasi menjadi dua. Pertama, mereka yang berbaur menjadi kiai. Kedua, mereka yang enggan lantaran bangga terhadap kasta ke-habaib-annya.

Artinya, masyarakat Indonesia dari dulu punya nomenklatur lokal, menyebut tokoh masyarakat dengan ‘kiai’. Habaib pun membaur dipanggil kiai, dihormati kualitas keilmuannya, bukan nasabnya.

NKRI dan Tugas Habib

Fenomena kedua yang disebut barusan tidak bisa kita abaikan. Sebutan ‘habib’, semakin ke sini, semakin berkonotasi politis. Sebagian mereka tidak mau disebut kiai, meski tak mengakui keengganan tersebut secara terus terang. Bersamaan dengan itu, keilmuan tak lagi menjadi tolok ukur. Banyak mereka yang hanya pandai berteriak, berorasi, tapi tak berilmu.

Kita, saya pikir, pada menyadari, kasta habaib menjadi ajang berbangga semata. Kalau sudah merasa berdarah habaib, sering sekali mereka merasa lebih tinggi daripada kiai, misalnya. Penampilannya pun cenderung enggan dengan produk lokal. Tak mau bersarung atau batik. Biasanya mereka menandai diri dengan pakaian gamis. Itulah faktanya. Saya tidak mengatakan, para habaib itu anti-sarung. Banyak habib akrab sekali dengan adat-tradisi lokal.

Jadi, intinya, ini tak terjadi pada semua habaib. Gamis pun bukan pakaian yang buruk. Saya pun bukan berarti anti ke-Arab-an. Yang ingin saya tegaskan ialah, betapa penampilan kini dijadikan tolok ukur penghormatan. Kasta kiai dianggap seolah-olah lebih rendah. Faktanya, beberapa kalangan menganggap kiai tak pernah lebih mulia dari habib. Tak peduli akan keilmuannya.

Mindset feodalistis di kalangan habaib ini tentu tak lahir dari ruang hampa. Itu terjadi karena perlakuan masyarakat yang berlebihan perihal penghormatan di satu sisi, dan minimnya keilmuan mereka di sini yang lainnya. Padahal ada yang terlupakan di sini, yakni bahwa mereka punya tanggung jawab yang sama, yaitu: “menjaga kedaulatan NKRI”.

Sebagai kalangan terhormat, mestinya para habib, yang saat ini jumlahnya sudah menjamur, beriktikad untuk menjaga kedaulatan Negara. Pasti mereka akan lebih mudah memobilisasi massa untuk sama-sama menjadi warga negara yang baik. Dengan demikian, cita-cita kemajuan akan semakin mudah, dan perpecahan antarumat Islam tidak akan pernah terjadi.

Kepandaian berorasi dan penghormatan umat Islam semestinya tak dimanipulasi untuk melakukan sesuatu yang mengancam keutuhan bangsa dan persatuan umat Islam. Pada saat bersamaan, selaiknya masyarakat lebih bijak, tak mudah tertipu penampilan bergamis; mengesampingkan akhlak. Ketimbang batik, gamis, dan sorban, intelektualitas dan akhlak harus berada di garda terdepan.

Kata-kata kotor, doa-doa yang buruk, keluar dari siapa saja itu harus ditolak. Rasulullah adalah kekasih-Nya yang mulia, maka mencederai beliau jika kita menisbatkan diri secara nasab, namun mengesampingkan diri untuk menisbatkan kepada akhlaknya. Gara-gara kita yang suka membabi-buta mencintai habaib, kini di hadapan kita habib-habib baru bermunculan, saling klaim diri. Ini jelas tidak baik, terhadap kemuliaan gelar habib itu sendiri.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru